Cinta..
Cinta itu bukan hanya milik saya. Cinta itu milik semua , tua muda, miskin dan kaya.Cinta tak hanya antara dua manusia yang akan menghasilkan manusia lainnya tetapi bisa cinta kepada hewan, tumbuhan bahkan benda tak bernyawa. Cinta itu memang ada dimana-mana….(S.W)
Ini adalah kisah cinta seorang nenek yang menjadi penjaga pulau selama bertahun-tahun. Namanya Mbah Munayya. Beliau hidup di Pulau Geleang di Kepulauan Karimun Jawa. Usianya sudah 60 tahun. Karimun Jawa terdiri dari 22 pulau dan pulau Geleang adalah Pulau yang tidak berpenghuni . Pulau ini tidak memiliki aliran listrik dari PLN. Mereka diberikan sumbangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Sayangnya pulau ini sudah dimiliki oleh orang lain, bukan lagi kepemilikan oleh pemerintah.
Pulau Geleang bisa ditempuh dari pulau Karimun dengan kapal nelayan dengan waktu setengah jam. Pulau ini berpasir putih dan bersih.Tiap pagi mbah Munayya dan anaknya mas Mudi pasti membersihkan sampah-sampah yang terdampar di pantai dan sampah-sampah yang dibawa oleh wisatawan. Sampah itu kata mbah kemudian dibakar hingga tak bersisa. Oleh karena mereka, pantai pulau ini selalu terawat dan terjaga kebersihannya.
Rumah Mbah kecil, terbuat dari tripleks dan daun kelapa. Alat elektronik yang dimiliki mbah hanyalah sebuah radio kecil yang bisa menghibur mbah dan anaknya ketika sedang tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Geleang. Tak ada TV, Kulkas, PS dan alat elektronik lainnya yang biasanya ada di rumah kita. Tapi mbah tidak pernah mengeluh, mbah tetap sabar dan selalu bersyukur pada Gusti Allah karena selalu memberikan rejeki untuk dinikmati setiap harinya.
Setiap kapal wisata yang sandar di Pulau Geleang wajib membayar Rp. 30.000,- untuk biaya kebersihan. Mbah juga membuka warung kecil yang menyediakan teh, kopi dan nasi. Memang kebanyakan wisatawan yang datang ke Geleang saat makan siang sehingga cukup membuat Mbah Munayya mendapatkan penghasilan tambahan dari para wisatawan tadi. Tetapi wisatawan yang datang ke Karimun juga musiman. Tidak setiap hari ada wisatawan yang datang ke Geleang. Akhir pekan adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh Mbah dan anaknya karena akan banyak orang yangdatang dan mbah bisa ngobrol dengan para pemandu wisata maupun wisatawan.
Tapi ada alasan lain mbah memilih untuk menjadi penjaga pulau ini selain untuk mendapatkan penghasilan. Mbah mengasuh seorang anak yang sakit mental. Anak laki-laki ini sudah sakit mental dari lahir namun sangat disayang oleh Mbah Munayya. Namanya mas Mudi. Mas Mudi kini sudah berusia 25 tahun dan masih suka tersenyum-senyum sendiri, suka bertingkah layaknya bocah lelaki umur 10 tahun. Tetapi raut mukanya selalu ceria, tidak pernah memikirkan ruwetnya dunia, mikirin politik, mikirin gossip dll. Enak yaaa hidupnya~ Bahkan Mas Mudi disayang oleh para pemandu-pemandu wisata lokal dan sering dibawakan pakaian dan makanan. Mas Mudi juga ramah kepada wisatawan. Dia tdak pernah mengganggu wisatawan sama sekali. Sekilas memang Mas Mudi terlihat normal layaknya lelaki dewasa lainnya.
Setelah aku dan teman-temanku asik makan siang dengan Ikan bakar yang baru kami tangkap di laut, kami bersantai di teras rumah mbah. Mbah Munayya bercerita tentang sejarah kehidupannya dan berkata dengan lirihnya betapa dia menyayangi mas Mudi walaupun Mas Mudi tidak berasal dari rahimnya sendiri. Loh?? Ternyata mas Mudi adalah anak tiri Mbah Munayya. Mbah membawa mas Mudi ke Geleang karena jika dilepas di Karimun yang merupakan pusat kota Karimun Jawa, mas Mudi akan sangat susah dikontrol, suka bepergian sendiri entah dimana dan sangat susah dihubungi karena dia tidak mengerti bagaimana menggunakan handphone. Hmmm, gawat juga.
“Ya gitu Mba’e, kalau Mudi dilepas perasaan mbah ndak tenang. Takut kalau nanti hilang. Kalau disini, (Geleang-red) Mudi ya ndak bakal bisa kabur kemana-mana toh?” Itu kata mbah Munayya waktu kita Tanya alasan mbah membawa mas Mudi hidup di Geleang.
Mas Mudi sering juga diajak beberapa orang baik hati yang mau mengajak mas Mudi kerja di tempat lain, tetapi mas Mudi pasti dengan pintarnya menjawab “Ndak bisa, aku disini jaga Ibu. Nanti kalau aku pergi, Ibunya nangis”. Lalu mbah hanya bisa tersenyum-senyum sendiri mengingat perkataan mas Mudi itu.
Saya pun bertanya kepada Mbah apakah tidak bosan tinggal hanya berdua mas Mudi di Geleang. Mbah dengan tersenyum menjawab, “Kadang-kadang ya bosan, sepi, tapi ini demi kebaikan Mas Mudi”. Mbah lalu melanjutkan, “Memang terkadang mas Mudi nya ngambek, pengen jajan warung katanya, terus mbah masakin indomie sama telor pasti diem dan langsung bilang “Mak pinter deh, Mudi sangat sayang Emak” dan Mbah pasti langsung luluh dengan keluguan Mudi begitu”. Mendengar perkataan mbah aku langsung berkaca-kaca, tak kuat menahan luapan rasa haru atas rasa sayang Mbah Munayya ke Mas Mudi serta sebaliknya .
Terpikir juga olehku, apakah aku seperti mas Mudi, yang masih sering mengatakan kalau aku sayang pada mamaku dan masih sempat berterima kasih atas hal-hal kecil. :’((
Sekalipun mbah bersyukur bisa hidup sehat berdua bersama mas Mudi, ada yang menjadi beban pikiran mbah. Tiap malam, mas Mudi pasti maunya dikelonin (dinina boboin) sama mbah dan mbah selalu berkata ke mbah Mudi “Ibu udah tua le’, kalau Ibu mati kamu ikut siapa nanti ya?Bapak ndak ada, Ibu ndak ada” . Lalu mas Mudi menjawab dengan lugunya “Memang mati itu apa bu? Ibu mau kemana? Ibu pasti bakal sama Mudi terus kan?”. Mas Mudi, keluguanmu membuka mataku akan keberanianmu menghadapi apapun. Memang kita tak perlu mengetahui terlalu banyak hal di dunia ini karena hanya akan membuat kita takut dan memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dalam hidup kita. Biarkan saja hidup ini mengalir apa adanya. Let it flow~
Lalu aku kembali bertanya apakah Mas Mudi mau menikah dan berkeluarga saja, sehingga Mbah tidak memiliki beban pikiran apa-apa lagi. Dengan lirihnya mbah menjawab “Kalau menikah, Mudi pasti mau. Tapi apa ada yang mau sama Mudi dengan penyakitnya seperti ini. Kalau kerja Mudi itu kuat,bisa cari uang, tapi ndak ada perempuan yang mau toh?” Aku pun terdiam.
Mbah Munayya senang sekali jika ada yang berkunjung dan mengajak mbah ngobrol. “Mbah seneng mbak Winnie, Leni, Hellen, Ina ada disini bisa nemenin mbah ngobrol. Rasanya masih ada yang peduli sama mbah”. Kami berempat pun langsung terharu :’)
Mbah Munayya, betapa mulianya hatimu sebagai seorang Ibu Tiri. Aku juga memiliki keluarga tiri tapi tidak pernah akur dan tidak pernah merasa dicintai Bapak Tiri seperti Mbah Munayya sayang ke anak tirinya, Mas Mudi. Tuhan pasti mendengar setiap doa yang dipanjatkan Mbah untuk kesehatan dan keselamatan serta kebahagiaan Mas Mudi. Menyimak Mbah bercerita benar-benar membuatku merasa bersyukur bahwa aku dilahirkan normal dan sehat dan inginnya membahagiakan mamaku :’)
Kalimat terakhir dari Mbah yang akan selalu aku pegang, “Ingat nduk, Gusti Allah maha mendengar dan maha penyayang. Tak selamanya kita jadi orang malang, kalau sering bersyukur pasti hidup kita senang”.
Tidak terasa waktu sudah habis, kami dipanggil oleh Mbah Kapal karena kami akan pulang ke Karimun.
Mbah Munayya dan Mas Mudi baik-baik yaaa. Sampai jumpa lagi :’)
Semoga kita berjumpa lagi di Pulau Geleang :’)
Mbah Munayya 🙂 Ibu berhati mulia 🙂 |
Mas Mudi, yang sedikit mengalami kelainan mental. Tapi orangnya ceria sekali 😀 |
Ini rumah sederhana mbah Munayya. Gubuk kecil dengan Radio andalannya :’) |
We love you Mbah Munayya :* :* :* |
1 thought on “Cinta Mbah Munayya & Mudi, si Penjaga Pulau Geleang, Karimun Jawa”
seminggu yang lalu kami juga baru pulang dari karimun,dan sayang banget saya baru nemuin tulisan ini,menyesal saya tidak dapat mengobrol ataupun berinteraksi dengan mbah munayya.bahkan ketika melihat mas mudi saya terkesan acuh, padahal ternyata banyak hal yang dapat kita petik dari kisah hidup mereka.