Perjuangan Backpacking ke Lombok, #TripLombok 1

Trip Lombok

Trip Backpacking ke Lombok kali ini disponsori oleh Citilink. Hehehe. Bohong deng. Tapi saya berterima kasih pada Citilink karena menawarkan tiket promo 55 ribu terbang kemana saja bulan Juli yang lalu.

Iseng-iseng ikut cari promonya dan dapat penerbangan Jakarta – Bali PP tanggal 1-4 November hanya Rp 110.000,- saja. Yihaaaa!!

Awalnya saya dan travelmate saya, Juferdy berencana menghabiskan liburan di Bali saja. Mungkin bisa ke Ubud atau ke bagian Utara Bali yang masih sepi agar bisa beristirahat dan menenangkan pikiran sejenak dari ruwetnya kehidupan Ibu Kota.

Kira-kira seminggu sebelum berangkat, saya jadi galau karena tiba-tiba berubah pikiran mau ke Lombok.

Dulu, aku pernah melihat foto Tanjung Aan dan ingin sekali pergi kesana.

Setelah ‘tanya-tanya’ sama Mbah Google, saya mendapatkan petunjuk jalan ke Lombok Tengah yang lokasinya cukup jauh dari Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat.

Walaupun sudah dapat data yang cukup, saya masih bimbang. Liburan kali ini mau dimanfaatkan untuk total beristirahat atau untuk jalan-jalan jauh ke tempat baru?

Akhirnya saya memilih pilihan kedua yang pada akhirnya tidak  kusesali karena Lombok itu memang cantik sekali.

Jumat subuh, saya berangkat naik Damri dari Pasar Minggu menuju Bandara Soetta. Karena masih pagi saya mengantuk dan memutuskan untuk tidur saja sepanjang perjalanan.

Saya membayar ongkos Damri dengan selembar 50 ribuan dan kenek-nya bilang tidak punya kembalian lalu berkata akan mengembalikannya nanti.

Ju (Juferdy) akan menyusul penerbangan siang ke Bali. Ya resiko berburu tiket promo itu susah dapat penerbangan dengan jadwal yang sama. Dapat hari yang sama saja sudah bersyukur sekali.

Pas turun di terminal 1C saya menyadari bahwa si Kenek Damri lupa mengembalikan uang dua puluh ribu saya. Aaaah, melayang deh uangnya. Padahal kan lumayan buat beli sebotol aqua dan roti untuk sarapan *sigh*. Yasudah, ikhlas Sat….ikhlas….

Pakai Citilink ini enak deh. Citilink punya self-check in counter yang sangat berguna untuk penumpang yang tidak membawa bagasi seperti saya (saya cuma bawa satu mini carrier 20 L dan satu tas kamera yang boleh masuk cabin).

Tinggal masukkan kode booking dan nama belakang di layar dan taraaaaa langsung keluar deh boarding pass-nya. Gak perlu repot-repot ngantri di barisan yang cukup panjang pagi itu. Syusyurusyuu~

Citilink juga (sejauh ini pengalaman saya) tidak pernah delay. Beda sekali sama si Singa Merah itu ya*oops*.

Sayangnya di penerbangan kali ini aku tidak dapat tempat duduk di sebelah jendela. Tidak enak juga minta tukar sama Kakek yang sudah duluan duduk dan menempati kursi di samping jendela.

07.15 WIB, pesawat tinggal landas. Sampai jumpa 3 hari lagi Jakartaaaaa!

Kalian kalau di pesawat sendirian biasanya ngapain sih? Baca buku? Dengerin musik? Main Games di Tab atau molor? Kalau saya sih semuanya bisa, tergantung mood aja. Cuma mood saya hari itu pengen ngobrol aja gitu sama siapa kek.

Lihat ke kanan, bapaknya tidur, lihat ke kiri, si Engkong lagi baca majalah dan terlihat serius ketika membaca artikel tentang kehidupan suku Baduy di Banten. Lalu saya memberanikan diri untuk bertanya,

“Om, sudah pernah ke Baduy? Bagus loh Om tempatnya”

“Oh, belum pernah, tapi anak saya sering. Kamu pernah kesini?”

“Baru tiga kali kok Om kesana”

“Sudah sering dong? Enak ya kampung Baduy ini. Padahal lokasinya tidak jauh dari rumah saya, tapi belum pernah saya kunjungi”

Pembicaraan terus berlanjut. Kami berkenalan, berbicara tentang bisnis Om Goen (nama si Engkong), keluarganya, tips hidup sehat dan bahagia hingga nasehat-nasehat hidup.

Saya merasa lagi ngobrol sama Ompung (kakek) yang sudah mendiang dua-duanya. Om Goen (yang akhirnya kupanggil Engkong Goen karena sudah 69 tahun) ternyata seorang pengusaha kayu yang sudah berkecimpung selama 45 tahun di dunia mebel.

Kong Goen sudah pernah mengadakan pameran tunggal di Galeri Nasional dan masih aktif mengurus usaha Rumah Kayu Goen  di daerah Cipari, Tangerang.

Kurang lebih pukul 10, kami mendarat di Ngurah Rai. Rencananya aku akan berkeliling di daerah Kuta sambil menunggu Ju yang akan tiba di Bali jam 4 sore.

Kong Goen menawarkan mobilnya untuk aku tumpangi hingga Kuta. Asyik dapat tebengan. Lumayan untuk menghemat biaya taksi dari Airport ke Kuta kan?

Kami mengarah ke salah satu Kantor Notaris di Kuta. Saya keluar dari mobil dan mengucapkan terima kasih pada Kong Goen dan berpamitan.

“Loh, kamu mau kemana Satya? Sudah, daripada kamu gak jelas tujuannya, kamu temani saya dulu sebentar urusan bisnis di Notaris. Setelah selesai kita pergi makan siang. Mau ya?” kata Kong Goen

“Waaah, mau banget Kong” jawabku dengan muka sumringah (dasar anak demen gratisan. Mureeee)

Kelar dengan urusan bisnisnya, Kong Goen mengajak aku, Om Atek, Ko Willy dan Ci Linda (mereka adalah kolega Kong Goen) untuk makan siang bersama.

Kami meluncur ke salah satu Restoran Chinese Food yang cukup mewah dan terlihat mahal. Kong memesan makanan buanyaaaak sekali.

Ujung-ujungnya saya harus menghabiskan semuanya karena katanya saya paling muda dan kapasitas perutnya paling besar. Maksudnya apa ya? Hahahaha.

Kong Goen juga sempat berbisik di telingaku, “Makan yang banyak. Ini rejeki kamu, Sat”. Ahhhh Engkong :”)

Kong Goen dan Rekan Bisnisnya

Kong Goen itu yang berdiri di sampingku, pakai baju biru dan rambutnya putih.

Urusan bisnis selesai. Urusan perut selesai. Kong Goen harus segera kembali ke Bandara untuk pulang ke Jakarta. Yah namanya juga businessman yee, naik pesawat udah kayak naik angkot. Gampang dan ekspres!

Setelah mengantarkan Kong Goen ke Bandara, saya kembali menunggu Ju di terminal kedatangan.

Sambil menunggu Ju, saya memutar ulang kejadian yang baru saya alami. How lucky i am. Bertemu dengan orang asing yang menawari tumpangan dan makanan kepada aku, pejalan gembel ini.

Apa Kong Goen kasihan ya? Hahahaha. Apapun latar belakangnya, beliau adalah malaikatku hari itu. Sampai bertemu di Jakarta ya Kong 😀

Tak lama, Ju muncul dengan dua backpack. Satu digendong di depan, satu di belakang kayak ibu-ibu hamil bawa gendong anak.

Yah, karena Ju (sepertinya) akan tinggal lebih lama di Lombok dan bawa banyak amunisi alias kamera dan lensa-lensa kesayangannya jadilah dia heboh dengan dua tas.

Kami berencana menyeberang ke Lombok dengan kapal Ferry dari Padang Bai. Lokasinya jauh sekali dari Bandara. Kalau dilihat di peta, bandara Ngurah Rai ada di sudut barat dan Pelabuhan Padang Bai ada di sudut timur.

Tadinya, kami bertanya pada operator taksi dan menawarkan harga Rp 250.000 dari Airport ke Pd Bai. Aih Mak! Mahal kali! Kalau jalan berempat atau berlima ya tak apa. Tapi kalau berdua ya rasanya sayang aja gitu uangnya.

Akhirnya kami sepakat naik taksi ke Terminal Ubung lalu lanjut naik Elf ke Padang Bai.

Terminal Ubung itu ternyata jauh juga dari Bandara. Ongkosnya Rp 95.000,-. Yah tapi itu pilihan terbaiknya kan? Mau gimana lagi? Kalau mau murah banget ya jalan kaki. Gratis toh? :p

Terminal Ubung

Oya, terminal Ubung ini calonya seram-seram.

Ketika taksi kami baru memasang lampu sen kiri untuk menepi, ada banyak bli-bli (abang) yang berlarian menghampiri taksi kami dan membuka pintu. Mereka berebut dan menarik kami untuk ikut mereka.

Mereka bertanya kami hendak kemana dan kami jawab Padang Bai. Kami dibawa tempat beberapa angkot biru yang berkumpul dan ditawarkan 100 ribu untuk sampai ke Padang Bai yang artinya 50 ribu per orang.

Calo-calo di Terminal Ubung

Calo-calo di Terminal Ubung yang langsung mengerubungi calon penumpang.

Kami merasa itu terlalu mahal dan memutuskan untuk menunggu penumpang lain yang ingin ke Padang Bai biar harganya bisa lebih murah.

Ju yang belum makan siang langsung masuk ke Warung Nasi di Terminal dan dengan lahap menyantap nasi hangat dan lauk-pauk seharga 7 ribu. Kata dia sih enak.

Langit mulai gelap dan jam menunjukkan pukul 6 WITA. Angkot-angkot itu sudah pulang semua.

Tukang Ojek menawarkan untuk mengantar kami ke Padang Bai dengan harga Rp 75.000,- per orang. E gila kali. Kok lebih mahal dari Angkot?? Setelah ditolak halus, si Bli Ojek bilang kami gak mungkin dapat kendaraan lagi ke Padang Bai setelah lewat jam 6 sore.

Pilihan terakhir adalah naik bus ke Mataram yang berangkat jam 1 pagi dan harga tiketnya 175.000. Maaahaaaal….

Bli Ojek itu benar. Kami tidak menemukan kendaraan lagi untuk ke Padang Bai. Elf Ubung-Padang Bai sudah habis dari jam 4 sore dan angkot biru habis jam 6 sore.

Saya dan Ju bingung. Kami sempat menyetop taksi dan nego harga. Tidak ada yang mau dibayar 100 ribu. Semua taksi minta harga 250 ribu. Yah, tahu gitu mending ambil taksi dari Airport aja sekalian kalau memang harganya lebih mahal dari Ubung.

Ju mengajak saya masuk lagi ke dalam warung makan dan menunggu siapa tahu ada mobil tujuan Padang Bai muncul. Kami memesan teh, meletakkan tas di bawah meja makan dan istirahat sejenak. Pusing juga ya.

Ju mencoba peruntungan dengan nego sama Bus tujuan Mataram tapi hasilnya nihil. Mereka tidak mau mengurangi harga walaupun kami hanya menumpang hingga pelabuhan Lembar.

Lalu saya disamperin seorang bapak gendut yang menawarkan untuk mengantar kami ke Padang Bai dengan harga 50 ribu rupiah saja (saya sempat menolak karena salah dengar si Bapak nawarin harga 150.000 hahaha).

Bapak yang ternyata bernama Karma ini terlihat baik dan tidak ada niat jahat kepada kami. Dia mengantar kami ke mobil Suzuki APV nya dan langsung cus meluncur.

Ada hikmahnya juga sih ya menunggu lebih lama karena bisa naik mobil yang lebih nyaman dari Angkot dengan harga tiket yang sama. Hahaha.

Pantas ongkosnya cukup mahal dari Ubung ke Padang Bai karena jarak tempuhnya 1,5 jam. Jam setengah 9 kami tiba di Padang Bai yang sepiii sekali. Berbeda dengan Pelabuhan Merak-Bakauheni atau Ketapang-Gilimanuk yang rame terus siang sampai malam.

Waktu tempuh untuk menyeberang dari Padang Bai ke Lembar adalah 4-5 jam.

Kami sepakat untuk naik Ferry yang jam 1 malam agar tiba di Lombok ketika matahari sudah terang. Setelah membeli tiket seharga Rp 40.000,- per orang, kami mencari cafe yang masih buka yaitu Orange Sunset tapi jam 10 sudah tutup.

Kami pun pindah ke ruang tunggu Pelabuhan yang remang-remang, mencari pojok yang enak untuk makan nasi bungkus yang kami beli di Ubung dan beristirahat hingga jam 1.

Orange Sunset

Orange Sunset tempat kita beristirahat sejenak di Pelabuhan Padang Bai

Loket Pelabuhan Padang Bai

Loket Pelabuhan Padang Bai yang sepi

Pintu Masuk dan Ruang Tunggu

Pintu masuk dan ruang tunggu Pelabuhan Padang Bai. Itu loket sensor kartunya sudah rusak. Tsk.

Jam 1, kami melihat ada dua kapal yang akan berangkat. KM Putri Gianyar menjadi pilihan kami.

Enggak tahu sih apa alasan kita memilih kapal itu. Hehehe. Saya dan Ju mencari satu kursi panjang untuk selonjoran dan ternyata sisa satu. Ju mengalah dan menggelar matras di kolong untuk tidur. Hahaha.

Tidur di Kapal

Kalau mau tidur pakai kasur kita bisa membayar tambahan Rp 35.000/orang

Tidur di Kursi Panjang

Daripada bayar 35.000 mending cari satu kursi panjang untuk tidur selonjoran kayak Bapak-Bapak ini. Saya juga ikutan kayak mereka.

Ju Tidur di Lantai

Ju lebih memilih tidur di lantai, supaya tetap dekat dan ngejagain aku 😀

Tooottt. Toooottt. Tooottt. Sirene kapal berbunyi dan kapal si

ap untuk bertolak dari Padang Bai. Setelah doa malam, kami tenggelam dalam tidur yang nyenyak sekali.

Pagi-pagi Ju menggoyang-goyangkan badanku dan mengajak bergegas ke luar dan melihat matahari terbit.

Dengan muka bantal, aku segera mengeluarkan kamera dan mencoba menangkap frame-frame cantik walau nyawa belum sepenuhnya terkumpul.

Setelah dapat gambar yang bagus, saya menghirup udara segar yang banyak, membuka mata dan melihat pelabuhan Lembar di kejauhan. Ah ternyata kita sudah sampai.

Fajar dari Ufuk Timur

Laut yang tenang dan semburat fajar dari ufuk timur 🙂

Pagi Berkabut

Pagi yang dingin dan berkabut di Lembar, Lombok.

Pelabuhan Lembar

Pelabuhan Lembar, Lombok

Damai sekali rasanya pagi itu. Selamat pagi Lombok. :”)

Baca lanjutan cerita “Trip Lombok 2” di sini : “Sambutan Hangat dari Kuta Lombok”

About the author

An adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on.

Related Posts