Siapa yang tidak kenal dengan Raden Ajeng Kartini, sosok emansipasi wanita yang lahir 137 tahun silam dan masih dikenang hingga kini. Hari kelahirannya, 21 April dijadikan hari peringatan yang dikenal seluruh khalayak Indonesia, Hari Kartini.
Sebagai perempuan, saya sangat berterima kasih kepada Ibu Kartini. Semangat beliau memperjuangkan kesetaraan perempuan menjadikan wanita Indonesia kini merdeka untuk berpikir, bekerja, berkarya dan mencipta.
Jika Raden Ajeng Kartini menyuarakan agar perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, saya ingin bercerita tentang satu sosok yang memperjuangkan agar hasil karya wanita Indonesia sejak dulu kala, tidak lagi dipandang sebelah mata.
Sosok yang memperjuangkan agar budaya tenun yang sudah melekat pada wanita di Nusa Nipa (nama asli Pulau Flores sebelum datangnya Portugis) tetap diteruskan kepada generasi muda, memperkenalkan bahwa kerajinan ikat tenun adalah harta yang harus dijaga.
Sosok itu bernama Alfonsa Raga Horeng.
Pertama kali saya datang ke Sanggar Lepo Lerun, sanggar yang dibangun oleh Mama Alfonsa, beliau sedang memainkan alat musik tradisional, mengalunkan musik yang diiringi dengan tarian penyambutan. Saya diajak menari, mengikuti irama tabuhan gendang dan derap kaki.

Dengan bersarung ikat tenun, Mama Alfonsa langsung menyalami kami yang datang ke sanggarnya dengan ramah. Dipersilahkannya kami duduk di ruang tengah sanggar dimana kami bisa menyeduh kopi dan teh sendiri, sepuasnya.
Selain itu, Mama Alfonsa juga menawarkan kepada saya untuk mengenakan pakaian tradisional gadis Sikka lengkap dengan sanggul dan perhiasannya. Saya senang bukan kepalang.
Di sisi samping sanggar Mama-mama yang lain sedang melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang memisahkan biji kapas, menggebuk kapas, memintalnya menjadi benang, mewarnai benang dengan mencelupkannya ke air perasan yang berasal dari tumbuhan, mengikat pola dengan daun lontar dan menenunnya.

Untuk menghasilkan kain tenun, paling cepat sekitar 3-4 minggu dan paling lama 9 bulan, tergantung benang yang dipakai, lama proses pewarnaan dan juga motifnya. Semakin susah motifnya, semakin lama waktu pengerjaannya.
Saya begitu mengagumi kemampuan wanita penenun yang tanpa pensil dan kertas bisa membuat pola/motif tenun, mengikat setiap sambungan benang, mengaitkan benang-benang memakai daun lontar muda dengan cekatan.
Sungguh kemampuan dengan ketelitian tingkat tinggi. Jika satu ikatan saja salah, maka kain tenunnya menjadi gagal. Dikarenakan benang-benang itu biasanya diikat dulu baru ditenun, Mama Alfonsa pun mengatakan ‘ikat tenun’ bukan ‘tenun ikat’.

Di masa lampau, menenun adalah identitas setiap wanita di Flores. Menenun menjadi simbol kedewasaan anak perempuan.
Anak perempuan baru diakui sebagai wanita sepenuhnya ketika dia bisa menenun karena dianggap sudah mampu menguasai pelajaran tentang kesabaran, ketekunan, ketelitian dan kecekatan.
Saat ia dilamar oleh pria pujaannya, kain tenun buatan sendiri serta makanan lezat adalah seserahan wajib dari pihak wanita kepada pihak pria. Sedangkan pihak pria akan mengantarkan perhiasan atau kuda untuk calon pengantin wanita.
Mungkin kini kondisinya berbeda. Tidak semua gadis di Flores bisa menenun. Sebagian lebih memilih untuk fokus ke pendidikan formal, meraih gelar sarjana dan membantu mengembangkan daerahnya dengan pendidikan yang dia kenyam.
Tidak ada yang salah dengan itu. Menenun bukanlah proses yang mudah dan singkat. Pastinya mereka kesulitan jika harus membagi waktu untuk belajar di sekolah dan menenun.
Jangankan anak gadis, Mama-mama yang sudah menikah dan punya anak pun sebenarnya sedikit kewalahan membagi waktu untuk menyelesaikan kain ikat tenun di samping tugas utamanya sebagai Istri dan Ibu di rumah dan harus mengurus ladang, babi, dan kuda.
Begitu pula dengan Mama Alfonsa. Meski sudah belajar menenun dari Ibunya saat berusia 8 tahun, wanita kelahiran Sikka 1 Agustus 1974 ini bertekad untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar kampungnya.
Jurusan Teknologi Pangan Pertanian di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dipilihnya selepas SMA. Selepas kuliah, Mama Alfonsa sempat bekerja di Surabaya sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung ke Sikka dan mengembangkan daerahnya.
Saat itulah Mama Alfonsa melihat persoalan pelik yang sedang membelit para penenun di kampungnya. Salah satunya adalah penggunaan pewarna kain sintetis.
Terbersitlah ide di kepala Mama Alfonsa untuk mengembalikan pewarna alami sebagai pewarna tenun Flores seperti yang dipakai leluhurnya sejak dulu kala.


Dulu minat masyarakat dan wisatawan tidak terlalu besar terhadap kain tenun. Berbeda sekali dengan kondisi lima tahun belakangan di mana desainer lokal dan internasional mulai melirik kain tenun sebagai salah satu bahan unik untuk ditampilkan di panggung mode kelas dunia.
Hal itu tentu tidak terlepas dari peran Mama Alfonsa yang berusaha mengenalkan ikat tenun ke kancah dunia. Sejak Oktober 2003, Mama Alfonsa membangun Sentra Tenun Ikat Lepo Lerun.
‘Lepo Lerun’ sendiri berarti rumah tenun. Beliau keluar masuk desa, merangkul wanita penenun di Sikka (Maumere), Ende, dan Flores Timur.
Mama Alfonsa melakukan pendekatan lintas generasi, tak sungkan untuk berbicara dengan yang jauh lebih tua dan mau merangkul yang masih muda. Tujuan Mama Alfonsa untuk mengembalikan kualitas tenun tentu saja disambut baik oleh orang-orang di sekitarnya. Para leluhur pasti bangga.
Hingga kini, ada lebih dari 800 penenun yang berada di bawah naungan Sanggar Lepo Lerun. Yang saya lihat di Lepo Lerun hanya segelintir saja. Sisanya tersebar di berbagai desa di Flores.
Jalan yang ditempuh Mama Alfonsa tidak selalu mulus. Terjadi gesekan di sana-sini, termasuk dengan pemerintah daerah yang terkesan kurang peduli untuk mengembangkan potensi budaya di Flores.
Meski begitu, Mama Alfonsa tidak patah arang. Dia yakin bahwa tujuannya membantu menyejahterakan wanita di Flores, pasti mendapat banyak dukungan, meski bukan dari pemerintah.
Mama Alfonsa mulai merekam cara pembuatan ikat tenun dan berbagi ilmunya ke media sosial. Lima tahun berselang sejak didirikan, Lepo Lerun mulai mendapat perhatian khusus dari berbagai negara.
Mama Alfonsa diundang ke Australia, Swiss, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Meksiko, dan berbagai negara lainnya untuk mempromosikan tenun ikat.
Tidak hanya mempromosikan tenun ikat untuk mendapat keuntungan, namun juga berbagi tentang ilmu menenun dan makna yang terkandung di setiap motif tenun Flores.
Mama Alfonsa yang enerjik dan berwawasan luas selalu membuat orang-orang kagum. Beliau mengangkat derajat para wanita di Flores lebih dari sekedar pembuat kain di kampung, namun seniman tenun. Seniman.
Pujian dan pengakuan memang menjadi bahan bakar Mama Alfonsa untuk terus mengembangkan ikat tenun di Flores. Begitu pula dengan setiap wanita penenun di Flores yang semakin bersemangat untuk menghasilkan karya ikan tenun mereka.
Beberapa penghargaan sudah diterima Mama Alfonsa dan Lepo Lerun seperti Meexa Award (2006), Australian Leadership Award (2008), SheCan Tupperware Award: Inspire Woman (2010), Kartini Award (2011), Master Weaver of Flores Indonesia by Fashion Institute of Technology, Manhattan, New York, US (2012), Indonesia Digital Women Award ; Cultural Artist (2013).
Mama Alfonsa memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan tenun sebagai atraksi budaya bagi wisatawan mancanegara dan juga menguatkan perekonomian keluarga di Flores. Mama Alfonsa terus berjuang untuk mensejahterakan wanita, tindakan yang juga dilakukan Ibu Kartini lebih dari 100 tahun yang lalu. Beliau adalah Kartini Masa Kini.
Satu yang benar membuat saya kagum pada Mama Alfonsa adalah bahwa tak pernah ia terpikir untuk mendatangkan keuntungan untuk dirinya sendiri, tetapi kontribusi nyata kepada daerahnya yang selalu ada di benaknya.
Kita butuh banyak sekali Mama Alfonsa di Indonesia, yang penuh semangat menjaga dan melestarikan budaya bangsa, sebelum punah ditelan masa.

“I remembered what my father always said: ‘Never leave the land your great grandfathers inherited to you, and develop it for a good cause.’” – Alfonsa Raga Horeng.
Mama Alfonsa Haga Horeng adalah Kartini versi saya. Siapakah Kartini versi kamu? #UntukPerempuan | Heritage Indonesia
3 thoughts on “Alfonsa Raga Horeng, Kartini Indonesia Masa Kini”
Ibu kartini versi ane ia istri tercinta 😀 heeee
Ikut senang bahwa tenun Flores saat ini sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dengan begitu usaha ibu alfonsa dan kawan-kawan tidak sia-sia karena pasar sudah terbuka luas. Dan saya suka terhadap tenun Flores karena warna-warna yang cerah.
Senang juga jika tenun Flores kembali menggunakan pewarna alami 🙂
Hai mama alfonsa … Semoga perjuangan mu melestarikan tenun ngak pernah sia2