Pulau Kelagian |
Berawal dari menghadiri acara di Pelabuhan Merak, kaki ini menjadi gatal untuk menyeberangi Selat Sunda. Belum tahu mau kemana, sama siapa dan bawa apa. Benar-benar tak terencana.
Saya berhasil menghasut Asti dan Alfy untuk ikut bersama dalam perjalanan dadakan ini. We decide to get lost.
Sebelum kapal kami berangkat dari Merak-Bakauheni, seperti biasa kami melihat beberapa pemuda berkulit hitam legam berenang-renang sambil berteriak minta uang.
Saya menjatuhkan beberapa keping uang logam ke laut dan secepat kilat mereka menyelam untuk mengambil uang koin itu.
Seorang Bapak Tua di sebelah saya menyeletuk, “Ngapain kasih uang, Mbak? Mereka malu-maluin. Masih muda dan kekar kok kerjaannya minta-minta?”
Saya terdiam dan tidak membalas apa-apa.
Ya mau bagaimana lagi, uangnya sudah dijatuhkan. Saya sih hanya merasa kasihan dengan mereka yang berenang siang bolong demi uang receh. Pastinya mereka lelah. Tak ada salahnya kan berbagi beberapa keping, pikirku. Kalau mereka cuma duduk diam menadahkan tangan, mungkin tidak akan saya beri tapi kali ini mereka berenang, bergerak, melakukan sesuatu.
Ah, mari kita kembali ke cerita.
Berkenalan dengan teman-teman dari Basarnas, membuat kami mendapatkan tumpangan gratis dari Merak ke Lampung.
Seru juga ternyata naik mobil berwarna oranye dengan sirine yang menyala itu. Perjalanan Bakauheni-Lampung kami tempuh hanya dalam 1.5 jam dari perjalanan yang biasanya 3 jam. Di tengah-tengah perjalanan, kami juga ditraktir makan di Warung Makan Profita (Jl Raya Kalianda Karang Maritim) yang enak dan cukup murah.
FYI, semua warung makan Padang di jalur lintas Sumatera mahal semua, jadi Warung ini saya rekomendasikan kalau teman-teman jalan dengan low budget ( lebih murah lagi kalau bawa bekal sendiri :p )
Malam itu kami belum memutuskan akan menginap dimana sampai kami teringat dengan teman-teman Mapala di Unila (Universitas Lampung). Walau belum pernah bertemu, kami memberanikan diri untuk mampir. Toh sesama mahasiswa pecinta alam, saudara sendiri.
Memang betul kedatangan kami disambut dengan ramah. Baru tiba kami langsung disuguhkan teh manis dan pisang goreng.
Kami larut dalam tawa, bercerita tentang apa saja. Tengah malam kami diajak melihat “gajah” alias monumen adipura yang ada patung gajahnya di Bandar Lampung.
Ceritanya Monumen Gajah ini adalah tempat nongkrong anak gaul Lampung. Ada seorang Bapak penjual Sekoteng yang sudah berjualan sekitar 30 tahun bernama Hadjat Sudrajat. Dari namanya, bias kutebak bahwa Bapak ini berasal dari Jawa Barat dan ternyata beliau orang Cirebon yang transmigrasi ke Lampung.
Pak Hadjat dengan bangga bercerita bahwa anaknya semua sudah jadi sarjana berkat sekoteng buatannya. Air jahe yang dicampur dengan kacang hijau, kacang tanah, pacar cina dan potongan roti yang dijual dengan harga 6000 rupiah per gelas selama 30 tahun telah mengantarnya ke titik kepuasan hidup.
Tak pernah kekurangan dan tak perlu berlebihan. Semuanya tercukupkan. Satu pesan yang beliau titipkan adalah “Bertekun, bersabar, bersyukur adalah kunci hidup bahagia”. Terima kasih Bapak Sekoteng. Akan kuingat selalu pesanmu.
Pak Hadjat sekoteng dan senyum manisnya 🙂 |
Kembali dari keliling-keliling kota, kami masih asyik mengobrol hingga sekitar pukul 2 pagi. Ya sudah bisa ditebak besoknya semua bangun kesiangan. Harusnya kami berangkat ke Dermaga Ketapang pukul 6 pagi. Cara menuju ke Pahawang :
- Naik Bus dari Bakauheni – Terminal Rajabasa : Rp 25000,- (Patas AC)
- Naik Angkot dari Terminal Rajabasa – Tanjung Karang : Rp 3000,-
- Naik Angkot dari Tanjung Karang – Teluk Betung : Rp 3000,-
- Naik Angkot Pick-Up dari Tanjung Karang – Dermaga Ketapang : Rp 8000,-
Ternyata kesiangan membawa berkah euy. Bang Yayang dari Basarnas berbaik hati menawarkan untuk mengantarkan kami ke Dermaga Ketapang. Uyeeeeee…
Setelah 1,5 jam berkendara, kami tiba di Dermaga Ketapang. Cuaca cerah walau langit tidak biru dan tidak ada awan putih bergulung-gulung.
Walau begitu kami bersyukur karena sehari sebelumnya hujan deras sekali mengakibatkan longsor dan banjir (pengakuan masyarakat lokal). Kami dihampiri oleh Pak Taja yang langsung menawarkan kapal untuk ke Pahawang.
“Kalau naik kapal kayu biasa tiga ratus lima puluh ribu, tapi lambat jalannya. Mending naik speedboat Bapak, cuma empat ratus ribu seharian.” ujar Pak Taja.
Setelah berembuk, kami mengiyakan tawaran Pak Taja. Rombongan kami waktu itu hanya berlima yaitu saya, Asti, Alfy, Bang Yayang dan Lowo / Novia.
Dermaga nya tidak terlalu besar. |
Kalau sudah ke laut, pastinya kurang afdol kalau nggak snorkeling atau diving. Kami memutuskan untuk snorkeling dan menyewa alat ke Pak Taja. Satu set nya Rp 50.000,-. Memang sedikit lebih mahal dibandingkan penyewaan alat di Kepulauan Seribu ya.
Kami bertolak dari Dermaga Ketapang jam 10.12 dengan dipandu Bang Mail yang juga merupakan nahkoda speedboat. Mobil diparkir di dekat dermaga dengan biaya parkir Rp 10.000,-.
Sebagai pembuka kami dibawa ke Pahawang Kecil. Ada satu resort pribadi yang dimiliki oleh Mr. Jo, pria berkebangsaan Prancis. Bangunan resortnya terlihat mewah namun ada larangan untuk memasuki daerah resort kalau kita bukan tamu yang menginap di sana.
Private resort di Pahawang Kecil |
Kami lalu bertolak ke tengah dan menemukan banyak spot snorkeling yang cantik. Sayangnya, banyak juga spot yang sudah rusak akibat coral bleaching dan bom ikan.
Menurut pengakuan Bang Mail, dulunya nelayan memang suka ngebom di daerah itu namun sekarang sudah dilarang oleh Pemerintah.
Ya tetap saja dibutuhkan puluhan tahun untuk karang-karang itu tumbuh kembali. Semoga kedepannya tidak akan ada lagi pengeboman seiring bertumbuhnya pariwisata di kawasan ini. Amin!
Kami suka spot yang ini. Terumbu karangnya cantik dan terjaga dengan baik. |
Air laut yang super jernih ditambah dengan cuaca yang cerah membuat saya senang sekali melakukan freedive walau sebentar. Ternyata sangat menyenangkan ya merasakan sensasi diam di dalam air.
Rasanya pengen diseriusin nih, apalagi sudah ada komunitasnya di Jakarta. Ada yang tertarik juga? 😉
Matahari tegak lurus di atas kepala membuat kami memutuskan untuk sandar dulu di pulau Pahawang Besar. Kami beristirahat di pendopo kampung di dekat dermaga. Buaian angin laut dan cuaca yang panas membuat kami mengantuk. Sementara teman-teman saya tertidur, saya pergi berjalan-jalan ke kampung.
Selamat datang di Pahawang Besar. |
Jalan blok di pulau Pahawang Besar. Kalau mau keliling pulau naik motor bisa memakan waktu 30 menit. |
Saya pergi ke satu rumah dimana Ibu-ibu sedang berkumpul dan ngerumpi di teras. Dengan senyum-senyum saya datangi Ibu-ibu itu berbaur ngobrol dengan mereka.
Begitu tahu saya datang dari Jakarta mereka langsung heboh membicarakan Monas dan TMII. Ternyata ada caleg yang mengajak mereka jalan-jalan ke Jakarta 1 minggu sebelumnya.
Wuidiihhh, sekarang zamannya caleg kampanye dengan sogokan jalan-jalan ya, bukan sogok duit lagi. Ya bagus sih untuk menarik hati masyarakat. Asalkan nanti setelah terpilih nggak lupa ngajak jalan-jalan lagi. :p
Pas ngobrol mah koplak dan ngakaknya gak karu-karuan. Pas difoto jadi kalem. Malu katanya :p |
Pulau Pahawang Besar ini katanya bisa dikelilingi dengan motor selama setengah jam. Pak Agus, sebagai salah satu pemilik homestay menawarkan untuk memakai sepeda motornya.
Sayangnya kami harus segera bertolak kalau masih mau snorkeling di beberapa spot dan pulang tepat waktu. Lain kali deh ya keliling pulau nya. Untuk menginap di Pahawang besar, biayanya adalah Rp 400.000,- per malam di satu rumah dengan kapasitas 20 an orang.
Di Pahawang Besar, kita mungkin akan sering bertemu dengan monyet-monyet kecil di halaman rumah. Kasihan mereka diikat dan ditaruh di kandang yang kecil.
Monyet-monyet ini berasal dari hutan dan katanya boleh diambil oleh siapapun yang menemukan. Bingung saya. Toh monyet itu tidak menghasilkan apa-apa, kenapa harus dikungkung seperti itu? Tapi ya saya bisa apa ya? 🙁
Si monyet kecil ini nyengir senyum atau nyengir ngancem supaya kita jangan dekat-dekat ya? |
Kami meninggalkan Pahawang Besar sekitar jam 1 dan langsung menuju Pulau Kelagian Kecil lalu Kelagian Besar.
Pulau Kelagian Besar merupakan pulau yang dimiliki oleh Angkatan Laut. Per orang dikenai biaya masuk Rp 3000,-. Ada pondok-pondok yang disewakan dengan harga Rp 25.000,- per hari dan Rp 50.000,- jika ingin bermalam.
Cuacanya cerah tapi berawan. |
Selagi teman-teman yang lain snorkeling dan bermain pasir, saya pergi berjalan-jalan mengelilingi pulau.
Saya bertemu dengan bapak yang sedang bakar ikan di pantai lalu saya ajak ngobrol. Pak Hendri namanya. Dengan muka yang ramah, ia menawarkan saya untuk makan ikan bakar bersama-sama. Katanya saya wajib mencoba “seruit” khas Lampung yang dibuat istrinya.
Ini namanya Ikan Udo. |
Kita makan sambil dikerubungi anjing-anjing pulau yang lapar. Anjingnya kurus-kurus semua 🙁 |
Ikan Udo dimakan pakai sambal “seruit”. Seruit itu dibuat dari cabe, garam, micin, rampai dan terasi bakar. |
Rasanya sedap betul menyantap Ikan Udo dengan sambal “seruit” yang super pedas di siang bolong. Keringat mengucur deras tapi lidah tak mau berhenti ngunyah. Aduh, jadi ketagihan.
Salah satu hal unik yang aku temukan di pulau ini adalah lubang kepiting dengan pasir-pasir bulat yang rapi mengelilinginya.
Apa ya kegunaan dari pasir bulat-bulat itu? Lalu bagaimana kepiting itu membuatnya dengan capitnya? Ada yang bisa menjawab? Hahahaha 😀
Kami tidak berencana menginap di Pahawang karena harus pulang ke Jakarta malam itu juga. Tapi pastinya akan kembali lagi untuk menikmati alam bawah laut nya dan ikan bakar bumbu “seruit”.
Saranku juga bawalah underwater camera atau waterproof case untuk memotret keindahan terumbu karang di Pahawang dan Kelagian.
Sekitar 10 meter dari bibir pantai, kita sudah bisa bertemu dengan ikan-ikan lucu dan coral-coral cantik. Bisa selfie juga. Hahaha.
Karena kunjungan ke Lampung cuma 2 hari, saya memberi judul “Bersantai Sejenak”.
Buat teman-teman yang kerja kantoran juga bisa bersantai dengan memanfaatkan libur Sabtu dan Minggu. Selamat menikmati 🙂