Pasar Beringharjo |
Bagi saya, ada satu hal yang wajib saya lakukan kalau mengunjungi suatu daerah yaitu pergi ke pasar. Sebagai anak yang dibesarkan sebagai anak pedagang pasar, saya selalu tertarik untuk melihat pasar-pasar di kota lain.
Meski tidak belanja, saya senang saja melihat orang lalu-lalang, melakukan transaksi jual beli, melihat wajah pedagang yang sumringah menjajakan dagangan sampai wajah pembeli yang keukeuh / ngotot menawar harga yang kadang tidak masuk diakal.
Pasarnya rapi dan bersih ya 🙂 |
Salah satu pasar kesukaan saya adalah Pasar Beringharjo di Jogja. Ah, siapa sih yang tidak kenal dengan pasar ini. Letaknya di jalan Malioboro yang merupakan jalanan yang wajib dilalui para pelancong, membuat pasar ini terkenal.
Batik warna-warni dan beragam model di Pasar Beringharjo |
Pasar ini sudah melewati 3 zaman, mulai dari zaman kerajaan, kolonial hingga sekarang ketika Indonesia sudah 68 tahun merdeka. Wajar jika Pasar Beringharjo menjadi ikon kota Yogyakarta yang tidak boleh liput dari list tempat yang wajib dikunjungi di Jogja.
Tahukah kamu asal usul nama Beringharjo? Ternyata Beringharjo berasal dari kata ‘bering’ yang berarti beringin beringin karena dulunya wilayah pasar adalah hutan beringin, sedangkan ‘harjo’ berarti kesejahteraan. Nama ini diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pada 24 Maret 1925.
Sri Sultan mengharapkan pasar ini bisa membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Walaupun baru diresmikan tahun 1925, pasar Beringharjo ini sudah ada dari tahun 1758 meski belum berbentuk bangunan alias hutan beringin.
Buruh gendong di Pasar Beringharjo yang mayoritas adalah Ibu-ibu paruh baya. |
Jika ingin berbelanja oleh-oleh dalam jumlah banyak dan murah, Pasar Beringharjo adalah tempat yang tepat.
Ya memang sih sebenarnya di sepanjang jalan Malioboro juga banyak kios oleh-oleh. Tapi saya lebih senang berbelanja di pasar. Walau harganya hanya lebih murah dua ribu sampai lima ribu perak, buat saya yang perempuan ini, hal itu sangat penting. Hahahaha.
Ada yang menarik bagi saya di pasar ini yaitu Ibu-ibu yang memakai kaos berwarna biru dongker dengan label Jasa Gendong Pasar Beringharjo. Mayoritas adalah Ibu-ibu paruh baya bahkan nenek-nenek. Mereka menunggui pembeli yang memborong Batik hingga berlusin-lusin lalu menawarkan jasa gendong, mengangkat barang sampai ke kendaraan si pembeli.
Salah satu Ibu yang ada di foto saya di atas namanya Ibu Martinah, usianya 48 tahun. Beliau sudah menjadi (maaf) buruh gendong sejak 5 tahun yang lalu.
“Sekarang jaman sudah susah Mbak, apa-apa mahal. Ya cuma begini cara saya membantu ekonomi keluarga” tutur Ibu Martinah dengan logat Jawa yang kental.
Jasa Ibu Martinah dihargai 5000 hingga jumlah berapapun seikhlas orang yang memakai jasanya. Ibu Martinah mengaku satu hari mendapatkan uang 30 sampai 50 ribu.
Saya salut dan kagum dengan kegigihan Ibu Martinah namun sedikit menaruh iba dengan buruh gendong yang usianya 70 tahunan. Apakah mereka masih sanggup mengangkat barang berat? Tapi mereka tak peduli, tetap bekerja dan tidak memberikan kesempatan orang mengasihani mereka dengan cara meminta-minta walau sudah lanjut usia.
Saya semakin salut dengan semua Ibu dan Nenek jasa gendong. Semoga mereka selalu diberikan rejeki melimpah. Amin.
Bagi sebagian orang, bagian pasar Beringharjo yang paling sering didatangi adalah bagian depan saja, dimana kita bisa menemukan puluhan kios yang menjajakan baju batik dengan harga murah meriah.
Kisaran harganya mulai dari lima ribu rupiah sampai ratusan ribu. Tinggal pilih sesuai selera, mana suka. Biasanya harga itu ditetapkan dari bahan batik dan desain dari baju batik itu sendiri.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa bagian gedung belakang Pasar Beringharjo juga asyik untuk dijalani. Bersama dengan teman jalan saya, Sita, kami blusukan ke lantai 3 gedung belakang pasar.
Apa yang kami temukan di sana?
Kios barang bekas. Hehehe.
Saya yang menggemari pasar loak tentu saja bahagia betul. Walau belum tentu membeli, saya senang saja mengamat-amati barang-barang rongsok yang dipajang.
Terkadang saya miris juga melihat penjaja barang bekas yang sudah tak bersemangat menjaga kiosnya. Berapakah uang yang mereka dapatkan satu hari? Bisa saja setelah satu hari mereka menunggui dagangan, tak ada satu pun barangnya yang laku. Apalagi barang baru tak terlalu berbeda jauh harganya dengan barang bekas.
Baju pria bekas. Sebagian baju itu merk ternama lho 😉 |
Banyak sepatu dan tas bekas juga |
Botol-botol bekas ini lucu juga kan? |
Kita juga bisa menemukan elektornik tua di pasar ini |
Yang membuat saya menyenangi pasar loak di Beringharjo ini adalah kios baju batik dan kebaya tua.
Awalnya saya menjumpai seorang nenek tua yang hanya menyajikan kain batik bekas, duduk sendiri di pojokan pasar. Beliau tidak memiliki kios dan mungkin memang tidak mampu untuk menyewa kios.
Kuhampiri Nenek itu dan menanyakan apa saja yang beliau jajakan. Beliau mengeluarkan beberapa kain batik lusuh. Rata-rata dihargai lima ribu sampai sepuluh ribu.
@sitasentris di depan kios baju kebaya zaman dulu |
Saya pandangi kain-kain itu. Bingung juga karena saya merasa tidak akan memakai kain-kain batik itu.
Namun, tak ada salahnya merogoh lima ribu dari kantong untuk membantu Nenek itu. Berapakah pendapatan Nenek itu satu hari dibandingkan pendapatan kita. Betul kan?
Selain kain batik yang lusuh, kita juga bisa mendapatkan kebaya-kebaya tua. Secara pribadi saya senang dengan kebaya, apalagi kebaya-kebaya zaman dulu. Dengan muka berseri-seri, saya dan Sita mencoba beberapa kebaya warna-warni.
Baju kebayanya masih dalam kondisi baik dan ternyata harganya juga baik di kantong. Rp 15.000 saja loh teman-teman. Hayahhh senang betul saya.
Nggak lupa selfie dulu sama kebaya yang kami beli. Hehehe. |
Setelah berkeliling cukup lama, saya baru sadar perut saya keroncongan. Di sisi depan dan samping Pasar Beringharjo terlihat beberapa yang menjajakan makanan. Ada nasi pecel, gudeg, mie, kue-kue dan makanan lain. Pilihan saya jatuh pada satu Nen
ek yang duduk di kursi kecil di bawah payung menjajakan sate sapi. Ada sate lemak sapi, sate daging sapi setengah matang dan sate daging sapi matang. Semuanya enak! Satu tusuknya dihargai Rp 2.500 saja. Tidak suka sate sapi? Jalan-jalan lagi saja dan temukan makanan sesuai selera.
Nasi pecal, gudeg di depan Pasar |
Mbah Sate Sapi di samping Pasar Beringharjo |
Pasar Beringharjo beroperasi dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore. Datanglah ketika pasar baru buka atau ketika hampir tutup. Biasanya di jam-jam tersebut, kita akan mudah menawar harga batik yang kita inginkan.
Pakailah baju yang nyaman karena memang pasarnya cukup panas kalau siang hari dan banyak pembeli. Berhati-hati juga dalam membawa tas, dompet dan handphone ya.
Bagaimana? Jadi mau belanja di Pasar Beringharjo? Ayolah main ke Jogja dan blusukan ke pasar 😉