3 hari mendaki Gunung Kemiri, ritme langkah kaki sudah semakin enak dan terbiasa dengan tanjakan-tanjakan kepala ketemu lutut serta terowongan lumut.
Setiap hari ada saja gelak tawa sepanjang jalur karena ikatan di antara tim kami semakin kuat.
Malam hari jadi waktu favorit kami untuk berkumpul di sekitar api unggun, makan malam, minum kopi Gayo, bercerita tentang kehidupan. Menyenangkan bisa mendengarkan banyak cerita dari teman baru di perjalanan, kan?
Oke, mari kita lanjutkan catatan perjalanan pendakian Gunung Kemiri.
Day 4 – 27 Agustus 2017 (3120 mdpl-3194 mdpl)
Pagi-pagi seperti biasa, saya pergi memenuhi “panggilan alam” dan bernafas lewat mulut karena tim kami hanya punya satu lubang pembuangan yang berupa bilik kecil yang ditutupi plastik hitam. Tujuannya supaya tidak ada yang kena “jackpot” sewaktu melangkah dan tak sengaja menginjaknya. Hahahahaha…
Setelah tenda dirubuhkan, kasur angin dikempeskan, perut diisi dengan pancake dan teh, kami siap mencangklongkan carrier di punggung dan kembali mendaki ke kamp 4, kamp terakhir sebelum melakukan summit attack keesokan paginya.
Perjalanan dari Kamp 3 ke Kamp 4 ini jadi rute favoritku saat mendaki Gunung Kemiri. Vegetasinya sudah tidak terlalu lebat karena ketinggiannya sudah hampir 3000 mdpl jadi hampir tidak tampak lagi pepohonan tinggi, hanya pohon-pohon kecil.
Saat cuaca cerah, kita bisa melihat pegunungan yang membentang di kawasan Leuser Ekosistem. Jadi kami agak sedikit lambat karena sebentar-sebentar berhenti untuk ambil foto. Tentu kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Kami tiba di Kamp 4 tepat pada jam makan siang. Memang tidak terlalu jauh jaraknya dan perencanaan perjalanan seperti itu menurut saya bagus juga karena tim kami bisa beristhirahat lebih lama sebelum melakukan summit attack keesokan paginya.
Untuk mengejar sunrise di puncak Gunung Kemiri, kami harus berangkat pukul setengah lima pagi karena kata Bang Zul, mountain guide kami, jarak tempuh dari kamp 4 ke puncak hanya setengah jam saja. Hmmmmmm, setengah jam nya warga lokal atau setengah jam nya pendaki santai macam kami ini? Hmmmmm… Mari kita lihat….
Sayang sekali ketika kami baru saja merebahkan diri setelah mendirikan tenda, hujan gerimis mulai turun padahal jam masih menunjukkan pukul dua siang. Ah, kurang asyik rasanya hujan turun sesiang itu dan kami harus berlindung masuk ke dalam tenda.
Hingga 3 jam kemudian, hujan malah tambah deras dan rembesan air hujan mulai membasahi tenda kami. Saya dan Angie, tent-mate saya di ekspedisi LPOEC, langsung mencoba mengeringkan langit-langit tenda yang sudah terlalu berat dan basah oleh air.
Saat sudah kering, Angie kembali asyik mendengarkan podcast dari ponselnya dan saya membaca buku. Saya langsung merasa gelisah karena memikirkan porter-porter yang pasti kebasahan karena hujan deras dan satu-satunya tempat mereka berlindung adalah terpal plastik bening yang tidak tertutup rapat.
Benar saja. Malam itu, mereka tidak ada yang tertidur karena kedinginan dan kebasahan. Mereka berusaha untuk tetap berdekatan agar hangat dan membuat api unggun tepat di mulut tenda yang mereka jaga agar tidak membakar terpal plastik, tempat bernaung satu-satunya.
Dalam pelukan kabut yang dingin, kami mencoba untuk tidur nyaman malam itu. Saya sendiri membungkus diri dengan seluruh pakaian dan jaket yang saya punya, tak lupa kaos kaki tebal, kupluk dan buff rajut untuk menghangatkan leher dan telinga. Sambil mendengarkan musik lewat headset, akhirnya saya bisa tertidur juga.
Day 5 – 28 Agustus 2017 (3194 mdpl – 3314 mdpl – 2188 mdpl)
Ini dia hari yang ditunggu-tunggu setelah 4 hari menyusuri punggungan dan lembahan Gunung Kemiri yang akhirnya mengantarkan kami ke kaki puncaknya. Summit attack adalah ujian yang cukup sulit saat mendaki gunung karena kita harus bangun pagi-pagi sekali bahkan tengah malam (seperti saat mendaki Gunung Semeru) agar bisa tiba di puncak gunung sebelum matahari terbit.
Suhu udara pagi itu cukup mengagetkan saya karena tidak sedingin yang saya kira. Mungkin karena tidak ada angin yang berhembus jadi dinginnya tidak terlalu menusuk. Tetap saja dingin tapi berbeda dengan ekspektasi saya.
Satu yang kami syukuri adalah hujan sudah berhenti subuh itu. Tak terbayangkan jika harus mendaki ke puncak gunung saat cuaca hujan, matahari belum tampak dan pasti udaranya dingin menusuk.
Pagi itu, semesta sangat baik membiarkan kami yang masih mengumpulkan nyawa saat tidur, untuk menapaki sedikit demi sedikit tanjakan menuju puncak.
Saat summit attack, saya selalu berusaha untuk berjalan dengan ritme saya, bernafas perlahan dan tidak terengah-engah meskipun oksigen semakin tipis di ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut.
Berusaha terus untuk melangkah dan tidak terlalu banyak khawatir. Saya berusaha untuk memikirkan banyak hal yang menyenangkan mengiringi langkah kaki dalam gelap.
Setelah tiba di puncak, kami berpelukan satu sama lain, mengucapkan selamat kepada seluruh tim LPOEC dan bersiap menunggu matahari terbit. Saat itu kabut menyelimuti seluruh bentangan alam yang terlihat dari puncak Gunung Kemiri. Warnanya biru, bercampur abu kelabu. Mungkin sisa-sisa dari hujan deras yang mengguyur semalaman.
Kami harus cukup berpuas sampai di situ. Keberuntungan kami hanya segitu. Mentok.
Tak ada sinar matahari pagi hangat menyinari pipi yang dimpi-impikan…
Ada sedikit perasaan campur aduk di dada saya saat kami tiba di puncak. Ada perasaan puas dan bangga pada tim ini karena berhasil tiba dengan selamat dan tak kekurangan suatu apa pun.
Tapi di satu sisi saya sedih karena tidak mendapatkan pemandangan matahari terbit di puncak. Tapi seharusnya saya tidak sedih dan harus senang bahwa hujan berhenti hingga kami bisa menuju dan berdiri di puncak bersama-sama tanpa harus kebasahan. Jadi intinya ya harus bersyukur.
Kami tidak bisa berlama-lama berada di puncak karena kabut tebal menyelimuti seluruh area puncak hingga untuk melihat wajah satu sama lain kami cukup kesusahan.
Juga kami harus cepat berjalan turun karena target kami hari itu adalah kamp 2 yang jaraknya jauh sekali. Target kami tiba di kamp 2 sekitar pukul 4/5 sore, jadi kami harus berangkat jam 8 pagi dari kamp 4 dengan kecepatan dan kemampuan maksimal.
Jadi, tak ada banyak waktu untuk leyeh-leyeh setelah summit attack. Langsung bergegas packing tenda dan segala perlengkapan, makan pagi cepat-cepat, pemanasan dan lalu berjalan turun.
Kami melewati lagi jalur yang kami lewati beberapa hari sebelumnya. Mencoba berjalan lebih cepat dari pada saat waktu mendaki. Sempat terpeleset di atas jalur kerikil dan jalur dahan berlumut tapi syukurnya tangan kanan aman. Fyuh, deg-degan kalau sampai terpeleset dan tangan kanan bermasalah, rumah sakit jauhhhhhhh sekali. Jadi ya tetap harus sangat berhati-hati.
Setelah beristhirahat makan siang di pertengahan kamp 3 dan kamp 2, kami berjalan dan terus berjalan hingga tiba di kamp 2 sekitar pukul 4 sore, sesuai dengan target kami hari itu.
Begitu sampai, kami langsung rebahan di tanah dan mengusap-usap lutut yang sedikit gemetar. Ya memang perjalanan turun itu kadang lebih menyiksa dibandingkan saat mendaki dan lutut kita pasti akan sangat terbebani saat berjalan turun.
Tim porter membongkar logistik yang mereka sempat timbun di dalam tanah di hari kedua, dikubur di bawah pohon. Tentu alasannya agar beban yang
dibawa ke puncak tidak terlalu berat. Jadi logistik untuk hari ke-lima dan ke-enam ditimbun di kamp 2 untuk diambil saat perjalanan turun.
Hujan mengguyur malam itu saat kami sudah bergulung di dalam sleeping bag. Sudah tidak sedingin saat tidur di kamp 3 dan kamp 4 namun saya tetap kepikiran nasib porter yang tidur beratapkan terpal plastik.
Semoga mereka baik-baik saja dan bisa tidur dengan nyaman bermodalkan sarung yang dikeringkan di atas api unggun karena malam sebelumnya basah total.
Day 6 – 29 Agustus 2017 (2188 mdpl – 696 mdpl)
Keesokannya saya bangun dengan badan segar namun dengan sedikit perasaan sedih karena hari itu adalah hari pendakian terakhir kami di Gunung Kemiri.
Tentu senang karena semuanya bisa tiba di puncak bersama-sama dan sebentar lagi kami akan turun bersama-sama pula. Tapi kami tidak mau pandang enteng di hari terakhir. Semuanya tetap berjalan turun hati-hati agar tak ada yang cedera sampai kami tiba di kampung.
Perjalanan turun di hari terakhir itu tak akan bisa saya lupakan karena Moge (porter kesayangan saya dan juga yang paling muda) bernyanyi dengan bahasa Gayo sepanjang jalur. Bahkan dia menciptakan lagu untuk saya. Manis sekali kan?
Si anak Gayo tampan itu tak lagi melanjutkan pendidikan setamat dari SMA padahal dia Ketua Osis dahulunya. Anak yang berbakat dan punya talenta bernyanyi yang sangat luar biasa.
“Kak Satya nanti Oktober atau November, albumku keluar. Kaka dengar ya nanti ya” ujarnya pada saya di jalur.
“Ah, jadi itu alasanmu nggak mau lanjut kuliah? Karena mau fokus di karir bernyanyi mu?” tanya saya.
“Iya Kak, kalau bisa cari uang langsung dan bantu orang tua. Saya lebih memilih itu ketimbang kuliah” jawabnya.
Ya, tak ada salahnya Moge berpikiran seperti itu namun tetap saja saya mengatakan kepadanya jika kelak dia sudah mengumpulkan banyak uang dari albumnya, tetaplah ingat untuk lanjut ke universitas.
Sambil mengangguk, Moge berjalan terus dan Moge kembali bernyanyi.
Tibalah kami di kamp 1 yang berarti hanya butuh 2 jam lagi ke entry/exit point, desa Gumpang. Meski lelah karena perjalanan turun, tim porter justru bersemangat bernyanyi dalam bahasa Gayo dan tentu saja menari Saman, tarian Aceh yang tersohor itu.
Dulu, tarian Saman itu memang hanya dibawakan oleh para lelaki. Coba deh baca sejarah tari Saman di blog teman kesayangan saya dari Aceh, Bang Yudi Randa di artikel ini.
Hingga pada akhirnya kami tiba di Desa Gumpang sekitar pukul 12 siang. Perut keroncongan sudah protes minta diisi.
Awalnya kami berpikir hanya akan pergi ke warung kelontong dan makan mie instan. Namun, ternyata kami mendapat kejutan di mana penduduk desa Gumpang sudah menyiapkan sajian lezat.
Ada gulai ikan dan gulai ayam yang tentu kami santap dengan sangat lahap untuk makan siang. Duh, rasa nikmatnya nggak ketulungan dan tak terdeskripsikan.
Setelah santap siang lezat, suasana haru pun terasa saat kami berpamitan dengan tim porter yang menemani kami selama 6 hari ke belakang dan juga penduduk Desa Gumpang.
Terima kasih yang tak terhingga untuk semuanya…
Ekspedisi bertajuk “Last Place On Earth Challenge” ini diselenggarakan oleh Orangutan Odysseys dan menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya. Berminat ikut? Bisa langsung kontak mereka ya!
Cheers,