Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya

Satya Danau Kelimutu Pesona Ende

Pernahkah terbayangkan kalian akan mendatangi tempat yang dulunya hanya kalian lihat di uang kertas dan akhirnya pemandangan itu benar adanya, terpampang jelas di depan mata?

Uang kertas lima ribu rupiah adalah uang kertas yang sewaktu kecil membuat saya penasaran (sudah beda ya dengan uang lembar lima ribu yang sekarang). Memangnya benar ya ada danau yang memiliki tiga warna dan bisa berubah-ubah warnanya?

Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya
Danau Kelimutu. Kawah yang berwarna putih bernama “Nuwa Muri Ko’o Fai”, tempat roh baik dan masih muda bersemayam.

Uang Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya

Saya yang waktu itu masih kecil dan suka membaca buku dongeng, percaya bahwa pasti ada penyihir di Danau Kelimutu (iya, penyihir). Bagaimana bisa dia mengubah warna danau kalau dia tidak punya kekuatan ajaib?

Yah namanya juga anak kecil ya…

Akhirnya tahun ini saya bisa pergi ke Danau Kelimutu dan melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri. Waktu itu warnanya ada tiga: putih, hijau toska, dan hijau kehitaman. Dalam beberapa bulan ke depan warna masing-masing danau itu bisa berubah menjadi merah, biru, hijau, putih, hitam.

Mbupu Ata Lae Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya
“Mbupu Ata Lae” tempat para leluhur bersemayam
Atapolo Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya
“Atapolo” tempat roh jahat bersemayam

Ketika saya sedang membaca postingan tentang asal usul terbentuknya Danau Kelimutu, saya membaca cerita rakyat terbentuknya Danau Kelimutu bersumber dari blog ini.

Cerita Rakyat Ende Lio:

Dikisahkan, pada jaman dahulu kala, di puncak gunung Kelimutu yang disebut Bhua Ria (hutan lebat yang selalu berawan), bermukim Konde Ratu bersama rakyatnya.

Di kalangan rakyat kala itu, terdapat dua tokoh yang sangat disegani, yaitu Ata Polo si tukang sihir jahat dan kejam yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu yang dihormati karena sifatnya yang berbelas kasih serta memiliki penangkal sihir Ata Polo. 

Walaupun memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan disegani masyarakat, keduanya berteman baik serta tunduk dan hormat kepada Konde Ratu. Ata Bupu dikenal sebagai petani yang memiliki ladang kecil di pinggir Bhua Ria, sedangkan Ata Polo lebih suka berburu mangsa berupa manusia di seluruh jagat raya.

Pada masa itu, kehidupan di Bhua Ria berlangsung tenang dan tenteram, sampai kedatangan sepasang Ana Kalo (anak yatim piatu) yang meminta perlindungan Ata Bupu karena ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka.

Karena sifatnya yang berbelas kasih, permintaan kedua anak yatim piatu tersebut dikabulkan oleh Ata Bupu namun dengan satu syarat, yaitu mereka harus menuruti nasehatnya untuk tidak meninggalkan areal ladangnya agar tidak dijumpai dan dimangsa oleh Ata Polo.

Pada suatu hari, Ata Polo datang menjenguk Ata Bupu di ladangnya. Setibanya di ladang Ata Bupu, Ata Polo mencium bau menusuk (bau mangsa) dalam pondok Ata Bupu. Segera meleleh air liur Ata Polo yang kemudian hendak mencari mangsanya di dalam pondok tersebut.

Niat jahat Ata Polo tersebut diketahui oleh Ata Bupu yang segera menahan langkah Ata Polo sambil menyarankan kepadanya untuk datang kembali kelak setelah anak-anak tersebut sudah dewasa, karena saat ini mereka masih anak-anak, lagi pula dagingnya tentu tidak sedap untuk disantap.

Saran ini diterima oleh Ata Polo, yang kemudian pergi meninggalkan Ata Bupu yang sedang kebingungan memikirkan cara terbaik menyelamatkan dua anak manusia tadi.

Ancaman Ata Polo tadi begitu menakutkan bagi kedua anak manusia tersebut, sehingga ketika mereka mulai beranjak remaja atau menjadi Ko’ofai (gadis muda) dan Nuwa Muri (pemuda), mereka memohon izin pada Ata Bupu untuk mencari tempat persembunyian di gua-gua yang ada di luar ladang Ata Bupu.

Mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah gua yang terlindung tumbuhan rotan dan akar beringin.

Ketika tiba saatnya, sesuai waktu yang telah disepakati, Ata Polo mendatangi pondok Ata Bupu untuk menagih janji. Namun, karena ketika tiba di pondok Ata Bupu, dilihatnya kedua anak tersebut tidak berada di tempat, maka Ata Polo pun marah dan menyerang Ata Bupu dengan ganasnya.

Menanggapi serangan Ata Polo yang tidak main-main, Ata Bupu segera membalas serangan itu dengan ilmu andalannya “magi puti” untuk menangkal “magi hitam” Ata Polo. 

Pada awalnya perkelahian keduanya berjalan seimbang karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan setingkat. Namun, lama kelamaan tenaga Ata Bupu yang sudah tua kian melemah, sementara gempuran semburan api Ata Polo semakin gencar dan menjadi-jadi. Ata Bupu hanya bisa mengelak dengan gempa bumi.

Akibatnya timbul gempa bumi dan kebakaran besar hingga kaki gunung Kelimutu. Ketika merasa tak mampu lagi menandingi kekuatan Ata Polo, Ata Bupu memutuskan untuk raib ke perut bumi. Akibatnya Ata Polo menjadi semakin murka dan menggila.

Ketika mencium bau dua remaja yang tengah bersembunyi di dalam gua, Ata Polo pun bertambah beringas. Namun, takdir akhirnya menentukan bahwa Ata Polo harus tewas di telan bumi karena sepak terjangnya yang kelewatan.

Kedua remaja yang tengah bersembunyi juga turut menjadi korban. Gua tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri runtuh akibat gempa dan menguburkan keduanya hidup-hidup.

Beberapa saat setelah kejadian itu, ditempat Ata Bupu raib ke perut bumi, timbul danau berwarna biru. Di tempat Ata Polo tewas ditelan bumi terbentuk danau yang warna airnya merah darah yang selalu bergolak. Sedangkan di tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri, terbentuk sebuah danau dengan warna air hijau tenang.

Ketiga danau berwarna tersebut, masing-masing oleh masyarakat setempat diberi nama sesuai dengan sejarah terbentuknya tadi, yaitu Tiwu Ata Polo (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah-arwah para tukang tenung atau orang jahat yang meninggal), Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah muda-mudi yang meninggal), dan Tiwu Ata Mbupu (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua yang sudah meninggal).

Hingga kini, penduduk sekitar gunung Kelimutu percaya bahwa mereka dapat melakukan kontak dengan arwah orang tua atau leluhur mereka dengan memanggil nama orang tua atau leluhurnya sebanyak tiga kali di depan Tiwu Ata Mbupu.

Menurut kepercayaan, setelah pemanggilan dilakukan, biasanya arwah orang tuanya atau leluhur akan datang dan memberikan petunjuk melalui mimpi. Kontak dengan orang tua/leluhur tersebut biasa dilakukan untuk mendapatkan petunjuk apabila terjadi musibah, seperti kehilangan barang atau ternak.

Seru ya membaca cerita rakyatnya? Lalu bagaimana dengan cerita pendakiannya? Dibaca di blog post yang berikutnya ya. 😉

[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]

Perjalanan ini adalah undangan dari Kementerian Pariwisata Indonesia. Saya dan teman-teman media serta blogger akan mengeksplor beberapa tempat wisata di Ende. Silahkan juga cek foto-fotonya di Twitter dan Instagram dengan hashtag #PesonaEnde.

[/gdlr_widget_box]

Satya Winnie - Travel Blogger

Satya Winnie, an adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on. But, her favourite things are explore culture, capture moments and share the stories.

So, welcome and please enjoy her travel journal and let’s become a responsible traveler.

2 thoughts on “Danau Kelimutu dan Cerita Rakyatnya”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top