Lanjut lagi nih cerita di Tano Niha (Tanah Nias) nya 🙂
Setiba di Teluk Dalam, saya dan Juju pergi sungkem dulu ke tempat Mak Tua (tante) yang tinggal di Teluk Dalam. Karena belum makan pagi, kami pun sarapan nasi goreng terenak se Teluk Dalam. Tenang, nasi gorengnya halal, tidak pakai babi atau minyak babi. Selain enak, harganya juga bersahabat, Rp. 13.000 per porsi. Nama rumah makannya RM Batak Niskar.
Perut kenyang, hati senang dan siap berpetualang.
Saran saya kalau mau berpetualang di Nias lebih baik menyewa kereta (sepeda motor) karena transportasi umum nya jarang banget. Palingan ya naik Elf atau ojek dan cukup mahal kalau ditotal-total keseluruhannya. Jadilah saya dan sepupu saya Lanny pergi ke Simpang Empat Teluk Dalam untuk mencari kereta yang bisa disewa. Simpang Empat adalah pusat transportasi di Teluk Dalam karena tidak ada terminal bus di Nias Selatan.
Lanny yang memang lahir dan besar di Nias dan fasih berbahasa Nias mulai bernegosiasi dengan Ama-ama tukang Ojek. Harga awal yang ditawarkan kepada kami cukup gila. Ada yang 300.000/hari. Buset, emangnya nyewa mobil? -_-
Saya dan Lanny belum patah semangat. Keliling-keliling lagi, ada yang nawarin 150.000/hari (tetep aja mahal). Cari lagi nego lagi akhirnya mentok di harga 125.000/hari oleh Abang Wau. Oke deh. Bungkus cepet-cepet aja. Karena yang nyari kereta adalah dua gadis yang masih cantik (prettt), semua bapak-bapak itu ngerubungin kita dan diikuti orang-orang lain yang penasaran. Dari dua jadi tiga, jadi lima, jadi sembilan dan bertambah terus. Mungkin mereka pikir kita lagi memperebutkan salah satu bapak-bapak ojek. Hahahahaha. *yakaliii*
Tips : Waktu mau menyewa kereta jangan langsung iya-iya aja. Lihat juga kereta mana yang akan diberikan pinjam ke kita. Ada yang suka nakal menawarkan harga murah ternyata dikasihin kereta yang udah ringsek/butut. Kemarin waktu mau nyewa kereta aku benar-benar cek kondisi badan kereta, ban nya, rem nya, gas nya, lampu nya. Perjalanan di Nias membutuhkan kereta dengan kondisi prima. Lagian kan udah bayar mahal, masa dapat yg murahan?
Perut oke, kereta oke. Berangkat yuk!
Hari pertama ini rencananya kita akan mencari homestay di daerah Sorake. Kurang lebih 30 menit perjalanan dari pusat kota Teluk Dalam.
Begitu kita sudah siap untuk berangkat, tik…tik…tik,,,,dresssssss….
Hujan ._.
Yaaah. Sedih banget waktu itu. Udah hop-hop empat lima, malah hujan deras tiba-tiba.
Akhirnya mau gak mau masuk rumah lagi dan ngobrol-ngobrol dulu sembari nungguin hujan reda.
Hujan tinggal rintik-rintik sesudah 3 jam mengguyur Teluk Dalam. Jam menunjukkan pukul tiga lewat 10 menit. Kami pun memutuskan untuk berangkat sebelum gelap walau harus menembus hujan. Kakinya udah gatel banget pengen jalan
.
Setelah setengah jam berkendara, tibalah kami di Sorake, tempat menginap kita malam itu. Waktu dua tahun lalu ke Nias, aku bertemu dengan seoarang Om Gendut yang sedang membangun penginapan di tepi Pantai Sorake tapi belum jadi waktu itu. Setelah dicari-cari, eh ketemu. Om nya juga masih ingat sama saya Terharu :’)
Selain mengelola penginapan, beliau juga surfer yang handal walaupun gendut Hihihihi. *maaf ya om*
Penginapan yang dibangun beliau berbentuk Omo Hada (rumah adat) Nias membuat liburan saya di Nias lebih berasa. Harga yang ditawarkan pun murah, hanya Rp.100.000 /malam. Ada ranjang plus sprei bersih, kelambu, kipas angin. Kamarnya cukup luas tapi kamar mandinya ada di luar. Not a big deal, soalnya kamar mandi dan toiletnya bersih banget plus pakai toilet duduk. Kurang asik apa coba? Hehehe :p Foto-fotonya nanti digabung bareng story Sorake aja yah 😉
Sewaktu baru tiba di penginapan, ada turis yang sedang bercakap-cakap dengan Om Ndut dan saya ikut nimbrung. So, let’s meet Jim’s Family. Mereka berempat, Jim, istrinya, putrinya serta pacar putrinya. Aku pikir mereka turis biasa, ternyata mereka adalah turis luar biasa. Apanya? Ya luar biasa karena mereka datang ke Nias dengan membawa Yacht (sejenis perahu cruise mini) dari Amerika. WOW! Mereka sedang dalam misi berkeliling Asia Pasifik Keren banget sebanget bangetnya banget. Hebatnya lagi, mereka bisa mengemudikan kapal kecil mereka dengan sangat baik dan aman-aman terus. Informasi aja nih ya, perairan bagian barat pulau Sumatera itu ganas alias berombak besar sehingga ASDP tidak lagi beroperasi di daerah ini. ASDP hanya beroperasi untuk melayani penyeberangan pulau-pulau kecil, contohnya saja Sibolga-Nias, Padang-Siberut. Thumbs up for you sailors. 😉
Mereka ternyata hanya punya satu hari di Nias sebelum bertolak ke Siberut. Karena sudah sampai di Nias, mereka ingin sekali mengunjungi kampung adat Nias. Ya sudah, karena saya dan Juju mau ke Bawomataluo, mereka kami ajak ikut serta. Kami mengendarai 3 kereta menuju Bawomataluo. Perjalanannya kurang lebih 40 menit untuk tiba di gerbang utama desa Bawomataluo dari Sorake. Jalanannya berliku-liku dan menanjak, jadi harus jago nih bawa keretanya.
Akhirnya kami tiba di gerbang desa Bawomataluo. Ada 88 anak tangga yang akan membawa kita ke desa yang bangunan Omo Sebua (Rumah Raja) nya paling besar dan megah dibandingkan 3 Omo Sebua lainnya di Nias Selatan. Sebenarnya kalau capek naik tangga bisa lewat jalur belakang. Tinggal tanya saja pada penduduk lokal.
Cuaca hari itu memang mendung, tetapi pemandangannya tetap saja super amazing. Kita bisa lihat sebagian kawasan Teluk Dalam dari ketinggian. Oh iya, Bawomataluo ini disebut juga sebagai Bukit Matahari. Sebenarnya kalau langit cerah kita bisa lihat langit senja dan matahari terbenam yang indah. Sayangnya aku dan Juju sedang tidak beruntung hari itu ._.bagaimanapun kami mengatur ISO, White Balance dll, kita tidak bisa mendapatkan foto yang benar-benar bagus. Tapi kami harus bersyukur, setidaknya enggak hujan kan? 😉
Sewaktu dua tahun yang lalu aku datang ke Bawomataluo, aku belum pernah lihat orang Nias loncat batu atau namanya “Hombo Batu”. Masih ga percaya aja ada orang yang bisa lompatin batu sebesar itu tanpa alas matras ataupun alat bantu lainnya. Tp kali ini akhirnya aku dapat kesempatan untuk melihat Hombo Batu dengan mata kepala sendiri. AAAAAAA super banget senangnya. Atraksi Hombo Batu ini sudah menjadi wisata lumrah dan dijual oleh masyarakat Nias. Untuk melihat satu kali lompatan Hombo Batu kita harus merogoh kocek sekitar Rp. 50.000. Jim sangat berbaik hati membayarkan untuk kami berenam, jadi saya dan Juju tidak perlu bayar lagi. Yeah! Ya maklum namanya juga backpacker, nyarinya yang murah dan gratisan kalo bisa. hahahaha.
Pelompat batu sudah siap, kamera jugasudah siap. Saya dan Juju memutuskan untuk mengambil angle yang berbeda untuk mendapatkan hasil foto yang bervariasi. Lalu berlarilah pemuda Nias ini, hup hup hup huplaaaa. Dia pun terbang melangkahi batu setinggi kurang lebih 2 meter itu. Aku yang membidik dari balik kamera saja takjub. Amazed. Speechless.
Tapi jangan kira semua laki-laki Nias bisa melakukan ini dengan instan. Mereka sudah berlatih sejak masih kecil. Kenapa? Karena mereka baru akan benar-benar diuji lompat batu ketika mereka sudah berusia remaja beranjak dewasa. Bisa lolos meloncati batu itu berarti mereka sudah dianggap dewasa dan sudah layak untuk menikah dan berkeluarga. Unik juga ya, menurut saya hebat mereka sudah diajari tentang membentuk suatu keluarga alias menikah itu tidak mudah.Hombo Batu juga menjadi salah satu cara menarik perhatian para gadis Nias 🙂
Ngomong-ngomong soal menikah, kami sangat beruntung karena sore itu bisa melihat arak-arakan pengantin yang akan melakukan upacara pernikahan.Sayangnya waktu yang kami punya pun terbatas, alhasil kami pun tidak bisa menyaksikan prosesi upacara pernikahan adat Nias. Tapi bisa melihat iring-iringannya juga udah seneng banget kok plus bisa ambil foto tentunya. Hehehehe.
Langit gelap bergulung, hujan rintik-rintik mulai
membasahi Bawomataluo. Kami pun memasuki Omo Sebua di Bawomataluo. Bangunan Omo Sebua ini masih berdiri dengan kokoh dan merupakan Omo Sebua terbesar dan terluas se-Nias Selatan. Bangunan rumah adat Nias tidak memakai paku sama sekali. Mirip seperti masyarakat Baduy, Nias mempunyai trik tersendiri untuk membuat rumah mereka kokoh berdiri tanpa paku. Mungkin ada sisi mistis nya juga kali ya. Dari sejarahnya (dapat cerita dari masyarakat Nias), pembangunan Omo Sebua pada zaman dahulu selalu meminta persembahan. Persembahannya bukanlah daging kurban atau emas, melainkan kepala manusia. Sumpah, saya kaget. Setiap tiang besar / pondasi dasar Omo Sebua membutuhkan tumbal 1 kepala manusia. Saya langsung merinding mendengarnya dan mulai menghitung kira-kira ada berapa kepala yang tertanam di bawah Omo Sebua ini. Tapi tenang saja, itu kan zaman dulu sewaktu belum ada Agama yang masuk ke Nias. Sekarang kalau mau ke Nias aman kok, enggak bakal diambil kepalanya untuk dijadikan pondasi rumah.
Lalu, siapakah yang kini menempati Omo Sebua?. Di Bawomatoluo, kami bertemu dengan Ama Ana Fau yang juga masih keturunan raja. Jadi kalau di Nias, kita sudah susah mengetahui nama asli orang yang sudah berkeluarga. Kalau dia seorang bapak, dia akan dipanggil dengan “Ama …” diikuti dengan nama anak sulungnya Contohnya seperti tadi yaitu Ama Ana, karena nama putri sulungnya Ana dan marga keluarga nya adalah Fau. Begitu pula dengan yang perempuan akan dipanggil “Ina ….”
Memasuki Omo Sebua itu kami merasa nyaman karena kayu-kayu berusia ratusan tahun itu memang hangat. Omo Sebua ini didirikan pada tahun 1835 tetapi masih kokoh berdiri hingga kini. Untuk masuk ke dalam rumah kita harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Di dalam Omo Sebua kami berjumpa dengan seluruh anggota keluarga Fau. Di rumah itu ada Ama, Ina, Ana, Karlina dan Collin. Mereka tidak hanya ramah, tetapi fasih menjelaskan sejarah rumah itu, filosofi dari setiap ukiran yang ada di dinding dan perabotan rumah. Senang sekali duduk berlama-lama mendengarkan sejarah Nias dari Ama Ana.
Tak terasa hujan sudah reda dan menunjukkan pukul 17.40. Jim harus segera pulang karena mereka harus kembali ke kapal sebelum gelap karena kapal mereka sedang lego jangkar di tengah laut. Bye-bye Jim. Nice to meet u and ur family. Hope to see you again someday somewhere 🙂 Bon Voyage!
Ama dan Ina mengajak aku dan Juju masuk ke bagian dapur nya Omo Sebua. Wah, kami berdua merasa terhormat sekali karena boleh memasuki bagian dapur. Tidak semua wisatawan boleh memasuki bagian dapur karena masalah privasi. Memang hanya bagian depan Omo Sebua yang menjadi objek wisata.
Kami disuguhi teh hangat dan saya langsung mengeluarkan biskuit yang kami bawa. Yap, tea time. 🙂
Berbicang-bincang dengan keluarga Fau sangatlah menyenangkan. Ternyata mereka masih memakai tungku besar yang bisa memuat 7 tungku didalamnya. Di lemari-lemari juga terdapat beberapa patung pahat yang sudah tua, pembungkus gong, pembungkus piring, topeng dan barang-barang antik lainnya. Dalam perbincangan sore itu aku ditanya-tanya tentang asal keluargaku. Ternyata Sidabutar itu masih satu klan dengan marga Fau di Nias. Seketika itu juga Ama Ana mengatakan aku adalah gadis Nias boru Fau. Hahaha. Jadi? Kerenan mana? Satya Winnie Sidabutar atau Satya Winnie Fau? Hahaha :p You decide.
Sejak masuk dapur, mataku tertuju pada satu lemari. Lemari itu berisikan pakaian adat Nias. Pakaian laki-laki dan perempuan. Ana yang melihatku memandangi lemari itu terus mengerti mimik mupeng (muka pengen) ku dan langsung menawari apakah mau mengenakan pakaian adat itu. HAH? Beneran ga mimpi nih aku? Ana langsung mengambil pakaian yang bernuansa kuning dan merah itu lengkap dengan mahkotanya dari dalam lemari kaca dan mengajakku ke kamarnya. Ana membantuku mengenakan pakaian itu. Pakaian atasnya terbuat dari satin halus berwarna kuning dengan pola bercorak merah. Bawahan roknya terbuat dari beludru yang cukup tebal berwarna merah kuning sehingga ketika dipakai, badan terlihat sedikit “berisi” Adapun aksesori lainnya itu mahkota dari lempengan kuning, gelang, selendang merah kuning. Ahhh, entah berapa lama aku senyum-senyum sendiri mematut diri di kaca. Senangnya. Lalalala~
Selesai mengenakan seluruh atribut pakaian adat, aku pun keluar kamar dan Juju langsung takjub gitu ngeliatnya dan bilang saya cantik. Aaah, makasih Juju.
Juju langsung mengajak aku ke bagian depan Omo Sebua untuk mengambil foto aku sedang berpakaian adat di Omo Sebua. Tiba-tiba zleeb. Lampu mati. Gelap gulita. What should we do then?
Bukan Juferdy namanya kalau ga punya banyak akal. Dengan penerangan headlamp dan lampu senter kecil serta dua flash lamp, Ju berusaha menghasilkan foto-foto yang luar biasa dengan kamera Olympus kesayangannya. Hasilnya? MEMANG LUAR BIASA 😀
Tetapi sebelum photo session pribadi, saya dan Juju ingin memberikan kenang-kenangan kepada Ama dan Ina. Mereka kami buatkan foto keluarga yang sekiranya juga menjadi pengingat bahwa kami pernah kesana. Jadilah mereka berlima mengeluarkan senyum terbaiknya untuk mendapatkan hasil foto yang cantik. Fotonya kami cetak dan kami kirim ke Bawomataluo. Senang sekali mengetahui mereka senang dengan kado kami itu. Terbayang muka keluarga Fau yang sumringah melihat hasil foto yang kami buat. Maklum disana kan foto cuma sekedar foto lewat Handphone, jadi ketika dapat foto jepretan kamera dengan kualitas lebih bagus mereka senang sekali. Menurut kami daripada memberikan salam tempel kepada orang-orang yang berbaik hati menampung kita di rumah mereka ketika bepergian, sebaiknya memberikan/membuatkan sesuatu yang bisa mereka jadikan kenang-kenangan. 🙂
Kami akhirnya pulang sekitar pukul delapan lewat walaupun hujan belum sepenuhnya reda. Karena perut sudah keroncongan, kami pun pergi ke pusat kota untuk makan malam. Kami tiba sekitar pukul sembilan di Teluk Dalam dan langsung memesan Nasi + Babi Kecap + Capcay + Jus Terong Belanda + Teh Manis di RM Niskar. Total harganya sekitar Rp 47.000,-. Murah banget kan? Dibandingkan dengan Sorake yang mematok harga makanan sinting. Makanannya tidak terlalu enak dan harganya itu loh, mahal gila. Jadi ya rekomendasiku sih pergi saja ke kota untuk makan. Banyak kok warung makan yang tersebar. Yang muslim gausah takut, ada RM Padang kok di Teluk Dalam. Halal. Setelah kenyang, kami berkendara pulang menuju Sorake. Tiba di penginapan kami langsung bebersih diri dan langsung tepar. Hahahaa 😀
Can’t describe how happy I am. It was nice to met many kindhearted and lovely people and slept in warm room and listened to Sorake waves. Thanks God. Today is perfect. <3 Can’t wait to explore more places tomorrow. Nighty Night.
![]() |
Ini dia pakaian adat perempuan Nias Selatan 🙂 |
![]() |
Cap cay. Munch munch munch! Yummy!Babi kecapnya bikin nagih-nagih. Cuma Rp.20.000,-/porsi. :9 |
![]() |
Moda Transportasi Umum di Nias! Bisa nampung 40 orang loh! |
![]() |
Jalan menuju Bawomatoluo |
![]() |
88 Stairs to Omo Sebua Bawomatoluo |
![]() |
Welcome to Bawomatoluo Village :’) Peaceful! |
![]() |
Omo Sebua & Batu Loncat |
![]() |
Satu, dua, tiga, lompat. Hup! Hombo Batu!Ini nih pelompat batu yang pro! Ya’ahowu! |
![]() |
Me & my lil’bro from Niha 🙂 |
Me & Jim’s Family from America! Hello! 🙂 |
Me, Juju Gorilla and Jim’s Family and lil’ bro 🙂 |
![]() |
I’m the local guide actually and the real local guide just staring at us. -___- |
![]() |
We’re so lucky to meet the local bride <3 |
![]() |
Say Hello to the groom 🙂 |
![]() |
Aku & Ama Ferdinand, salah satu tetua adat Bawomatoluo |
![]() |
Let’s meet Ama Ana Fau. Beliau adalah keturunan Raja di Bawomatoluo. Di Omo Sebua ini masih banyak dipajang tulang kepala babi. Dimana? Tuh dibelakang Ama. Hahaha 😀 |
![]() |
Mari bertemu keluarga Fau. Ama, InaAna, Karlina, Collin. Whatta lovely family 🙂 |
![]() |
Ukiran di kayu tiang Omo Sebua. Itu adalah lonceng dan gong. |
![]() |
Piring-piring itu dari Cina. Tapi yang unik adalah pembungkusnya yang terbuat dari rotan. |
![]() |
Kayu-kayu pahatan hasil kerajinan di Omo Sebua. Bisa dibeli kok 😉 |
![]() |
Entah kenapa aku suka sekali dengan dua pahatan orang ini 😀 |
![]() |
Lemari tua ini berisi patung dan topeng terbuat dari kayu, |
Topeng kayu asli loh! Lumayan berat. |
![]() |
Suka dengan pembungkus gong dari rotan ini :O |
![]() |
Ahey! Bisa pakai baju adat Nias. Isn’t it lovely? 🙂 |
![]() |
Aah, i love this traditional clothes. I’m Nias Girl now. ^^ |
8 thoughts on “Disulap jadi Gadis Nias di Bawomataluo – Nias Selatan”
asik tulisannya, bawa kita secara personal ke dalam petualangan perjalanannya , thumbs up
kereeeeennnn….dikarenakan bacaan ini membuat saya pengen foto sama Ama Ferdinand. like this!
Hello Mbak Ririn Datoek, terima kasih komentarnya, maaf sepertinya terlewat sampai aku gak tahu ada komennya. Hehehe 🙂 Silahkan ke Bawomataluo, nanti foto deh sama Ama Ferdinand 🙂
Terima kasih Juju 🙂
keren..thanks ya sdh mau berbagi.saya pengeeeeeen banget ke nias.tapi sayang akses ke sana kurang banyak.kalau ke sana pingin banget foto sebanyak-banyaknya,terus beli kain dan baju adatnya,sekalian aksesoris suku nias yg kelihatan gorgeus itu.minta nama fb nya bole gaa?
Akhhh kamu curangggg
Giliran aku dah di medan kamu prg kenias.
Coba aja ada aku di nias pas Kamu datang. Kuajak pAstinya Kamu Ke berbagai Air Terjun Yg Ada Di Nias Itu.
Selamat siang mba, waktu berkunjung ke Nias berapa lama mba sudah sampe kemana saja..? apakah dipedalaman Nias masih kental dengan aliran kepercayaan dan bagaimana dengan ilmu ilmu kebathinan terutama magic/dukun adat/kepala suku..?? karena saya lagih perlu sesuatu dari sana..
Please reply/mohon balasan email [email protected]
So Nice and BEautifull Island. So Ladis In the Picture. 🙂