Waktu berkendara yang dibutuhka dari Larantuka ke Maumere biasanya hanya memakan waktu 3 jam. Namun, kali ini berbeda. Saya bersama rombongan Daihatsu #terios7Wonders mengiringi peserta balap sepeda Tour De Flores 2016 di belakang dan alhasil waktu tempuhnya menjadi 5 jam. Nggak terbayang itu capeknya para peserta yang harus melewati jalur menanjak dari Larantuka.
Meski memakan waktu lama, saya benar menikmati perjalanan nyaman di dalam Daihatsu Terios. Kami membuka kaca lebar-lebar dan membiarkan angin semilir nan sejuk masuk. Sempat kami berhenti di tengah hutan dan melewati pohon-pohon besar dengan sarang lebah yang begitu banyak. Masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai hutan madu. Sayangnya, tidak ada yang lagi panen madu saat itu.



Kami tiba di Maumere sudah lewat jam makan siang. Meluncurlah rombongan ke Rumah Makan Jakarta (jauh-jauh ke Maumere kok makannya di Jakarta #eh) untuk mengisi perut yang keroncongan. Santapan terbaik tentu saja ikan segar dengan kuah asam. Sayang tak ada kelapa muda, padahal sudah terbayang-bayang sejak berangkat dari Larantuka.
Selepas perut kenyang, kami meluncur ke daerah Sikka untuk melihat Gereja Tua Sikka yang tersohor itu. Hatur puji syukur saya bisa datang lagi ke Sikka. Jika Gereja Reinha Rosari di Larantuka yang dikenal dengan Gereja Besi, Gereja di Sikka ini dikenal dengan nama Gereja Kayu.
Mobil kami terguncang-guncang karena kondisi jalanan yang berlubang. Namun suspensi Daihatsu Terios ini memang mantap. Saya tetap merasa nyaman sepanjang perjalanan, apalagi disuguhi pemandangan pantai selatan Laut Sawu yang menenangkan.

Setibanya di Gereja Tua Sikka, kami bertemu dengan Mama-mama berpakaian tenun yang menawarkan beragam kain tenun nan cantik. Tidak hanya kain tenun, mereka juga membuat beberapa Rosario dari kerang. Tentu itu strategi yang baik karena yang datang ke Gereja Sikka kebanyakan peziarah.

Pak Gregorius Gorris Tamela, salah satu tetua adat di Sikka menemani rombongan kami untuk melihat bagian dalam gereja kayu Sikka yang bernama asli Gereja Santo Ignatius Loyola. Meski ini kali kunungan kedua, Gereja ini selalu berhasil memesona saya.

Pak Gregorius mampu menguraikan sejarah gereja ini karena ia hafal sejarah Moang Lesu Liardira Wa Ngang, raja Sikka pada abad ke-14 yang menjadi awal-mula Gereja Tua Sikka dan tradisi tua mereka. Kronik yang berawal dari cerita Lesu muda, yang berjuluk Ina Gete Amagahar (pintar, berwibawa, dan didengar), bertualang ke Selat Malaka.
Di Selat Malaka, ia bertemu para misionaris Katolik asal Portugis, yang lantas membaptis Lesu muda dengan nama permandian Don Aleksius dan terkenal sebagai Don Alexu Ximenes da Silva. Penguasa di Malaka, Jogo Worilla, menghadiahi Da Silva sebuah Senhor atau salib dari Portugis, berikut patung Meniho (kanak-kanak Yesus). Ditemani seorang Portugis bernama Agustinho Rosario da Gama, Da Silva pulang ke Sikka, membangun kapel kecil bagi Senhor dan Meniho yang dibawanya.
Sejak itu, Sikka rutin dikunjungi misionaris Portugis. Pada 1617, gereja Katolik menempatkan pastor pertamanya di Sikka, Pastor Manoel de Sa OP, membangun tradisi Gereja Tua Sikka yang masih kita saksikan hingga kini. Dari Sikka pula para misionaris menjelajah hingga ke Maumere, hingga Stasi Maumere didirikan pada 1873.
Seiring perkembangan kota Maumere, pada 14 Desember 2005 berdirilah Keuskupan Maumere, membawahi Paroki Sikka, cikal-bakalnya. Gereja Tua Sikka juga diikuti pendirian berbagai sekolah, termasuk Seminari Menengah pada 1926, yang kini telah ditutup. Sekolah-sekolah itu menyebarkan lulusannya ke berbagai wilayah di Flores, baik sebagai imam maupun awam.
Gereja Tua Sikka yang kini berdiri memang bukan bangunan kapel yang dahulu didirikan Da Silva. Gereja Tua Sikka hari ini adalah bangunan yang selesai didirikan pada 1899, didasarkan rancangan Pastor Antonius Dijkmans SJ, arsitek perancang Katedral Jakarta. Gereja itu dibangun mulai 1893 dan diresmikan Pastor J Engbers SJ pada 24 Desember 1899. (Saya tidak mendengarkan langsung cerita ini dari Pak Gregorius, melainkan membacanya dari sumber tulisan ini
Gereja ini baru saja direnovasi ulang tahun 2014 silam. Seluruh kayunya diplitur dan mengkilap seperti baru. Tidak lagi kusam seperti yang bisa kita lihat di pencarian google jika mengetikkan keyword ‘Gereja Tua Sikka’.

Di samping Gereja, terdapat bangunan kapel kecil yang menyimpan ‘Senhor’ dan ‘Meniho’ yang tertutup rapat. Kedua barang hasil buah tangan Da Silva dari Malaka itu hanya dikeluarkan saat Misa Jumat Agung, Perarakan Suci Logu Senhor. Hmmmmm, agak sedikit mirip dengan patung Tuan Ma di Larantuka yang memang dikeluarkan saat prosesi suci ‘Semana Santa’ ya.
Selain itu, saya juga mendapati dua buah Meriam di kawasan halaman gereja yang dulunya dibawa oleh Pastor Fransisco Damato OP pada tahun 1629 dari Malaka. Di depan gereja ada pastoran dan di bagian samping gereja, terdapat kompleks pekuburan jemaat Ignatius Loyola.
Tenun Ikat Alami Lintas Generasi
Mengunjungi Desa Sikka ini menyenangkan karena bisa mendapat dua hal sekaligus yaitu melihat-lihat Gereja Tua Sikka yang cantik, sekaligus bisa melihat proses menenun kain tenun ikat dengan pewarna alami.
Mama Maria, pemimpin komunitas tenun para wanita di Desa Sikka menyambut kami dengan senyuman merahnya yang khas, bekas mengunyah sirih saban hari. Mengenakan tenun ikat kebanggaan, Mama Maria mengajak kami melihat langsung tahap-tahap pembuatan kain tenun Sikka.
Mula-mula adalah proses memisahkan kapas dari bijinya yang lalu digebuk-gebuk agar mudah dipintal, kemudian setelah menjadi benang harus melewati proses pencelupan alami memakai akar mengkudu atau daun indigo, membuat pola dengan mengikatnya memakai daung gebang lalu menenunnya hingga menjadi kain tenun ikat yang cantik.



Dengan proses sekitar 3 bulan bahkan ada yang sampai 1 tahun, wajar saja kain-kain ini dihargai mahal kan? Satu kain berukuran kecil dihargai sekitar Rp 300.000 – Rp 500.000. Untuk kain berukuran sedang sekitar Rp 500.000 – 1.000.000 dan untuk kain berikuran lebar dihargai di atas Rp 1.000.000,- tergantung motif dan lama proses pewarnaannya. Dan tradisi menenun dengan pewarna alami ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dipertahankan oleh wanita-wanita di Desa Sikka hingga sekarang. Lintas berapa generasi itu ya?
Duh, andai saya punya duit banyak, pasti saya borong semua kain tenun ikat itu. Sayang, niatnya harus saya urungkan, tunggu punya duit banyak dulu ya. Hehehehehe. Jika nanti teman-teman berkunjung ke sana dan punya uang cukup untuk membeli kain-kain itu, belilah ya. Ada juga souvenir kecil seperti kalung, gelang dan Rosario buatan tangan Mama-mama di Sikka.
Hari sudah semakin sore dan rombongan kami harus segera kembali ke Kota Maumere untuk beristhirahat dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Meski berkendara seharian, saya tidak merasa lelah karena Terios memang nyaman. Apalagi di perjalanan pulang dari Sikka menuju Maumere, dapat pemandangan senja nan cantik. Fyuhhh~ Nggak berasa lelahnya.

[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]
Perjalanan ini merupakan undangan sponsor dari Daihatsu Indonesia untuk mengikuti perjalanan tahunan bertajuk Terios 7 Wonders dalam rangka Tour de Flores. Sila baca seluruh cerita perjalanan “Terios 7 Wonders”.
[/gdlr_widget_box]
1 thought on “Gereja Tua Sikka dan Tenun Alami Lintas Generasi”
Makin penasaran mau ke Maumere.