Kami melanjutkan perjalanan menuju desa Lahusa Tua dipandu oleh Ama Ota Turu.
Jalanannya masih sama, berbatu dan berlubang. Beberapa waktu kemudian, kami pun tiba di jalan kecil yang sedang diperbaiki. Ada beberapa pekerja yang sedang menabur batu, memanaskan aspal dan menyirami aspal. Jalan nya menanjak dan tentu saja dipenuhi batu kerikil. Melihat tanjakannya, aku memutuskan untuk turun dan membiarkan Juju mengendarai motor sendirian keatas.
Ama Ota Turu berhasil melewati jalan tersebut dengan mulus dan Juju dengan mantap ikut di belakangnya. Tiba-tiba motor Juju oleng tetapi tertahan oleh kakinya Ju. Juju turun dari motor dan menggas motornya, tetapi kerikil yang licin itu malah beterbangan kesana-kemari dan aku pun menjauh. Akhirnya dengan bantuan beberapa pekerja jalan dan Ama Ota, motornya berhasil melewati tanjakan itu. Aku jadi was-was nanti pas pulangnya gimana ya?
Mukanya sampai pada berkerut semua. Tanjakannya ekstrim kan? |
Kemudian, kami pun melewati jalanan kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu motor. Desa Lahusa Tua ini terletak cukup tinggi dan dari atas kita bisa melihat pemandangan hijau membentang lengkap dengan sungai nya.
Tak lama kemudian, kami tiba di suatu gerbang. Ada satu kumpulan kecil rumah-rumah dari kayu dan ada Omo Sebua (Rumah Raja) nya. Yap, kita sudah sampai di situs megalith desa Lahusa Tua.
Aku takjub melihat batu-batu yang begitu besar ada di pekarangan rumah. Batu-batu ini besar, berwarna kehitaman dan berlumut.
Melihat ada sosok asing, seorang bapak pun menghampiri kami, namanya Ama Turu Nduru. Beliau adalah keturunan Raja Fardu Ana’a yang dulu berkuasa di Gomo. Kedua saudaranya yang lain, Ama Febri Nduru dan Ama Yuli Nduru pun tinggal bersama anak istrinya di kompleks ini. Singkat kata, di kompleks ini semuanya memiliki hubungan darah.
Kami disambut dengan sirih dan pinang yang cukup besar. Ohya, karena pinangnya besar, aku sempat sesak napas memakannya. Setelah minum banyak air putih baru deh sesaknya hilang.
Sirih Selamat Datang |
Nyirih bareng 😀 |
Geng Sirih :p |
Sambil nyirih, aku pun mengisi buku tamu dan ternyata sudah ada yang pernah mengunjungi situs ini juga, tetapi semuanya orang asing. Jadi kita wisatawan pertama dari Indonesia yang mengunjungi kampung ini. Wihiiiwww.
Persis seperti info yang kami dapat dari Mbah Google, batu-batu megalith ini tersebar di pekarangan rumah. Ada beberapa jenis batu yang bisa kita lihat. Ada batu yang berfungsi jadi alat musik, kursi, meja, tempat menari dan tandu. Hah? Tandu? Aku juga bingung, tandu dibuat dari batu? Yang ngangkat Hercules banget dong ya sanggup ngangkat orang yang duduk diatas tandu batu.
Tandu Batu untuk Putri-Putri/ Istri Raja saat Obasa/Owasa (Pesta adat) |
Tandu Batu untuk Raja
|
Batu besar yang paling kanan adalah singgasana Raja/Ni Omanu-manu |
Tiga Leher/ Osa-Osa |
Tiga Leher adalah simbol yang khas dari Nias. Biasa disebut Osa-osa, aku sendiri tidak tahu ini sebenarnya perwujudan apa. Ada yang bilang perwujudan tiga harimau, tiga ular, tiga naga, tiga anjing. Tapi aku menganggapnya tiga naga. Hehehehe.
Batu-batu bulat lebar itu ada yang berfungsi sebagai alas menari para putri dan ratu untuk menghormati orang tua, mertua dan para pamannya. Orang Nias menyebutnya Ni Ogadi.
Batu yang berfungsi sebagai singgasana raja disebut Ni Omanu-manu. Batu itu akan dipanjat oleh sang Raja dan berbicara kepada rakyat yang berkumpul melingkar dibawahnya.
Batu bulat lebar yang paling besar berfungsi sebagai alat musik. Mereka menyebutnya Batu Gong. Awalnya aku gak percaya batu sebesar dan seberat itu bisa mengeluarkan suara. Setelah dicoba, bunyinya merdu sekali. Makin terkagum-kagum deh.
Batu Gong yang bisa mengeluarkan bunyi merdu |
Setelah mengobrol tentang batu-batu megalith tadi, aku menuju Omo Sebua yang ada di tengah. Aku menemukan Omo Sebua yang berbeda dari Bawomataluo dan Hilinawalo Fau. Omo Sebua yang biasanya dihiasi oleh ukiran-ukiran merah dan hitam, kali ini didominasi oleh pahatan kayu coklat muda.
![]() |
Ukiran-ukiran di tiang Omo Sebua |
Ama Turu pun bercerita bahwa semua batu besar di komplek itu memiliki 1 buah kepala sebagai tumbalnya. Tidak ada yang tahu batu ini berasal dari mana. Ama hanya berkata bahwa Raja Gomo mengumpulkan batu besar sebagai pertanda dia lebih unggul dibandingkan raja-raja yang lainnya. Beliau juga mengakui dulu Gomo memang terkenal kanibal untuk membuktikan kejantanan lelaki desa itu dan tentunya untuk dijadikan tumbal batu-batu koleksi Raja Gomo. Kepala-kepala tersebut juga ada yang disimpan di dalam kotak batu. Sayangnya, tengkorak-tengkorak nya sudah dicuri orang.
Batu untuk menyimpan tengkorak |
Hari sudah sore, saatnya kami pulang. Terima kasih untuk Ama Ota Turu dan penduduk Gomo yang super ramah. Aku dan Juju sudah membuktikan bahwa kami sehat selamat dan tidak dimakan oleh orang Gomo. Hehehehe 🙂 Jadi, julukan Gomo sebagai desa paling menakutkan di Nias hanyalah isu belaka. Silahkan mengunjungi Gomo, teman-teman.
Ki-Ka : Ama Ota Turu, saya, Ama Turu Nduru, Ama Febri Nduru |
The Gomo Kids |
Cheers! Juju & Me. |
6 thoughts on “Gomo, Desa-desa paling menakutkan di Nias – 2”
Mbak, mau tanya, apakah ada kapal cepat dari sibolga ke teluk dalam dan sebaliknya? Jika ada apa perlu booking dahulu, terima kasih
luar biasa mbak….applaus
kakak boru nias kah?
Ada boss
Cuma ga tiap hari, yg tiap hari sibolga-gusit
Terimakasih dah datang ke kampung halamanku,
Sayang mbak ga datang ke air terjunnya, klo dr kecamatan gomonya plg 15 menit nyampek.
Jalannya bagus
mantap sehingga kedepan gk ada yangktakut datang ke gomo lagi