Gomo, nama yang cukup unik di telinga tapi bukan saudaranya Komo ya. Gomo adalah nama desa di Nias Selatan yang jadi tujuanku berikutnya setelah desa Hilinawalo Fau.
Banyak orang-orang yang memperingatkan aku dan Juju untuk tidak pergi ke desa ini. Diyakini oleh beberapa orang, penduduk Desa Gomo masih menganut budaya kanibalisme yang sebenarnya sudah dihapuskan dari lama. Jangankan wisatawan, penduduk Nias saja jarang sekali mengunjungi desa ini karena takut. Wah, aku dan Juju jadi semakin penasaran. Dari hasil surfing di internet, kami mendapatkan info bahwa di Gomo masih tersimpan beberapa batu megalith besar yang bertebaran di halaman rumah. Keren banget kan? Jadi, tanpa menghiraukan himbauan orang-orang tadi, kami pun berangkat ke Gomo.
Untuk mencapai desa ini, lagi-lagi kami hanya bermodalkan tanya-tanya sama penduduk sekitar. Dari peta yang aku dapat, desa ini terletak cukup jauh ke dalam. Perkiraan kami, untuk mencapai desa ini paling lama dibutuhkan 1-1,5 jam. Ternyata dua kali lipatnya, kami menempuh perjalanan 6 jam untuk pergi dan pulang dari Teluk Dalam-Gomo-Teluk Dalam. Dengan masih mengendarai sepeda motor sewaan, kami bertualang ke desa misterius ini.
Dari Teluk Dalam, kita mengambil arah ke utara sampai bertemu pasar pertigaan Lahusa yang biasa disebut Simpang Auge. Papan informasi penunjuk arah menunjukkan kecamatan Gomo. Dari orang sekitar, kami diberitahu untuk mencapai Gomo kurang lebih 9km. Ah, paling sebentar doang (gumam dalam hati), ternyata…….
Simpang Auge |
Ternyata jalannya rusak parah 🙁
9 km pun kami tempuh dalam 1 jam. Lama banget. Lihat gambar dibawah. Yah kurang lebih kondisi jalannya seperti itu. Berbatu, berlubang dan licin. Tapi enggak semuanya, ada juga jalan berbatu yang cukup mulus 🙂
Transportasi umum dari Simpang Auge ke Lahusa hanya ada satu jenis yaitu mobil pick up. Mobil ini lah yang mengangkut anak sekolah dan ibu-ibu yang ingin pergi ke pasar.
Walaupun jalannya rusak, kami masih sedikit terhibur dengan cantiknya pemandangan sepanjang perjalanan. Pantat yang udah pegal gak lagi jadi soal habisnya matanya puaaasss banget.
Cantik-cantik kan pemandangannya? 🙂
Jalannya menembus bukit-bukit, naik turun naik turun. Selama 6 jam perjalanan, aku tetap mengucapkan salam Ya’ahowu kepada penduduk yang berpapasan dengan kita. Mulutku sampai berbuih rasanya, tapi hatinya gembira. Langsung deh kepikiran dalam hati, masa sih penduduk yang ramah-ramah ini suka makan orang? Jangan-jangan kami disenyum-senyumin karena mereka pikir dapat santapan baru. Hahaha.
Mbah Google bilang di Gomo ada 3 situs Megalith yaitu Idanotai, Lahusa Satua dan TunduBaho. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk sekitar, kami dianjurkan untuk ke Tundu Baho saja karena tempatnya lebih mudah dicapai dibandingkan dua situs lainnya.
Akhirnya kami pun tiba di salah satu tugu batu yang bertuliskan Kecamatan Gomo. Yeahhhh!!! Senang sekali bisa sampai di Gomo. Kita pun turun sebentar untuk menghilangkan pegal. Lumayan pegal juga ternyata melewati jalan-jalan tadi.
Setelah bertanya-tanya dengan penduduk sekitar arah mana yang akan membawa kami ke Tundu Baho, kami melanjutkan perjalanan mengikuti arahan Bapak tadi. Ternyata jalannya mengarah ke sungai. Aku dan Juju pun mengambil jalan yang lain dan ternyata membawa kami kembali ke tugu batu tadi lagi. Bapak yang tadi membantu pun heran kenapa kami begitu cepat kembali. Ternyata kami salah jalan dan si bapak pun menertawai kami sambil memberikan petunjuk arah yang benar.
Aku dan Juju tidak tahu bahwa untuk menuju desa Tundu Baho itu harus menyeberangi sungai. Kita pikir ada jembatan, ternyata tidak ada. Lah, terus kita bingung bagaimana melintasi sungainya. Gak mungkin motornya ditinggalkan soalnya nanti mau melanjutkan perjalanannya gimana? Pas kita lagi bingung, eh kita lihat ada sepeda motor dengan santainya membelah air sungai, menyeberang dari sisi satu ke sisi yang lainnya. Oooohh, ternyata kita bisa menyeberangi desa ini pakai motor. Sungainya cukup lebar tetapi ada bagian yang airnya dangkal dan bisa dilewati sepeda motor.
Pemandangan menarik lainnya adalah selang warna-warni yang melintang diatas kepala kami. Ternyata itu adalah sumber air bersih masyarakat sekitar. Airnya berasal dari mata air di gunung dan dialirkan ke rumah penduduk lewat selang-selang panjang. Beda banget dengan Jakarta yang berstatus ibukota, penduduk Gomo yang terpencil sangat peduli dengan kebersihan sungai. Mereka sama sekali tidak membuang sampah dan BAB di sungai. Keren 🙂
Setelah menyeberang sungai, tantangan berikutnya kami harus melewati tanjakan yang cukup tinggi dan jauh. Karena motornya enggak kuat menanjak dengan dua penumpang, aku pun harus turun dan jalan kaki. Hiks. Nasib.
Sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh, si perut pun berdendang. Saatnya makan siang padahal jam menunjukkan pukul setengah tiga sore. Aku dan Juju mencari tempat dan menemukan pondok petani di tepi jalan. Untuk berjaga-jaga kami tidak menemukan warung makan, kami sudah menyiapkan bekal nasi dan babi kecap. Hehehe. Selamat makan.
Sewaktu makan siang di pondok kecil, ada seorang bapak yang sedang naik motor berhenti di depan kami dan menanyakan asal kami. Bapak itu tahu kami ini orang asing di desa itu. Setelah ngobrol basa-basi, kami baru tahu bahwa Bapak itu adalah kepala desa Lahusa Tua, namanya Ama Ota Turu. Ama Ota pun menanyakan maksud kedatangan kami dan ketika kami menyebutkan kami ingin ke desa Tundu Baho, beliau malah menyarankan untuk ke Lahusa Tua saja. Dari info Ama Ota, desa Tundu Baho sudah kehilangan banyak batu megalith nya dari beberapa tahun yang lalu karena dicuri dan dijual oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan di Lahusa tua, situsnya masih dijaga dengan baik karena terdapat di pekarangan rumah sang keluarga raja. Tanpa pikir panjang, aku dan Juju pun memutuskan untuk pergi ke Lahusa Tua saja, apalagi guide lokal nya sudah tersedia. 🙂
Si Ama Ota menanyakan apakah Juju mahir membawa kereta (sepeda motor) nya. Beliau menjelaskan jalanan yang akan kami tempuh sangat berat dan sedang ada perbaikan. Jalanannya akan lebih rusak dari yang kalian lewati kesini. Waduh, langsung ciut mental kita berdua. Tapi Ama Toro menyakinkan kami orang-orang desa pasti bisa membantu kami kalau nanti memang kami tidak bisa melewati medannya. Yuk ke Lahusa Tua. Tunggu cerita selanjutnya di postingan berikutnya ya 😉
3 thoughts on “Gomo, Desa-desa yang paling menakutkan di Nias – 1”
Jadi keingat pas ke gunung sitoli-gomo-teluk dalam-bawomataluwo, Win… pas taun 2012 tu…. =D
Eh pala boru sidabutar do rupa na si winnie. Horas Bah, haha
Tolong nama kampungnya di tulis dengan benar dong,
Uluidanotae, bukan uluidatai,
Karena Tai itu bahasa nias ada taik.
Maaf saya penduduk gomo asli.
Makasih dah datang kegomo, dan masih banyak lagi tempat yang pernah di datangi oleh siapa pun, dan perlu juga anda tau klo gomo itu bukan kannibal, orangnya ramah semasih anda sopan.
Mana tau ke nias lagi, datangi alamat tundumbaho, helaowo, terus klo loe mau ada nih yg ga pernah meneliti sebuah nama kampung, yang namanya umbunasi
Nah klo loe tau ceritanya itu keren dan nyata, ga dongeng
Tolong nama kampungnya di tulis dengan benar dong,
Uluidanotae, bukan uluidatai,
Karena Tai itu bahasa nias ada taik.
Maaf saya penduduk gomo asli.
Makasih dah datang kegomo, dan masih banyak lagi tempat yang pernah di datangi oleh siapa pun, dan perlu juga anda tau klo gomo itu bukan kannibal, orangnya ramah semasih anda sopan.
Mana tau ke nias lagi, datangi alamat tundumbaho, helaowo, terus klo loe mau ada nih yg ga pernah meneliti sebuah nama kampung, yang namanya umbunasi
Nah klo loe tau ceritanya itu keren dan nyata, ga dongeng