Sehabis menikmati keindahan Sorake dan lihat souvenir khas Nias, aku dan Juju melanjutkan perjalanan ke desa asal Ama Bu’ulolo (seniman di cerita sebelumnya) yaitu desa Hilinawalo Fau.
Hilinawalo Fau (dibacanya hilinawale fao) adalah desa kecil di ujung selatan Nias Selatan. Pada masa lampau desa ini merupakan salah satu kampung adat terbesar di Nias Selatan dan tentunya dipimpin oleh Raja. Sayangnya, kekuasaan Raja tidaklah lagi diakui di negara kita yang sudah menjadi Republik ini sehingga rumah raja di Hilinawalo Fau kosong melompong. Oleh karena itu, para keturunan Raja di Hilinawalo Fau memutuskan untuk tinggal di Omo Hada (rumah adat) yang lain.
Baiklah, perjalanan ke Hilinawalo Fau dimulai 🙂
Dari Teluk Dalam kita bisa naik motor selama kurang lebih 1 jam. Tapi 1 jam bukan sampai ke Hilinawalo Fau ya. Itu hanya sampai jalan aspal terkhir. Hehe. Dari Teluk Dalam kita ikuti terus jalan ke selatan dan nanti ada dua persimpangan. Persimpangan pertama adalah kiri ke Sorake dan kanan ke Hilinawalo Fau, jadi ambil arah kanan. Lalu nanti ketika ketemu persimpangan kedua ambil arah kiri ya.
Pemandangan sepanjang perjalanan ke Hilinawalo Fau super amaaaaaazziinngggg. Perbukitan hijau menghampar luas di kiri dan kanan jalan. Sensasi jalan yang naik turun membuat kita kayak naik roller coaster. Asiklah pokoknya. Apalagi jalan aspal nya mulus banget.Asooyyy~
Aku dan Juju sama sekali ga punya peta, jadi kita hanya mengandalkan komunikasi dengan penduduk lokal. Penduduk lokal nya baik-baik banget, mereka memberikan petunjuk arah yang benar dan mukanya ramah. Berdasarkan arahan mereka, kami pun menemukan batu besar di sebelah kanan jalan yang bertuliskan Ono Hondro dan Hilinawalo Fau. Yaaaap, kita telah sampai di ujung jalan aspal. Jalan berikutnya adalah jalan berbatu. Siap??? Siiaaappppp!!!
Lagi-lagi disaranin untuk naik motor menuju tempat ini. Jarak yang kita tempuh cukup jauh dan medannya…… seru banget. Masih banyak batu-batu besar yang licin dan treknya naik turun bukit. Masih beruntung bisa dicapai dengan motor, bayangin kalau harus jalan kaki sejauh itu. Butuh seharian kali kalau jalan kaki. Hahaha
Untuk tiba di desa ini, kita akan melewati beberapa desa. Beberapa kali aku dan Juju salah menerka. Kalau lihat sekumpulan rumah dikirain udah sampai di Hilinawalo Fau, eh ternyata bukan. Tanjakan dan turunan jalan berbatu nya membuat kita harus ekstra hati-hati mengendarai motornya. Beberapa kali aku harus turun dari motor dan berjalan kaki beberapa meter jika kami merasa terlalu beresiko untuk melintasi jalan itu sambil berboncengan. Udah tanjakannya cukup terjal, batu-batunya besar dan licin, kalau jatuh ya ga lucu banget. Juju sih udah cukup berpengalaman naik motor dengan jalur-jalur beginian, tapi katanya sih tetap deg-degan. Hahahaha.
Di tengah jalan, seorang turis paruh baya yang kebetulan menuju Hilinawalo Fau sendirian naik motor bebek menyapa kami. Karena tujuan kami sama, kami pun jalan beriringan tanpa berkenalan terlebih dahulu.Aku sempat menertawai om-om bule ini karena bawa motornya canggung banget dan memang gak terlalu pas badannya tegap besar bawa motor bebek kecil. Apalagi dengan jalur yang berbatu licin. Puji Tuhan dia bisa sampai dengan selamat. Fyuh~
Penduduk lokal di Hilinawalo Fau banyak beternak babi. Hmm, mayoritas penduduk Nias memang memelihara babi karena itulah makanan khas sekaligus hartanya. Selama perjalanan, aku mengucapkan salam Ya’ahowu kepada penduduk yang sedang merumput untuk babinya. Jadi bukan seperti di daerah lain yang ternak babinya suka dikasih makan kotoran, disini babi nya jadi vegetarian karena makanannya adalah sayur-sayur yang dimasak. Hihihi. Tapi tidak semuanya terbuat dari sayuran, bekas makan si tuannya pun dicampur ke dalam makanan si ternak.

Berhasil melewati jalanan terjal sampai pantat nyeri, akhirnya kita tiba juga di Hilinawalo Fau. Setelah memarkirkan motor kita menitipkan carrier di warung dekat pintu masuk desa. Yang kami bawa ke atas cukup kamera dan air mineral saja biar ringan. Lalu aku pun mengajak kenalan si turis dengan bahasa Inggris, eh dia membalasnya dengan bahasa Indonesia. Ooops, jadi malu. Ternyata dia sudah tinggal di Indonesia selama 20 tahun dan bekerja di Jakarta. Pantes bahasa Indonesianya udah lancar banget. Namanya Chris Paul, seorang pengusaha dan fotografer. Kami jadi seperti trio fotografer yang masuk desa nenteng-nenteng kamera :p. Paul juga dengan ramahnya menawarkan aku untuk memakai lensanya karena kamera kami merknya sama, tapi aku tolak dengan halus. Lensaku masih cukup bagus kok. Hehehe.
Karena kami tiba di Hilinawalo Fau sudah sore, pemandangan yang kami dapatkan adalah anak-anak yang sudah mandi dan wangi, bermain berkelompok. Para ibu-ibu berkumpul sambil bergosip haha hihi. Para bapak-bapak bersantai depan rumah sambil mengunyah sirih. Hebatnya di kampung ini aku menemukan warung billiard. Jadi ada satu rumah yang lantai bawahnya dipakai untuk jadi warung billiard gitu yang dipadati bujangan-bujangan. Anak gadisnya justru malu-malu. Begitu melihat orang asing, mereka menyumput di dalam rumah dan mengintip dari teras atas. Beda dengan anak-anak kecilnya yang begitu melihat kami bertiga langsung datang memberondong kami dengan permintaan untuk difoto, gak laki, gak perempuan. Hihihihi, adek-adeknya centil-centil banget yah. Tapi aku justru senang karena mereka menyambut kami dengan riang gembira.
Kami bertiga pun berpencar mencari objek foto masing-masing. Cukup lama aku berkeliling dan mengambil potret anak-anak Nias yang super lucu ini. Tapi mereka ngikutin aku terus kemana-mana. Jadi agak repot juga sih mau motret rumah-rumahnya karena anak-anaknya rebutan ber”peace” ria di depan lensa. Hahaha. 😀 Akhirnya Juju yang turun tangan buat ajak anak-anak tadi pindah ke tempat lain, jadi aku bisa bebas motret. Yeah!
Salah satu yang membuat aku tertarik adalah wajah anak perempuan yang cantik di desa ini. Salah satunya bernama Winnie. Aku terkejut sekaligus senang karena nama kami sama, apalagi anaknya cantik banget. Hehehe. Mamanya juga gak kalah cantik dan super ramah padaku. Bahasa Indonesia si Tante pun sudah lancar dan membuat komunikasi diantara kami berlangsung seru. Ohya, teman-teman harus tahu bahwa beberapa penduduk desa terpencil di Nias masih susah berbahasa Indonesia karena kebanyakan tidak mengenyam bangku sekolah.

Seperti biasanya, rumah adat selalu menjadi daya tarik suatu daerah. Teman-teman harus tahu bahwa Omo Sebua (Rumah Raja) di Nias selalu terletak di bagian tengah kampung. Tetapi dari semua desa yang memiliki Omo Sebua, hanya Hilinawalo Fau yang memiliki batu megalith hitam setinggi kurang lebih 6 meter di halamannya. Kata penduduk lokal, batu itu datang dari tempat yang jauh dan dibawa dari laut. Selain itu ada batu karang besar yang dulunya dijadikan tempat duduk raja saat menentukan hukuman mati kepada penduduk yang bersalah. Seram juga hukuman zaman dulu ya, hukumannya masih hukum pancung mati. Beda banget ama Indonesia zaman sekarang, hukuman bisa dibeli kayak lirik lagu Gayus Tambunan :p. Omo Sebua di Hilinawalo Fau sudah dipugar oleh pemerintah daerah karena sudah lapuk dan tidak dirawat oleh pemilik aslinya.

Walaupun rumah adat selalu menarik, bagian terbaik dari mengunjungi Nias adalah lompat batu nya. Yang akan melompat kali ini adalah seorang remaja laki-laki berusia 18 tahun dan ternyata pakaian adat Nias Selatan tidak sama semua. Corak nya berbeda dengan pakaian adat yang dipakai pelompat batu di Bawomataluo. Hanya warna nya yang masih sama, tetap kuning, merah dan hitam. Beruntungnya kali ini aku dan Juju ditraktir Paul untuk melihat pertunjukan Lompat Batu Gratis lagi~ Jadi tinggal menikmati memotretnya saja. Terima kasih Paul, anda baik sekali. May God bless you always 🙂

Selain sisi tradisionalnya, hal yang menarik dari desa ini adalah modernisasi mereka. Aku pikir karena desa ini cukup susah untuk diakses dari pusat kota, para penduduknya masih hidup sederhana tanpa listrik dan gadget. Ternyata yang aku dapatkan adalah desa yang sudah cukup modern dimana rata-rata penduduknya memakai handphone yang up to date walaupun bukan blackberry/iphone. Selain itu, desa ini juga sudah menggunakan pembangkit listrik tenaga surya, punya TV dan beberapa barang elektronik rumah tangga lainnya. Ditambah lagi dengan meja billiard yang aku ceritakan tadi. Desa yang cukup menarik tapi sekaligus kehilangan sedikit daya tariknya karena mereka ternyata sudah hidup layaknya orang kota.

Kami meninggalkan desa ini sekitar pukul lima sore. Di parkiran kami bertemu dengan kakek dan nenek yang sedang nyirih sambil duduk-duduk santai. Mereka baru saja pulang dari ladang karena menjinjing tumpukan sayur diatas kepala. Kami berhenti sebentar dan ngobrol sekitar 10 menit baru berpamitan. Kami diantar dengan lambaian dan senyuman merekah. Senangnyaaahhh.




Tips :
- Cek kondisi kendaraan sebelum berangkat ke desa ini. Jalanan nya cukup ekstrem sehingga membuat kita harus ekstra hati-hati membawa motor. Bisa juga sebenarnya menyewa mobil untuk menuju desa ini, tapi cukup mahal dan kemungkinan susah untuk mendapatkan mobil yang mau masuk kesini.
- Semua anak-anak pasti suka permen. Bisalah kita mengunjungi desa ini dengan membawa permen untuk dibagikan ke anak-anak. Masyarakatnya pun pasti akan lebih senang menyambut kita.
- Biaya yang akan kita keluarkan disini adalah jika kita ingin melihat pertunjukan lompat batu (Rp.50000,-) dan biaya parkir motor (Rp.5000,-)
- Jangan lupa untuk selalu senyum dan mengucapkan salam Ya’ahowu kepada penduduk sekitar.
4 thoughts on “Hilinawalo Fau, Poster Desa Terpencil yang Modern di Nias Selatan”
Kampung ini… Dekat dgn kampung kelahiran bung Hatta… 😉
🙂
Ha…! tu kan kampung gue…… wkkkkk……
My kampung👍👍👍😉