Matahari pagi bawa semangat baru. Selalu.
Itulah mengapa saya akan selalu bersemangat bangun pagi ketika sedang mendaki gunung agar tidak ketinggalan momen saat sang surya bangun dari peraduannya.
Namun kali ini saya diajak untuk merasakan nikmatnya matahari pagi dari plataran candi Buddha termegah di Indonesia, candi Borobudur, candi yang dimasukkan ke dalam daftar situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1991.
Namun, sebelum saya bercerita tentang kenangan pagi itu, saya mengajak kalian untuk menilik sejarah Candi Borobudur dulu, yuk?
Borobudur dibangun sekitar tahun 800-an masehi. Candi dengan ukuran 123 x 123 meter ini dihiasi 1460 panel relief dan aslinya memiliki 504 arca Buddha sebelum sebagian arca tersebut dicuri oleh penjarah barang antik.
Dari banyaknya panel relief, tak ayal jika Candi Borobudur dianggap sebagai kitab raksasa.
Setiap tahunnya, umat Buddha berbondong-bondong dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan ziarah keagamaan, memperingati Trisuci Waisak.
Mereka akan melakukan ritual mengelilingi candi Borobudur searah jarum jam dimulai dari sisi timur dan naik hingga ke undakan teratas.
Undakan-undakan itu dibagi menjadi tiga tingkat ranah dan menjadi perlambang tingkatan dunia dalam kosmologi Buddha.
‘Kamadathu’ menjadi tingkatan paling bawah, sebagai simbol dari dunia yang penuh hawa nafsu. Di relief-relief yang terpahat di dinding candi sangat terlihat jelas gambaran perilaku manusia yang masih sangat terikat dengan hal-hal duniawi.
‘Rupadhatu’ merupakan tingkat kedua, bagian tengah. Pada relief di ranah ini digambarkan bahwa di dunia, manusia masih terikat dengan materi namun sudah terlepas dari nafsu duniawi.
‘Arupadhatu’ yang menjadi tingkat ketiga, bagian teratas, adalah perlambang dari dunia di mana manusia tak lagi terikat hawa nafsu atau semua yang berbau duniawi.
Rangkaian ritual mengelilingi setiap undakan candi, adalah gambaran perjalanan manusia untuk mencapai kesempurnaan. Ada sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui dalam perjalanan ziarah ini dan selama itu pula para peziarah akan menyaksikan 1.460 relief indah yang terukir pada dinding candi.
Relief-relief indah itu merupakan penggambaran cerita yang terdiri dari empat tingkatan cerita yakni :
“Karmawibhangga” yang merupakan kumpulan cerita tentang sebab-akibat perbuatan baik dan perbuatan jahat manusia. Terdapat juga gambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir–hidup–mati (samsara).
“Lalitawistara” merupakan rangkaian cerita tentang turunnya Sang Buddha dari surga Tushita dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat Kota Banaras. Tingkatan cerita ini juga dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma.
“Jataka dan Awadana” terdiri dari berbagai cerita tentang sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Banyak kisah-kisah fabel yang ditonjolkan di sini. Cerita-cerita tentang pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan dalam persiapan menuju tingkat ke-Buddha-an.
“Gandawyuha” merupakan cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi tentang kebenaran sejati.
Jika ingin benar-benar detil mengetahui makna setiap relief di Candi Borobudur, bisa menggunakan jasa local guide yang sangat ramah di sana. Mereka sangat fasih menjelaskan cerita di tiap relief. Pastinya kunjungan kalian menjadi lebih menarik!
Meski sudah berkunjung lebih dari lima kali ke Candi Borobudur, saya tidak pernah bosan untuk menikmati setiap relief yang terpahat.
Di dalam kepala saya berputar imajinasi ratusan (mungkin ribuan?) pekerja yang membawa batu-batu andesit yang disusun rapi lalu dipahat hati-hati dan hal itu berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Bayangkan, seratus tahun?
Asal Muasal Nama Candi Borobudur
Banyak arkeolog yang mencari asal muasal nama Borobudur. Ada yang beranggapan bahwa ‘Budur’ berasal dari ‘bhudhara’ yang berarti gunung. Ada juga yang menganggap Borobudur berasal dari ‘Sambharabhudhara’yang berarti gunung yang di lerengnya terdapat teras-teras.
Ada juga teori yang menjelaskan bahwa Borobudur berasal dari dua kata yakni ‘bara’ yang berarti biara dan ‘beduhur’ yang berarti tinggi. Sehingga disimpulkan bahwa Borobudur adalah biara yang terletak di tanah tinggi. Semua arti di atas sebenarnya masuk di akal bukan?
Namun menurut Prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, tertulis mengenai penganugerahan tanah ‘sima’ (tanah bebas pajak) oleh Ratu Pramudawardhani untuk memelihara Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan leluhur) yang disebut “Bhumisambhara”.
Ratu Pramudawardhani sendiri merupakan putri dari Raja Mataram dari wangsa Syailendra, Samaratungga, yang menggagas pembangunan Candi Borobudur.
Dalam Bahasa Sansekerta, “Bhumi Sambhara Bhudhara” berarti bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa. Teori inilah yang menurut saya yang paling pas jika ada yang menanyakan asal muasal nama Candi Borobudur. Bagaimana menurut kalian?
Menyongsong Pagi di Plataran Candi Borobudur
Masih dengan wajah sedikit mengantuk, kami menerima tiket dan senter yang dibagikan pegawai Manohara. Ada banyak orang yang akan naik ke atas pagi itu dan kebanyakan wisatawan asing. Dengan teratur kami berjalan beriringan memasuki kompleks candi.
“Hey Satya, look at behind you!” ujar Thanis dengan antusias.
“Oh my God! The colour of the sky!”jerit saya.
Meski sang surya belum tampak, ufuk timur sudah mulai merona, menunjukkan pesonanya. Biru, ungu, merah muda, jingga, banyak warna.
So, tips number 1 : Jangan lupa lihat ke belakang kalau sedang menanjak ke atas candi. Siap-siap dapat kejutan warna langitnya.
Untuk tips-tips menarik lainnya saat melihat sunrise di Borobudur, bisa mampir ke tulisan Thanis Lim yang lucu sekali : 10 Top Tips for Getting The Best Out of Borobudur Temple Sunrise.
Sehabis mengabadikan beberapa potret, kami bergegas naik ke atas untuk mencari spot yang pas untuk menunggu sang surya bangun.
Dan yaaaa seperti yang saya duga di atas sudah dipadati orang-orang. Bingung juga karena semua spot yang menghadap ke timur sudah penuh dengan orang-orang yang bersiap dengan kamera masing-masing.
Saya dan Thanis yang tadinya jalan berbarengan, jadi terpisah karena Thanis menghilang entah ke mana. Akhirnya saya menemukan tempat dengan menyempil-nyempil. Spot favorit saya adalah sisi stupa setengah terbuka. Memandang Buddha yang duduk dengan wajah teduh menenangkan membuat pagi itu terasa damai sekali.
Pagi itu saya lanjutkan dengan mengelilingi candi dan menikmati pagi yang magis berselimut kabut. Orang-orang yang sudah puas memotret sunrise bergegas turun sedangkan saya masih ingin diam di sana menyerap hangatnya matahari pagi.
Hangatnya terserap hingga ke dalam hati.
***
Untuk melihat matahari terbit di plataran Candi Borobudur hanya bisa melalui Manohara Hotel.
- Entrance Fee untuk wisatawan lokal : Rp270.000/person
- Entrance Fee untuk wisatawan mancanegara : Rp400.000/person
- Khusus untuk tamu Hotel Manohara Rp 250.000/person
- Harga di atas sudah termasuk snack + tea/coffee and souvenir.
Yes it’s quite expensive but totally worth it!