Apa rasanya pulang ke rumah? Haru? Senang? Bahagia?
Ya, itu yang saya rasakan ketika kembali menginjakkan kaki ke Kampung Bena, Bajawa. Satu rumah di ujung Kampung Bena yang menjadi satu-satunya rumah yang menghadap ke sisi utara, adalah rumah Papa Paulus dan Mama Yuli, rumah Papa dan Mama saya.
Cerita kunjungan pertama ke Kampung Bena sudah pernah aku tulis di Kampung Bena dan Secangkir Kopi Bajawa.
Daihatsu Terios kami meluncur dari Ende menuju Kampung Bena di Bajawa, salah satu destinasi dari 7 Wonders yang akan kami jelajahi selama di Flores. Jalur dari Ende menuju Bena cukup menanjak karena Bena terletak di kawasan yang dikelilingi perbukitan, di bawah kaki Gunung Inerie, gunung Mama Flores.
Saking enak dan nyamannya duduk di dalam Daihatsu Terios, saya tertidur sepanjang perjalanan Ende-Bena padahal jalanan penuh dengan kelokan-kelokan tajam. Om Sikkin memang jago nih bawa mobilnya. Yang penting jangan lupa pakai seatbelt ya.

Kami tiba di Kampung Bena tepat di tengah hari. Sayang sekali puncakan Gunung Inerie tertutup awan. Tapi tetap saja hati saya gembira karena akan bertemu dengan keluarga saya lagi.
Kampung Bena sudah berbeda dari kondisi terakhir saat saya mengunjunginya. Pos penerimaan tamunya sudah lebih besar dan rapi. Jalanan bagian depan sudah dibikin tangga batu jadi mobil hanya bisa masuk dari bawah.
Tidak banyak wisatawan yang datang ke Kampung Bena hari itu. Hanya ada 3 orang wisatawan asing selain rombongan kami. Masyarakat Kampung Bena beraktivitas seperti biasa. Para Bapak rata-rata di ladang. Para Mama di dapur atau di teras, mengerjakan kain tenun ikat mereka.
Yang menjadikan Kampung Bena ini istimewa adalah batu-batu megalitikum yang tersebar di halamannya. “Batu Nabe” adalah tumpukan batu-batu dimana terdapat makam para leluhur Kampung Bena di bawahnya. Di kompleks ‘Batu Nabe’ inilah sesaji diletakkan saat ingin berkomunikasi dengan leluhur saat upacara adat.
Selain batu-batu, juga terdapat Nga’du dan Bhaga, dua bangunan simbol leluhur Kampung Bena yang ada di pekarangan. Nga’du yang berbentuk payung adalah simbol leluhur laki-laki dan Bhaga yang berbentuk rumah kecil adalah simbol leluhur perempuan.
Seluruh penduduk di Kampung Bena ini beragama Katolik, namun mereka juga masih percaya kepada Dewa Zeta, Dewa Pelindung desa yang berdiam di Gunung Inerie. Itulah mengapa mereka sangat menghormati gunung ini dan para leluhurnya.
Ada sekitar 45 rumah yang ada di Kampung Bena dengan ciri khas masing-masing di bagian depan rumah. Ciri khasnya adalah tanduk kerbau, rahang dan taring babi sebagai lambang status sosial keluarga. Rumah yang ada patung yang memegang parang dan lembing di atapnya adalah rumah lelaki dinamakan ‘Sakalobo’. Sedangkan rumah perempuan dinamakan ‘Sakapu’u’.
Sembilan suku yang mendiami Kampung Bena memiliki rumah masing-masing dan berbeda-beda tingkatannya. Oleh karena itu ada sembilan tingkatan dari utara ke selatan dan juga sembilan pasang Nga’du dan Bhaga.
Kesembilan suku itu antara lain Khopa, Ago, Ngada, Deru Solamae, Deru Lalulewa, Wahto, Dizi dan Dizi Azi. Setiap ada upacara adat satu suku, suku-suku yang lain dengan senang hati membantu dan ikut bersuka ria. ‘Kisanatapat’adalah nama tempat untuk mengadakan upacara adat di Kampung Bena.
Motif tenun di Kampung Bena tidak jauh dari unsur-unsur terdekat mereka yaitu Nga’du, Bhaga, gunung dan kuda. Motif-motif ini dikreasikan dengan benang warna-warni dan jadilah kain tenun Bena yang cantik. Beberapa kain tenun juga masih memakai pewarna alami dan tentu saja lebih mahal harganya dibandingkan kain tenun yang memakai benang dari toko.
Kain-kain tenun cantik ini dipajang di teras rumah, digantung di bilah-bilah bambu. Jadi ketika ada wisatawan melintas dan tertarik, bisa langsung melakukan transaksi dengan si empunya rumah, empunya tenun.
Harga yang ditawarkan cukup bersahabat di kantong. Untuk satu lembar kain tenun berukuran besar sekitar Rp300.000,00 hingga jutaan rupiah. Untuk kain tenun berukuran kecil, kisaran harganya Rp75.000,00 hingga Rp200.000,00.
***
Dengan berbekal sekantong permen, saya mendekati anak-anak kecil di Kampung Bena. Buat saya, tidak apa-apa jika memberikan permen kepada anak-anak selama mereka tidak meminta atau cenderung memaksa wisatawan untuk memberikan permen. Seperti di Wae Rebo, sudah ada himbauan untuk tidak memberikan permen kepada anak-anak.
Saya mencari Nancy, Viola dan Lalon yang tahun lalu saya temui dan saya ajak bermain. Senaaaaaang sekali bisa berjumpa anak-anak yang menggemaskan ini. Mereka sudah lebih besar (ya iyalah ya) tapi masih mengingat saya. Ola (panggilan Viola), langsung membuat tanda peace dua jari saat saya tanya masih ingat Kakak Satya tidak? Hihihihihi gemasnya…
Saya berjalan ke ujung, ke rumah Papa Paulus dan Mama Yuli. Di depan rumah ternyata sudah ada Bang Poli dan dia masih mengingat saya meski saat itu kondisinya sedang tidak enak badan.
Dengan senyum sumringah, Bang Poli mengajak saya masuk dan memanggil Mama Yuli dan Papa Paulus yang ada di dalam rumah. Senyum merah tersungging di bibir Mama ketika saya datang. Saya dipeluk dan mendapatkan kecupan di pipi kiri dan pipi kanan.
Saya pulang ke rumah…
Kak Vina langsung ke dapur sehabis cipika-cipiki untuk menyiapkan Kopi Bajawa untuk rombongan kami. Dan tentu saja, kopi Bajawa memang selalu juara.
Saya minta izin sebentar untuk pergi ke bagian atas Kampung Bena yang dikenal dengan nama “Goa Maria” untuk melihat Kampung Bena dari atas dan pemandangan lembahan kaki Gunung Inerie yang cantik.
“Halo, punya korek tidak” ujar seorang Bapak yang sedang duduk di balai-balai Goa Maria.
“Wah, maaf saya tidak punya Bapak” jawab saya.
“Bisa tolong carikan korek tidak Nona? Opa mau bakar tembako tidak bisa. Opa ini tidak bisa melihat, jadi susah” ujar beliau lagi.
Saya sontak terkejut karena tidak tahu kalau beliau tidak bisa melihat. Beliau mengenakan baju safari, celana training biru, peci dan kacamata. Setelah berkenalan, saya baru tahu nama beliau Yakobus Dada. Biasanya dipanggil Opa Dada.
“Opa ini sudah tua, sudah 56 tahun tapi Opa masih gagah, kan?” celotehnya sambil terkekeh dan saya balas dengan tertawa juga.
“Nona mau berfoto dengan Opa tidak? Nanti fotonya dibawa ke Jakarta kan? Berarti Opa Dada sudah sampai di Jakarta. Hahahaha. Biar Opa tidak bisa melihat dunia, tapi Opa bisa ke Jakarta dan keliling dunia” kelakarnya lagi.
Entah, saat itu saya merasakan air menggantung di ujung mata. Selain haru, saya juga merasakan Opa Dada memberikan energi yang sangat positif kepada saya. Dari beliau saya belajar untuk selalu bergembira dan bersyukur dengan keadaan kita sekalipun itu hal (yang mungkin menurut kita) sedih.
Saya izin pamit kepada Opa Dada dan kembali ke rumah. Rombongan kami sudah harus bergerak lagi menuju Ruteng. Ah, rasanya masih kurang lama.
Begitu saya kembali ke rumah untuk berpamitan kepada semua anggota keluarga, Mama Yuli memanggil saya ke sudut teras.
“Ini ya Satya simpan. Biar selalu ingat pulang ke rumah ini” ujar Mama Yuli sambil memberikan satu kain tenun hasil tangannya kepada saya.
Dan, saya tak kuasa menahan haru. Saya peluk Mama dan saya cium.
Terima kasih Ma. Satya pasti akan selalu kembali lagi, kembali lagi dan kembali lagi. Akan selalu saya ingat bahwa kasih yang saya terima di Kampung Bena, bertahan sepanjang masa.
[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]
Perjalanan ini merupakan undangan sponsor dari Daihatsu Indonesia untuk mengikuti perjalanan tahunan bertajuk Terios 7 Wonders dalam rangka Tour de Flores. Sila baca seluruh cerita perjalanan “Terios 7 Wonders”.
[/gdlr_widget_box]
8 thoughts on “Kasih Kampung Bena Sepanjang Masa”
Duh kain tenunnya 😀 😀
Aku pengen banget kesini ama waerebo
semoga tahun ini kesampean
Sumpah. ini sudah menjadi resolusi destinasi yang wajib dikunjungi. Batu megalitik, suku, wah. asik banget memperdalam antropologi dan arkeologi di sini.
seru ya jalan-jalan kesana. kapan2 mampir :p
Download film subtitle indonesia
Mupeng yaaaa liat kain tenunnya. Kalau aku jadi orang kaya suatu hari nanti kuborong semua deh. Hahahaha 😀
Aminnnn Ka Cummm! Aku doain segera ke sana. Sibuk dan padat ya jadwal jalan-jalanmu :p Sehat selaluuuu ya kamuuu…
Enak banget sebenarnya kalau bisa tinggal lama di sini Nif. Bisa naik Gunung Inerie itu jugaaaa. Belum kesampaian sampai sekarang euy…
Iya, mampirlah ke Bena ya 🙂