Sudah tiga kali saya gagal mendatangi kedai kopi ini. Alasannya? Kesiangan alias terlambat. Dari 2012, akhirnya baru kesampaian tahun 2016. Bayangkan, setelah empat tahun baru terlaksana. Hahaha…
Tempat ini memang tersohor di kalangan penyuka warung-warung kopi tua. Salah satu teman baik saya, Bang Chan, juga pernah menuliskan tempat ini di blognya. Seperti Bang Chan, saya pun berharap bisa bertemu langsung dengan si empunya warung, Latief Yunus, biasa dipanggil Engkong Latief.
Menemukan warung kopi ini tidak terlalu sulit. Sehabis turun dari commuterline yang membawa saya ke stasiun Jakarta Kota, saya tinggal menyeberang jalan menuju Gang Gloria. Nama gang itu tidak asing bagi penyuka kuliner non-halal alias aneka makanan berbahan dasar daging babi. Gang kecil itu padat dengan gerobak makanan dan pedagang yang masih berjualan dengan sepeda dan dandang. Di dalam gang itulah, Warung Kopi Es Tak Kie, nyempil.
Saya memilih meja dekat pojokan dinding, meja nomor 17, di samping meja bapak-bapak tua yang sedang asyik mengobrol memakai Bahasa Tionghoa. Lucunya, saya cukup lama tersadar bahwa salah satu bapak yang duduk di meja itu adalah Engkong Latief. Padahal saya sudah pernah melihat potret beliau. Kok bisa-bisanya saya lupa. Lantas saya senyum-senyum sendiri sampai Janatan bingung dan bertanya saya kenapa.
“Sssst. Aku lagi senang karena Engkong Latief ada di meja sebelah kita”, bisik saya pelan.
Saya memesan Es Kopi Susu dan Janatan memesan Es Kopi biasa. Rasa es kopi susu ini pas di lidah saya, tidak terlalu manis dan masih terasa pahit kopinya. Janatan juga sangat menyukai es kopi nya.
Selain minuman, Kedai Kopi Tak Kie juga menyajikan beberapa menu makanan seperti Nasi Campur, Nasi Tim dan Bakmi. Sayang sekali mereka hanya menyajikan bakmi ayam hari itu dan Nasi Campur nya dipesan dari gerobak makanan di luar. Belakangan saya tahu ternyata ini adalah ide Engkong agar pedagang makanan di luar kedainya juga kecipratan rejeki.
Kaget sekali saya ketika tak berapa lama berselang setelah memesan bakmi, Engkong Latief sendiri yang datang menyajikan nya di meja kami. Begitu senang layaknya ketemu bintang idola.
Engkong Latief masih sangat gagah meski seluruh rambutnya memutih. Dari parasnya, saya menebak bahwa Engkong pasti sangat tampan di masa muda nya dan masih tersisa hingga masa tua.
“Selamat menikmati ya”, ujarnya ramah.
“Terima kasih Kong. Nanti saya boleh ngobrol-ngobrol sama Kong?” tanya saya.
“Hahaha. Mau ngobrol apa? Tentu saja boleh. Makan saja dulu”, katanya sambil membawa nampan makanan ke dapur.
Saya begitu senang dan menikmati setiap suap nasi campur dan juga mencicipi bakmi ayam yang bertabur potongan dadu daging dan daun bawang. Percayalah, untuk bakmi ayamnya, halal.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Setengah jam lagi kedai kopi ini tutup. Hanya beberapa pelanggan yang tersisa di warung termasuk kami. Saya mendekati Engkong dan mengobrol sebentar.
Yang pertama kami bahas adalah filosofi dari nama kedai kopi nya, ‘Tak Kie’, yang terpampang jelas di papan kayu di atas dinding terbuka antara dapur dan tempat tamu. Saya mengedarkan pandangan ke tiap sudut kedai yang sudah ada sejak tahun 1927 ini. Kedai turun temurun yang dibangun oleh sang kakek lalu diteruskan kepada bapak kemudian Engkong Latief.
Nama ‘Tak Kie’ berasal dari ‘Tak’ yang berarti orang yang sederhana dan ‘Kie’ yang berarti tempat yang akan selalu diingat orang.
Filosofi itu masih sangat melekat dengan citra kedai ini. Kedai yang kecil, sederhana, mempertahankan menu yang itu itu saja. Namun siapa pun yang pernah mengunjungi kedai kecil itu, pasti akan merasa rindu.
Kedai ini adalah pemuas yang pas bagi orang-orang tua yang merindu ngopi sambil mengobrol dan ‘ngudut’ alias menghisap rokok. Itu terpampang jelas di dinding kedai yang penuh dengan pigura-pigura foto orang tua ternama di Indonesia. Pak Presiden Jokowi pun sudah pernah mengunjungi kedai kopi di gang sempit ini.
Obrolan berlanjut dan berganti topik mengenai biji kopi apa yang dipakai Engkong di kedai. Jawaban beliau ya campur-campur tetapi selalu memilih biji kualitas yang terbaik. Engkong sendiri yang mendatangi petani atau supplier biji kopi dan lalu mengolahnya.
“Di lantai atas ada mesin gilingnya”, ujar Engkong lagi.
Obrolan tentang kopi ini membuat mata Engkong berbinar. Beliau katakan jika suatu waktu saya kembali lagi dari perjalanan, bolehlah saya membawa beberapa biji kopi yang khas dan kami bisa mengobrol banyak tentang itu. Kalian juga boleh lho…
Namun binar di mata Engkong redup saat obrolan kami beralih ke topik tragedi 1998. Raut wajahnya sedih. Rasanya pasti lebih pahit dari kopi racikannya. Engkong menuju meja kasir dan mengambil dua lembar foto.
“Ini potret Glodok yang dulu. Saya dulu tukang foto, tetapi sudah tidak lagi. Kamera saya pun sudah saya jual” ujarnya.
Engkong lanjut bercerita bahwa dia sangat bersyukur diselamatkan oleh penduduk (maaf) pribumi, tetangganya. Tetangga itulah yang menyuruhnya sembunyi dan lalu berbohong serta meyakinkan para penyerang bahwa tidak ada etnis Tionghoa di rumah itu. Saya tak bisa bayangkan betapa mencekamnya saat itu karena saya masih berumur 6 tahun saat tragedi itu terjadi. Yang saya tahu, tragedi itu begitu membekas bagi orang-orang yang mengalaminya, seperti Engkong Latief.
Kursi-kursi sudah dinaikkan ke atas meja dan jendela sudah ditutup. Saya tersadar sudah tidak ada pengunjung lagi selain kami berdua. Engkong Latief lagi-lagi memberi saya pelajaran penting untuk merasa berkecukupan dalam hidup. Buat Engkong, kedai dibuka sampai jam 2 siang saja sudah cukup. Cukup untuk menghidupi keluarganya dan para pegawai. Kontras sekali dengan kedai kopi modern yang buka 24 jam. Engkong yakin bahwa tiap-tiap hari Tuhan akan memberikan berkat dan rejeki cukup.
Terima kasih Engkong Latief. Kita pasti akan berjumpa lagi dan mengobrol yang tak sekedar obrolan tentang kopi.