Sejak awal tinggal di Saleman, saya ingin sekali mendaki satu saja gunung dari banyak gunung di sekitaran Saleman dan Ora.
Setelah berbincang dengan Tete Ali, kami disarankan untuk naik ke Gunung Roulessy. Katanya, kita bisa lihat pemandangan negeri Saleman dan Ora Beach yang bagus sekali jika cuaca sedang cerah.
Tete Ali lalu memanggil dua orang pemuda desa yaitu Abang Taslim dan Abang Lukman. Kata mereka, untuk mendaki Gunung Roulessy tidak dibutuhkan waktu lama. Sebentar saja sudah sampai katanya.
Ternyata, mereka tidak sepenuhnya salah. Wajar saja mereka bilang bahwa tidak butuh waktu lama untuk sampai ke puncak karena jalurnya yang “ngaceng” alias tegak. Masyarakat hanya naik ke atas Gunung ketika mendekati bulan puasa. Oleh karena itu, medan yang kami lalui sudah dipenuhi ranting-ranting dan pohon yang tumbang.
Medan terasa semakin berat karena pada malam sebelumnya turun hujan deras. Jalurnya menjadi sangat becek dan berlumpur tetapi harus tetap memanjat dengan cepat jika tidak ingin jatuh terpeleset.
Ketika sudah terlihat terang sedikit lagi di atas sana, saya senang karena akhirnya tiba di puncak. Ternyata belum. Masih ada jalur berbatu cadas yang tidak kalah “ngaceng” nya dengan jalur lumpur sebelumnya. Kita harus bisa memilah batu mana yang akan kita pijak. Karena saking tajamnya, batu-batu cadas itu bisa merobek sandal atau sepatu kita.
Lelahnya menempuh medan perjalanan yang cukup berat terbayar dengan pemandangan yang kami dapatkan dari Gunung Roulessy. Kami juga sempat melewati bagian atas Goa Lusiala, goa dimana burung magis itu tinggal.
Menurut cerita Bang Lukman, tahun 1988 ada seorang wisatawan asing yang masuk ke dalam goa dengan memakai tali. Namun, dia tak pernah kembali. Namun belum dipastikan apa penyebab wisatawan itu tidak kunjung kembali ke Saleman. Apakah dia menghilang atau meninggal, tak ada seorang pun yang tahu.
Namun hal itu membuat masyarakat semakin percaya terhadap kekuatan burung Lusiala dan tidak terpikirkan untuk mencoba mengusik burung itu di tempat tinggalnya.
![]() |
Pemukiman di bawah itu adalah Negeri Saleman. Coba perhatikan di tepian sebelah kanan, itu Ora Beach (Foto : Juferdy) |
Tak henti-hentinya kami mengarahkan lensa kamera dan mengambil gambar sebanyak-banyaknya. Karena hari sedang cerah, kami bisa mendapatkan warna gradasi laut yang sempurna. Ora Beach juga terlihat jelas dari puncak gunungnya.
Bang Taslim dan Bang Lukman berteriak teriak “uwoooo uwooo” ke arah Saleman sambil mengibarkan bendera partai yang tertancap di puncak gunung.
Suaranya mengaung dan terdengar anak-anak lain di Saleman dan disahut pula oleh mereka. Untuk beberapa waktu, saya ikut bergabung untuk berteriak-teriak bersama mereka. Seru juga ternyata. Uwooooo….
![]() |
Sebelah kiri itu Bang Lukman dan sebelah kanan Bang Taslim (Foto : Juferdy) |
![]() |
Puncak Bendera di Gn Roulessy 🙂 (Foto : Juferdy) |
Setelah mengisi energi dengan biskuit, kami berjalan turun pulang ke Saleman.
Ketika sudah hampir sampai di bawah, kami menemukan mata air yang airnya segar sekali. Setelah berpanas-panasan di puncak gunung, saya langsung membasuh muka dengan airnya yang dingin dan juga meminum airnya.
Ah, segar betul. Pendakian ke Gunung Roulessy sangatlah menyenangkan buat saya.
Tinggal di negeri Saleman selama tiga hari membuat saya dikenal oleh penduduk lokal. Jika hari masih terang ketika kami pulang dari laut, kami mengobrol dengan penduduk lokal, berbagi gula-gula (permen) dengan anak-anak kecil. Dan dengan adik-adik kecil perempuan, kami asyik bermain kuteks.
![]() |
Satu pagi di Negeri Saleman (Foto : Juferdy) |
![]() |
Pemandangan pagi hari di negeri Saleman. Foto ini diambil dari WC ngomong-ngomong. WC alami seperti dua bilik nun jauh disana. Hahahaha (Foto : Juferdy) |
Sayangnya, selama kami di Saleman, ikan sedang tidak musim. Nelayan acap kali pulang dengan ikan-ikan kecil. Hanya itu yang bisa mereka dapatkan. Alhasil, setiap hari kami makan nasi dengan lauk mie instan dan telur bebek. Sempat kami makan gulai ikan namun hanya sekali saja.
Di Saleman, Ora, Sawai, listrik hanya menyala ketika malam hari. Listrik menjadi barang mewah di kampung karena tidak semua orang mampu mengaliri rumahnya dengan listrik. Wajar saja karena listriknya berasal dari genset. Beli genset nya saja sudah mahal, apalagi biaya solar nya setiap malam.
Tentunya hanya rumah-rumah besar yang sudah bisa mendapatkan listrik setiap malam. Rumah-rumah nelayan kecil tabah hanya mendapatkan penerangan dari lilin atau lampu petromaks. Ironis ya ketika di kota besar, mall-mall dialiri listrik bahkan 24 jam, sedangkan di pelosok Pulau Seram, PLN belum mau masuk.
![]() |
Negeri Saleman (Foto : Juferdy) |
Lucunya, karena hanya beberapa rumah yang memiliki listrik dan TV, tiap-tiap rumah punya tontonan masing-masing dan dibagi sesuai kategori usia. Anak-anak biasanya menonton di rumah Nenek Haji & Mama Ami, rumah dimana kami tinggal.
Selepas maghrib, mereka pasti sudah berkumpul di rumah dengan bedak cemong khas anak kecil baru selesai mandi. Tontonan favorit mereka adalah ‘Upin & Ipin’.
![]() |
Keluarga baruku di Saleman, Nenek Haji dan Mama Ami 🙂 |
Di rumah lain ada segerombolan gadis remaja yang asyik menonton FTV. Lalu segerombolan Ibu-ibu yang nonton sinetron. Tidak ketinggalan Bapak-bapak juga bergerombol di beberapa rumah untuk menonton siaran tinju, berita atau menunggu siaran piala dunia. Kita tinggal memilih mau ikut rombongan nonton bareng yang mana.
![]() |
Tentu saja kita semua tahu bahwa daerah Maluku adalah penghasil rempah-rempah terbesar di Indonesia (dan dunia?). Salah satu komoditi yang paling terkenal adalah cengkeh. Ini adalah Mama Ami yang sedang asyik menjemur cengkehnya yang baru dipanen. (Foto : Juferdy) |
Tak terasa kami sudah melewati 5 hari di Maluku. Sudah tiba saatnya untuk pulang. Rasanya campur aduk. Saya masih ingin berada di Ora, tetapi harus pulang karena pekerjaan di Jakarta sudah menunggu.
Oto yang kami pesan sudah menunggu di halaman rumah. Mama Ami mengingatkan kami untuk tidak lupa makan pagi sebelum berangkat.
Sebelum pulang, kami berfoto bersama yang kemudian kami cetak dan kirimkan untuk Mama dan Nenek. Kami berterima kasih sekali atas sambutan yang hangat dan makanan yang lezat selama 3 hari kami menginap. Semoga saya bisa kembali lagi ke rumah itu suatu hari nanti.
Setelah peluk dan cium, kami naik ke Oto, Kijang Krista tahun 2000an yang disetiri oleh Bang Buyung, abang kandung Willy yang bekerja di Ora Beach Resort.
Kijang yang seharusnya diperuntukkan 8 penumpang menjadi 12 orang. Kami duduk berhimpit-himpitan selama dua jam perjalanan dari Saleman ke Masohi.
![]() |
Naik Oto dari Saleman ke Masohi. Dua belas orang coooyyy!!! |
Pulang. Satu kata punya sejuta makna. Pulang dari mana? Mau ke mana? Pulang.
Perjalanan ke Ora Beach dari Telkomsel ini benar-benar menjadi berkat, pengalaman yang tidak akan saya lupakan pastinya.
Saya puas karena bisa pulang membawa segudang cerita untuk dibagikan kepada teman-teman. Karena tidak ada toko souvenir, tidak ada sesuatu yang khas yang bisa kami bawa dari Ora. Hanya ratusan foto dan video yang semoga menjadi oleh-oleh terbaik.
Amatoo, Ora Beach. Beta pasti kembali lagi 🙂
1 thought on “Mendaki Bukit Bendera Saleman, Menikmati Ora Beach”
Kak..itu ke ora dan saleman nya bulan apa yaa??
Ditulisan atas lg gak musim ikan, krn musim ujan atau gmn??