Dari depan, rumah ini begitu sederhana, dengan kanopi garis-garis berwarna putih dan hijau. Tampak jalan setapak kayu menghubungkan gerbang dengan pintu utama rumah.
Terlihat satu pohon besar di sisi kiri menaungi rumah. Rumput di halaman hijau, dipotong rapi, menambah kesan sejuk dan asri. Walau sederhana, rumah ini menjadi saksi bisu perjuangan bapak proklamator kita, presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Bung Karno menempati rumah ini selama empat tahun (1934-1938) ditemani oleh Istrinya, Inggit Garnasih, anak angkatnya, Ratna Djuami dan Ibu Mertuanya, Amsi. Mereka menyewa rumah berukuran 19 x 8 meter di Jalan Perwira yang dulunya merupakan milik Haji Abdullah Amburawu.
Kami disambut oleh Rizal, pemandu kami di Rumah Pengasingan Bung Karno. Dengan senyumnya yang ramah, Bang Rizal mengenakan pakaian adat Ende, mengantarkan kami berkeliling rumah.

Dimulai dari pintu masuk, ada satu ruangan besar yang berisi etalase kaca dimana barang-barang Bung Karno tertata rapi di dalamnya. Mulai dari setrikaan, piring, catatan-catatan Ratna hingga surat kawin dan surat cerai Bung Karno dan Inggit Garnasih.
Di sebelah kanan ada ruangan dengan satu meja bundar dan dua kursi kayu yang berfungsi sebagai ruang tamu.
Selain foto-foto potret Bung Karno dan Inggit Garnasih, terdapat pula lukisan Bali di sudut kanan rumah, lukisan yang dibuat sendiri oleh Bung Karno untuk mengenang Ibundanya yang berasal dari Bali, Ida Ayu Nyoman Rai.
Di bawah lukisan tersebut terdapat satu kotak kaca dengan dua tongkat kayu di dalamnya. Di situ dituliskan tongkat yang bermotif polos adalah tongkat yang dipakai Bung Karno ketika pergi ke luar kota. Sedangkan tongkat dengan kepala monyet, dipakai Bung Karno ketika bertemu dengan kolonial Belanda, dengan maksud menghina atau merendahkan para penjajah.

Katanya, setiap bertemu dengan para penjajah itu, Bung Karno tidak akan membungkukkan badan atau memberi hormat. Beliau hanya menganggukkan tongkat kepala monyetnya ke arah mereka.
Masuk ke bagian tengah rumah, kami diajak melihat dua kamar. Kamar di sisi kiri adalah kamar tidur Ibu Amsi dan Ratna Djuami. Sedangkan di sisi kanan adalah kamar tidur Bung Karno dan Inggit Garnasih. Tempat tidurnya klasik, terbuat dari rangka besi, dipakaikan sprei dan kelambu berwarna putih.
Di bagian belakang rumah, terdapat ruang semedi dan salat Bung Karno dan kamar tamu beserta dapur dan sumur. Konon katanya, di dalam ruangan semedi tersebut, terdapat bekas tangan Bung Karno ketika sedang beribadah.
Yang membuat saya begitu tertarik adalah satu etalase kaca, berisi tonil-tonil dan buku Bung Karno. Tonil sendiri adalah nama lain dari naskah pertunjukan. Dari 13 tonil yang dibuat oleh Bung Karno, beberapa diantaranya dipentaskan bersama kelompok tonil bernama “Kelimoetoe” yang dibentuknya.
Tiga belas judul tonil yang pernah dibuat Bung Karno adalah “Rahasia Kelimutu”(dua seri), “Tahun 1945”, “Nggera Ende”, “Amuk”, “Rendo”, “Kutkutbi”, “Maha Iblis”, “Anak Jadah”, “Dokter Setan”, “Aero Dinamik”, “Jula Gubi”, dan “Siang Hai Rumbai”.
Dulu, tonil-tonil tersebut dipentaskan di Gedung Immaculata, milik Paroki Ende. Sayangnya beberapa dari tonil tersebut tidak jelas keberadaannya. Mungkin diambil oleh oknum tidak bertanggung jawab atau entah siapa.
Salah satu tonil yang paling menarik adalah tonil dengan judul “1945”. Di naskah itu Bung Karno menuliskan bahwa Indonesia akan merdeka, terbebas dari penjajahan pada tahun 1945. Namun musuhnya bukan dari Belanda, melainkan sesama bangsa Asia. Ramalan itu terbukti ketika Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945 setelah berperang melawan penjajahan Jepang. Wow…
Rumah yang dibangun pada tahun 1927 ini sudah beberapa kali direnovasi. Renovasi terakhir dilakukan sebelum perayaan Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni silam.
“Terakhir yang diganti hanya bagian langit-langit dan dicat ulang biar terlihat bagus, Mbak” ujar Bang Rizal
Saya sempat mem-posting foto Bung Karno di Twitter dan Instagram ketika berkunjung kesana. Salah satu teman saya memberi komentar sedih karena sewaktu dulu dia datang di hari Sabtu, rumahnya tutup.
Ya, rumah pengasingan Bung Karno ini hanya buka dari hari Senin-Jumat. Padahal cukup banyak sebenarnya wisatawan yang datang ke Ende pada akhir pekan. Namun wisatawan bisa mendatangi rumah penjaganya untuk minta dibukakan jika memang waktu kita datang kesana tepat di akhir pekan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bang Rizal dan keluar dari Rumah Pengasingan Bung Karno. Perjalanan #PesonaEnde akan terus dilanjutkan. Saya dan teman-teman media dan blogger yang diundang Kementerian Pariwisata akan mengunjungi beberapa tempat menarik di Ende.
Kemana lagi kami akan pergi kira-kira? Tunggu post berikutnya ya.
Oh iya, ini benda-benda yang ada di Rumah Pengasingan Bung Karno.
[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]
Perjalanan ini adalah undangan dari Kementerian Pariwisata Indonesia. Saya dan teman-teman media serta blogger akan mengeksplor beberapa tempat wisata di Ende. Silahkan juga cek foto-fotonya di Twitter dan Instagram dengan hashtag #PesonaEnde.
[/gdlr_widget_box]
4 thoughts on “Menilik Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende”
Wisata sejarah selalu menarik. seperti waktu saya di Asi Mbojo, Bima. Di sana ada kamar yang pernah ditempati bung Karno dalam kunjungannya sebelum persiapan kemerdekaan.
Di https://langkahjauh.blogspot.com/ ada cerita tentang itu, dan cerita perjalanan saya keliling Indonesia sejak 1 Januari 2015 kemarin.
Wah, aku waktu ke Bima nggak singgah di sana, Guri. Hahaha akhirnya kita beremu di blog setelah comment-comment di Instagram ya. Hehehhehe. Siappp, bakal mampir ke blogmu ya 😉
Rumah pengasingannya sangat sederhana ya :O Semoga nanti bisa mampir kesini juga~
Sederhana banget. Kayaknya lebih sederhana dibandingkan Rumah Pengasingan Bung Karno yang di Bengkulu. Iyaaaaaa didoain cepet kesana ya Mi 😉