“Lo sendirian ke Wae Rebo, Sat? Serius sendirian?”
Itu adalah pertanyaan yang harus saya jawab ketika teman-teman saya bertanya tentang perjalanan saya ke Wae Rebo.
Tak perlu heran. Masih banyak kok teman-temanku di luar sana yang juga berkelana sendirian. Sebutan kerennya, Solo Traveling.
Perjalananku menuju Wae Rebo kemarin memang jadi salah satu perjalanan yang akan dikenang sampai kapan pun. Banyak sekali cerita yang ingin kubagikan dengan kalian.
Dimulai dari susahnya mencari penyewaan motor menuju Denge, desa terakhir sebelum pendakian ke Wae Rebo, dari Ruteng, desa tempatku menginap. Keluarga yang menawarkan aku tempat tinggal punya motor namun tidak bisa kupakai pergi dua hari karena mereka juga butuh kendaraan untuk berdagang ke pasar.
Baiknya, mereka menanyakan ke saudara dan tetangga yang motornya bisa dipinjam. Tak berapa lama, aku yang sedang membantu Mama Jerry di dapur diberi tahu ada motor yang bisa dipakai tapi harus sewa. Harga sewa satu hari Rp 150.000,-. Mahal betul. Dikali dua hari pula.
Sayangnya saya memang tidak punya pilihan lain. Saya hanya punya waktu 3 hari sebelum terbang pulang ke Jakarta dari Labuan Bajo. Setelah menimbang-nimbang mau kemana selama 3 hari tersebut, kuputuskan untuk ke Wae Rebo daripada ke Taman Nasional Komodo. Ternyata keputusanku tepat karena pas akan berangkat ke Wae Rebo, tamu bulanan datang.
Kebayang kan sudah jauh-jauh nyeberang ke Pulau Komodo tahu-tahunya nggak bisa masuk karena membahayakan nyawa sendiri bakal dikejar-kejar sama Komodo? Syukurlah aku memutuskan ke Wae Rebo.
Sebenarnya ada angkutan umum dari Ruteng menuju Dintor (desa di sebelah Denge), namun berangkatnya tidak jelas jam berapa. Daripada menunggu tanpa dapat kepastian, mending langsung berangkat ya kan.
Awalnya keluarga yang aku tumpangi di Ruteng menawarkan untuk mengantarkan ke Denge. Masalahnya mereka sendiri tidak tahu Wae Rebo itu dimana, lalu bagaimana mau mengantarkan aku coba?
Dengan halus aku tolak tawaran mereka dan berkata aku pasti bisa cari jalan sendiri ke Wae Rebo, mengandalkan Google Maps. Mereka sempat bingung dan bertanya siapa itu Google Maps. Kok dia bisa tahu jalan. Hahahaha…
Ada teknologi lain sebenarnya yang lebih canggih dari GPS, yaitu teknologi “C” alias congor alias bertanya pada orang di jalan. Tapi kadang bertanya pada orang pun bisa menyesatkan (sudah berpengalaman beberapa kali).
Sebelum berangkat aku diajak berdoa dulu oleh Papa dan Mama. Mereka ikut mengantarkan ke depan pintu dan berpesan agar hati-hati di jalan. Aku diperlakukan selayaknya anak sendiri padahal baru bertemu sehari.
Motor kupacu pelan, hirup dalam-dalam udara pagi yang segar di Ruteng sambil senyum-senyum dengan orang yang berpapasan di jalan.
Tak lupa kuisi bahan bakar motor hingga penuh agar memastikan motornya tidak akan berhenti di antah berantah karena kehabisan bensin.
Enaknya jalan sendiri itu, kau bisa berhenti kapan pun kau mau. Kalau punya teman jalan yang nggak sabaran, susah juga ya. Bisa ngambek dia bentar-bentar minta berhenti buat ambil foto. Kecuali temanmu itu hobinya sama. Makin seru deh bisa berbagi side of view untuk ambil gambar-gambar bagus.
Saya berdendang sepanjang jalan, gembira meluap karena hari itu cuaca cerah, penanda baik bahwa perjalananku ini akan sangat menyenangkan. Ya walau memang kita tidak akan pernah tahu apa yang kita hadapi di depan, stay positive dulu yang utama. Optimis!
Karena masih kurang papan penunjuk jalan, saya sering berhenti untuk menanyakan arah jalan.
“Adik lurus saja nanti bertemu jalan ke kiri dan petunjuk jalan tulisannya Wae Rebo, sudah tidak jauh” ujar seorang Bapak yang kutanyakan arah.
Benar saja tak berapa lama aku menemukan papan penunjuk jalan itu dan berbelok ke kiri. Jalanan yang tadinya lebar menyempit dan tidak semulus jalan lintas Flores sebelumnya kulalui.
Dalam perjalanan menuju Denge, kita akan melintasi jalan berkelok-kelok naik dan turun dengan kondisi jalan berlubang. Harus ekstra hati-hati. Apalagi jalanannya sepiiiiii sekali. Jarang aku berpapasan dengan kendaraan lain. Rumah-rumah yang kulalui juga sunyi. Susah kan kalau misalnya ada kenapa-kenapa di tengah jalan?
Saat melintasi satu jembatan besar yang saya tidak tahu namanya, saya berhenti dan bertanya dengan seorang Ibu yang tinggal di gubuk satu-satunya di situ. Di tengah hutan lho…
Saya tanya apakah menuju Denge masih jauh atau tidak. Dengan cepat Ibu itu menebak saya pasti mau ke Wae Rebo.
“Nona ini sendirikah? Datang dari mana? Kuat e naik motor sendiri saja?” tanya si Ibu.
Kujawab pertanyaan si Ibu dan kubeli minuman dari warungnya meski saya sudah bawa botol minum sendiri. Bayangkan ada berapa sih pembeli yang datang untuk membeli makanan dan minuman di tengah hutan?
Pastinya kehadiran Warung si Ibu itu membuat beberapa orang lega jika ada yang mendapatkan masalah dengan kendaraannya dan biasanya masalah utama adalah kehabisan bahan bakar.
Tak berapa lama kami berbincang, keluarlah seorang laki-laki menggendong bayi perempuan. Oh, ternyata sekeluarga tinggal di sini. Katanya mereka senang tinggal di samping jembatan, dekat sungai besar. Sejuk dan menyenangkan bisa mendengar gemericik air sungai.
Sebelum saya melanjutkan perjalanan, si Bapak sempat memberi saran untuk melintasi sisi pantai saja menuju ke Denge dibandingkan harus lewat Kombo – Dintor – Denge. Lebih bagus pemandangan di tepi pantai katanya.
Saya ucapkan banyak terima kasih dan kembali mengendarai motor. Kulirik jam, sudah 2 jam saya berkendara yang artinya sedikit lagi sampai.
Mengikuti saran Bapak tadi, saya berbelok ke kiri ketika ada pertigaan dan ditunjukkan bahwa Kombo – Dintor itu kanan. Saya harus pergi ke arah berlawanan.
Daaaaaaannnnn aku tidak menyesal mengikuti saran si Bapak. Senang sekali aku berganti pemandangan yang tadinya hutan, sawah lalu berubah menjadi pantai. Tiada lagi jalan berkelok-kelok menaiki dan menuruni bukit. Yang ada hanya jalanan lurus menyusuri tepian pantai. Sayangnya tepian pantainya batu, bukan pasir putih.
Selama menyusuri tepi pantai, saya menawarkan diri untuk menjadi ojek bagi siapa pun yang melintas di jalan itu. Kasihan kalau melihat mereka yang membawa dirigen-dirigen air sambil berjalan kaki. Lagi pula jalannya kan cuma itu. Berarti rumah mereka pasti ada di sekitaran. Senang juga aku punya tumpangan yang bisa diajak ngobrol di jalan. Selesai dengan satu orang, maju sedikit ke depan, dapat lagi yang bisa ditawari tumpangan.
Dari tepian pantai kita bisa melihat ada satu pulau di tengah laut dengan bukit batu yang cukup tinggi. Kayaknya seru juga manjat tebing di situ. Pulau Mules namanya. Serius, namanya Mules. Saya terkikik ketika diberitahu nama pulau itu.
Jalan mulai menanjak lagi dan ternyata saya sudah tiba di Desa Denge. Saya mencari rumah Pak Vincent yang direkomendasikan teman saya Dewe. Katanya rumahnya berbentuk bulat, terletak di sebelah gereja.
Ada seorang Ibu yang sedang menyapu di halaman rumah yang ada di samping gereja. Saya perkenalkan diri dan tujuan saya mencari rumah Pak Vincent. Ternyata itu adalah pekarangan rumah Pak Vincent sendiri dan Ibu tadi adalah istinya, Maria namanya.
Saya diajak masuk dan disuguhkan kopi panas. Pal Vincent yang duduk di depanku memandangi saya dengan raut terheran-heran. Beliau mulai bertanya asalku dan tujuanku.
Kujelaskan bahwa aku mau ke Wae Rebo, sendirian saja. Pak Vincent tergelak sambil meminta istrinya, untuk membawakan makan.
“Satya ini naik motor sendirian dari Ruteng eh? Pasti lapar kan? Makan dulu ya baru nanti mendaki ke atas” kata Pak Vincent.
“Maaf hanya ini makanan yang ada di rumah kami” ujar Mama Maria sambil membawakan bakul nasi, semangkuk besar mie instan rebus dan beberapa potong ikan asin ke ruang tengah.
Kami makan siang bersama-sama sambil Pak Vincent bertanya-tanya tentang ya banyak hal. Piringku tandas dengan cepat. Perut ini memang sudah meronta minta diisi.
Selesai makan, Pak Vincent menyuruh satu anak muda memanggil Pak Blasius yang nantinya akan menjadi pemanduku.
“Eh nggak usah pakai pemandu, Pak. Aku sudah biasa naik gunung kok” kataku.
Pak Vincent lalu menjelaskan mengapa aku harus berangkat bersama pemandu. Se;ain agar tidak tersesat, ada prosesi adat yang akan dilakukan sebelum masuk ke Wae Rebo. Tentu saja seluruh prosesi itu akan berlangsung dalam bahasa Manggarai yang jelas-jelas saya tidak tahu.
Saya juga diberitahu bahwa ada biaya yang dikenakan untuk menginap di Wae Rebo yaitu Rp 325.000 per orang. Untuk pemandu, kita harus membayar Rp 100.000,- per hari. Jika kita menginap, maka pemandu akan ikut menginap dan berarti dihitungnya dua hari.
Walau terasa agak mahal, saya tidak bisa mundur, saya sudah sejauh ini masa harus pulang lagi. Uang masih bisa dicari kok nanti. Toh juga uangnya untuk penduduk di situ.
Saya mengangguk ketika Pak Vincent bertanya apakah saya setuju dengan harga itu. Beliau lantas menyuruhku cepat bersiap untuk berangkat mendaki ke Wae Rebo yang katanya mungkin memakan waktu 3-4 jam.
Pak Blasius juga sudah menunggu di ambang pintu, siap untuk memandu. Mari kita berangkat!
bersambung…