“Prepepepepepepepep”
Bunyi riuh kapal menghampiri garis pantai Larantuka, tempat saya sedang menikmati pagi. Seorang Bapak turun dengan membawa beberapa renteng ikan segar hasil tangkapan dari melaut semalaman. Ikan sunu berwarna merah segar dihargai Rp 35.000 satu ikat dan ikan kakap hitam dihargai Rp 200.000 per ekor. Beberapa orang bapak sudah menunggu untuk membeli ikan, lengkap dengan helm yang masih terpasang di kepalanya.

Baru saja bulan Maret lalu saya menyambangi Larantuka, kota yang ramai dengan peziarah dari seluruh dunia saat “Semana Santa”. Saat itu terucap doa agar bisa kembali ke kota ini segera. Siapa sangka hanya dalam waktu dua bulan, saya kembali lagi ke sana berkat undangan Daihatsu Indonesia dalam rangka #Terios7Wonders dan Tour de Flores 2016. Bahagia? Tak terkira.
Selama berada di Larantuka, kami berkunjung ke tiga kapel utama, Kapel Tuan Ma, Tuan Ana dan Tuan Meninu. Tuan Ma adalah sebutan untuk Bunda Maria, Ibu Tuhan Yesus, Tuan Ana adalah Tuhan Yesus dan Tuan Meninu adalah kanak-kanak Yesus. Kapel tertua adalah Kapel Tuan Ma, yang diinisiasi oleh Raja Larantuka pertama, Ola Adobala Diaz Viera De Godinho. Di dalamnya, tersimpan patung perempuan berkulit putih berjubah biru dengan muka sendu, yang dikenal dengan patung Tuan Ma, Mater Dolorosa, Bunda Maria berduka cita.


Ada dua versi cerita tentang kemunculan patung Tuan Ma ini. Versi pertama, dahulunya ada seorang pemuda bertemu dengan wanita yang berparas sangat cantik, berkulit putih bersih dan bercahaya, menyapa dengan Bahasa yang tidak dimengertinya. Pemuda itu kebingungan lalu pergi melapor kepada Raja Larantuka dan saat ia ingin menunjukkannya kepada Raja, perempuan itu telah berubah wujud menjadi patung. Patung wanita cantik itu kemudian disimpan di balai raja dan akhirnya diketahuilah bahwa itu adalah patung Bunda Maria, sejak misionaris Portugis datang menyebarkan agama Katolik di Larantuka.

Versi kedua adalah, ada seorang pemuda yang menemukan satu patung wanita berjubah biru dengan muka sendu, terdampar di bibir pantai. Diyakini bahwa patung ini berasal dari kapal misionaris Portugis yang karam di perairan sekitar Flores. Nah, kalian percaya cerita yang mana? Versi pertama atau versi kedua?
Karena kami datang di bulan Mei, bertepatan dengan bulan Rosario, semua kapel dibuka untuk umum untuk berdoa. Saya teringat dengan masa-masa saya berziarah sendiri ke kota ini meski (sayang sekali) tidak bisa mengikuti prosesi Semana Santa yang sudah dilaksanakan sejak 500 tahun yang lalu. Dan lalu saya berjanji akan kembali lagi di perayaan Paskah tahun depan. Saya sedikit terkekeh ketika Pak Wempi, penjaga kapel Tuan Ma, terkejut melihat saya datang lagi.

“Katanya Satya mau datangnya tahun depan, eh baru dua bulan kok sudah di sini lagi?” ujarnya dan lalu saya balas dengan terkekeh lagi.


Selain berkeliling ke tiga kapel utama di Larantuka, rombongan kami juga menyambangi pekuburan. Senang sekali di trip ini saya bertemu dengan Mas Iqbal Kautsar yang juga pencinta kuburan. Sampai-sampai kami membuat project #TravellingKuburan di Instagram (check it out!).

Hari sudah sore ketika kami tiba di Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka. Gereja ini dulunya dikenal dengan nama Gereja Besi. Ibu Germana, salah satu penduduk lokal Larantuka bercerita tentang Gereja Besi ini kepada saya.


“Waktu itu kami masih animisme, menyembah batu, pohon. Setelah dibaptis Katolik, Raja Adobala, membangun gereja ini namun masih memakai kayu dan bambu. Barulah pada tahun 1884 Gereja Katedral ini dibangun dengan besi-besi yang dibawa dari Den Haag, Belanda”, ujar Ibu Germana.
Dulunya tidak ada dermaga di Larantuka, jadi seluruh nelayan membantu menjemput besi-besi itu ke tengah laut tempat kapal besar dari Belanda itu labuh jangkar. Bersama-sama masyarakat Larantuka membangun gereja ini. Jadi, Gereja Katedral Larantuka ini bukan peninggalan Portugis atau Belanda. Hanya bentuknya saja yang mirip. Hingga saat ini, Gereja Besi ini sudah berusia 129 tahun.
Kesempatan menyapa Larantuka kembali tentu saja tidak saya sia-siakan. Ada rasa haru ketika bisa memasuki lagi kapel-kapel magis itu. Mengucap syukur atas berkat Tuhan yang begitu baik menjawab doa saya begitu cepat.
Perjalanan #Terios7Wonders kami akan dilanjutkan. Setelah Larantuka, kami akan bergerak menuju bagian Barat Flores. Destinasi selanjutnya adalah Maumere!!! Yeay!

[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]
Perjalanan ini merupakan undangan sponsor dari Daihatsu Indonesia untuk mengikuti perjalanan tahunan bertajuk Terios 7 Wonders dalam rangka Tour de Flores. Sila baca seluruh cerita perjalanan “Terios 7 Wonders”.
[/gdlr_widget_box]
4 thoughts on “Menyapa Lagi Larantuka, Kota Reinha Rosari”
Ikan sunu itu sejenis Kerapu hehehhe; tapi ada yg sunu macam (kalau tempatku bilang) harganya mencapai 200ribuan perkilo.
Oya, kata temanku di Larantuka hubungan antara agamanya sangat kuat, jika salah satu memperingati hari besar, maka warga yang beragama beda ikut membantu acara tersebut dengan menjaga keamanan.
Oh iya ya Bang? Baru tahu aku. Yappp. Toleransi antar agama di Larantuka ini keren banget. Senang sekali di sini. Damai 🙂
Larantuka masih memanggil.. Belum lengkap klo belum hadir pas Semana Santa ya.. Semoga kembali lagi ke Larantuka.
ikannya besar dan segar-segar ya..