“Mingalabar, welcome to Myanmar, how was your flight?” ujar seorang laki-laki yang mengenakan baju kuning dan sarung hitam kepada kami yang baru tiba di Yangon International Airport, sambil tersenyum.
Ia mengucapkan kalimat itu dalam bahasa Inggris dengan dialek yang belum akrab di telinga saya dan saya tergelak karena parasnya yang lucu. Namanya Min-min, local guide yang akan menemani kami mengeksplorasi Myanmar beberapa hari ke depan.
Awalnya, saya sempat terheran mengapa Min-min mengenakan sarung ke bandara. Lalu saya menyadari bukan hanya Min-min yang mengenakan sarung, melainkan hampir seluruh lelaki yang saya lihat di bandara, bahkan supir taksi dan bus yang menyetir pakai sarung.
Ketika diperhatikan lagi ternyata para perempuan di Myanmar juga mengenakan sarung. Namun, corak warnanya lebih menarik dibanding sarung yang dikenakan para lelaki.
Dari Min-min saya tahu bahwa itu adalah bawahan khas Myanmar yang biasa disebut ‘longyi’ (dibaca longji). Di Indonesia, sarung juga sudah melekat sebagai identitas, namun tampaknya tak sekental Myanmar.
Mungkin untuk orang kita, sarung identik dengan pakaian rumah atau ke masjid atau pura, sedangkan di Myanmar, lelaki dan perempuan memakai sarung hampir ke mana saja, ke kantor, ke bandara, ke kuil, ke mal, ke mana-mana. Mereka juga jarang memakai sepatu dan lebih memilih memakai sandal jepit ke mana-mana.
Coba di Indonesia kamu pergi ke mal pakai sarung, mungkin jadi bahan tertawaan. Tapi kalau Asoka Remadja sih pengecualian ya, sahabat yang tak pernah mengenakan celana (pakai kain doang) yang juga jadi partner saya di #Escapers17 Myanmar memang tiada dua uniknya!
Selain mengenakan ‘Longyi’, para perempuan di Myanmar juga membubuhkan bedak dingin di wajah yang mereka sebut ‘Thanaka’.
Selain berfungsi sebagai tabir surya, ‘Thanaka’ juga dipakai agar kulit tetap adem karena suhu di sana saat siang hari bisa lebih dari 40 derajat celcius.
Tapi lucunya saya juga menjumpai banyak petugas wanita di Bandara Yangon yang memakai ‘Thanaka’ padahal mereka bekerja di ruang berpendingin udara. Mungkin karena sudah terbiasa kali ya.
Setelah Min-min mengecek setiap anggota rombongan #Escapers17, kami digiring untuk naik ke bus tua yang mirip dengan bus yang beroperasi di Jakarta sekitar tahun 80’an.
Meski nampaknya ringkih, bagian dalam busnya bersih, wangi dan setiap kursinya diberi alas duduk bulu-bulu sehingga empuk. Ternyata enak juga bis ini, tidak sejelek penampakan luarnya, pikir saya. Nah kan, makanya don’t judge the book by its cover.
Saat bus mulai bergerak melaju keluar dari bandara, seketika itu pula saya bingung karena bis ini memakai jalur kanan tetapi stirnya juga di kanan. Lo kok? Biasanya kan kalau stir kanan jalannya di kiri dan stir kiri jalannya di kanan. Lha ini stir kanan, pintunya di kiri, jalan di kanan. Kalau lagi naik angkutan umum, turunnya di tengah jalan dong? Hahaha…
Tempat yang kami tuju tidak terlalu jauh dari bandara, tapi macetnya memang luar biasa, bahkan menurut saya lebih parah dari Jakarta. Karena itulah pemerintah Myanmar melarang sepeda motor melintas di Yangon untuk mengurangi kemacetan.
Ternyata hasilnya sama saja dan tetap macet di mana-mana. Taksi-taksi dan bis-bis tua berjubelan di jalan dengan klakson tiada henti berisiknya. Sesekali terlihat becak kecil menyempil diantara kemacetan itu pasrah tak berdaya. Ya, di Yangon sepeda motor memang sudah tidak ada tetapi becak masih (sedikit) berjaya.
Daripada menggerutu karena macet panjang tak berkesudahan, saya memilih untuk memperhatikan Min-min saja yang sedang menjelaskan tentang sejarah Myanmar dan ingin saya bagikan untuk kalian di sini.
Min-min bercerita bahwa dahulu, Republik Persatuan Myanmar dikenal dengan nama Birma/Burma karena memang etnis terbanyak di negara ini adalah Birma ( Burmese).
Burma diganti menjadi Myanmar dengan alasan agar etnis lain selain Birma seperti Karen, Kayah, Mon, Kachin, Shan, Senin, Rakhine, dan Chin, merasa menjadi bagian dari negara.
Yangon yang dulunya bernama Rangoon tidak lagi menjadi Ibukota Myanmar melainkan Naypyidaw sejak tahun 2005 berdasarkan keputusan pemerintahan junta militer. Namun karena infrastruktur di Yangon masih jauh lebih baik, Yangon tetap masih dianggap sebagai Ibukota hingga sekarang.
Myanmar dulunya merupakan jajahan Inggris sehingga tak ayal banyak bangunan tua peninggalan ala Britania tersebar di Yangon namun sayangnya kurang terawat.
Myanmar merdeka tahun 1948 dari Inggris namun tak semerta-merta bisa langsung berkembang seperti Indonesia.
Banyak sekali konflik yang menjadi catatan kelam Negara ini baik itu kasus pelanggaran HAM, rezim militer tak berkesudahan, konflik antar etnis, Rohingya dll. Lepas dari jajahan asing, Myanmar menjalani era penjajahan baru oleh kaum elitnya sendiri hingga berpuluh-puluh tahun.
Meski didera konflik, sebenarnya orang Myanmar sangatlah ramah kepada pendatang. Mereka sangat murah senyum meski tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka sama sekali tidak merasa asing dengan wisatawan asing.
Myanmar sudah mulai membuka diri kepada dunia luar dan tidak lagi sekelam cerita atau film tentang Burma yang mungkin pernah kamu tonton. Pun menurut saya, Myanmar aman untuk solo traveler khususnya perempuan.
Hanya saja, Myanmar ini sedikit telat berkembang teknologinya. Bayangkan handphone saja baru banyak dipakai oleh penduduk Myanmar sekitar tahun 2012. Jadi jangan terlalu berharap banyak dengan kecepatan internet di sana ya.
Provider lokal yang kemarin saya pakai adalah MPT yang dengan harga 10 USD dapat kuota 1GB dan free-access Facebook. Htoo, teman baru saya dari Myanmar juga bilang, orang Myanmar sekarang keranjingan main facebook dan tidak tertarik dengan social media lain seperti twitter atau instagram.
Mata uang Myanmar adalah Kyatt (dibaca ; chat) yang kursnya 1 USD = 1000 Kyatt. Kalau diubah ke rupiah, dikali 10 aja, misalkan 500 Kyatt berarti 5000 rupiah.
Tapi sebaiknya sih tidak usah menukar Kyatt banyak-banyak karena kalau sisa, tidak bisa ditukar lagi di luar Myanmar. Untuk kebutuhan bayar tiket bus, restoran, hotel, rental mobil, pakai USD juga diterima kok.
Sambil tetap mendengarkan penjelasan Min-min, saya memperhatikan jalanan Yangon dari jendela bus. Sambil berjalan, orang Myanmar sering meludah sirih pinang. Jadi jangan heran kalau melihat bercak-bercak merah di jalan. Itu bukan darah tapi sirih pinang.
Seketika saya langsung teringat orang Papua yang juga suka meludah sirih. Sebagai penyuka sirih, saya merasa wajib coba dong sirih pinang Myanmar.
Rasanya?
Kayak makan daun pakai bedak bayi. Ada sesuatu yang mereka bubuhkan seperti krim putih yang tadinya saya kira kapur seperti di Indonesia namun ternyata berbeda.
Saat dikunyah rasanya memang seperti mencecap bedak atau lotion bayi. Saya tahu betul karena itu seperti lotion yang saya pakai sehari-hari. Hahahaha.
Selain karena rasanya, saya juga terkejut karena sirih pinang ini cukup memabukkan juga. Kepala saya sempat pusing untuk beberapa waktu lamanya setelah memakan sirih pinang Myanmar ini. Saya sampai harus meminum beberapa botol air mineral untuk menghilangkan rasa pusingnya.
Cerita di atas baru pembuka dari perjalanan saya di Myanmar. Tujuan utama saya datang ke Myanmar sebenarnya untuk familiarization trip bersama Accor Hotels.
Ada 10 negara yang ikut berpartisipasi dalam keseruan acara berjudul #Escapers17 ini.
Selama di Myanmar, kami akan diberikan tantangan semacam Amazing Race gitu. Asoka dan saya jadi perwakilan dari Indonesia tentu saja sangat bersemangat untuk menyelesaikan permainan super seru ini sambil mengeksplorasi daya tarik Myanmar.
Masih ada cerita seru tentang perjalanan #Escapers17 di Myanmar ini yang akan aku tulis. Ditunggu ya 😉