Ngejar Matahari yuk ke Bukit Sikunir, Dieng

35

Paling enak melihat matahari terbit dimana sih? Pasti jawaban paling banyak adalah puncak gunung. Yup! Melihat matahari terbit dari puncak gunung membuat hati terasa hangat. Derasnya peluh yang membasahi baju, hidung yang meler karena udara dingin dan nafas sedikit sesak karena oksigen yang menipis tidak menjadi soal karena membayangkan keindahan matahari terbit dari puncak gunung.

Maka saya beri judul “Mengejar Matahari” 🙂

Pagi itu suhu Dieng mencapai 10 derajat celcius. Bwrrrrrr dinginnya menusuk tulang men. Sudah pakai baju 2 lapis, windbreaker jacket, syal, topi rajut wol dan sarung tangan, masih saja menggigil. Itinerary terakhir saya di Dieng adalah trekking ke Bukit Sikunir yang merupakan salah satu primadona pariwisata Dieng. Saya & Juju sudah survei sehari sebelumnya naik motor ke start point trekking dan tanya-tanya sama masyarakat sekitar. Sampai ke gapura selamat datang di Desa Sembungan, jalanan masih baik, hanya sedikit lubang kecil disana-sini. Tetapi setelah masuk ke Desa Sembungan menuju Sikunir, jalannya kok jadi sempit dan berbatu-batu. Saya heran, kemana ya Pemerintahnya? Kok, objek wisata yang sudah terkenal seperti Bukit Sikunir ini gak didukung dengan prasarana yang baik. Ah, semoga mereka disadarkan lah ya. Amin.

Kami memutuskan untuk trekking ke Bukit Sikunir di hari terakhir karena itu hari senin, jadi wisatawan tidak terlalu banyak seperti hari sabtu / minggu. Mana enak berdesak-desakan di puncak gunung? Emang luas puncaknya kayak lapangan bola? :p Tujuan awalnya ingin menikmati, malah menggerutu karena cuma bisa sebentar menikmati panorama matahari terbit. Kan harus gantian coy!

Buat yang suka fotografi, matahari terbit adalah salah satu objek yang menarik. Bisa bikin time lapse juga loh. Naaah untuk mendapatkan itu kita harus stand-by dari langit masih berbintang sampai matahari muncul malu-malu dan menyiratkan warna jingga yang hangat. Momennya cepat sekali, jadi gak boleh telat!

Entah kenapa setiap jalan kemana-mana pasti nemu orang yang baik hati yang menawarkan banyak hal, baik itu tumpangan gratis, makanan gratis dan tempat berteduh gratis. Termasuk perjalanan ke Bukit Sikunir kali ini 🙂

Malam sebelum berangkat ke Bukit Sikunir, kami berdua sedang makan malam di Bu Jono, menyapa seorang bapak yang lagi duduk nonton TV. Namanya Pak Erwan, seorang tour guide dari Jogja yang lagi membawa turis Singapura. Ngobrol ngobrol ngobrol, beliau juga akan mengantarkan turis ke Bukit Sikunir esok subuh. Jadilah kami ditawari tumpangan mobil ke Sikunir. Meski awalnya tak enak hati, kami menerima tawaran Pak Erwan karena lebih enak naik mobil daripada naik motor subuh-subuh. FYI, tidak ada lampu jalan ya. Jadi kalau naik motor harus hati-hati di jalan berliku, menanjak dan berlubang.

Kami berjanji untuk bertemu di meeting point jam setengah 4 pagi walaupun akhirnya berangkat jam 4.30. Di dalam mobil kami langsung dikenalkan dengan turis yang dibawa pak Erwan, a sweet beautiful lady name Maria Dorothy Da Silva, just call her Dora. She works for Discovery Channel, she’s so smart and humble.

Sekitar 25 menit berkendara, tibalah kami di Desa Sembungan (2505 mdpl) yang diklaim sebagai desa tertinggi di pulau Jawa. Jalan utama di desa ini bernama Sunrise Road. Wah pasangannya Sunset Road nya Bali dong. 🙂

Sembungan Village
Selamat datang di Desa Sembungan.

Telaga Cebong Sikunir
Telaga Cebong di Desa Sembungan sewaktu survey sehari sebelum mendaki Bukit SIkunir.

Sesampai di parkiran, langit masih gelap dan terlihat beberapa orang memakai sarung & kupluk. Mereka menawarkan untuk mengantar kami ke atas tapi kami tolak dengan halus “terima kasih Pak”. Dora lalu menatap kakiku dan berkata “hey Satya, why you wearing sandals, not shoes?”. Saya kemudian menjelaskan bahwa memakai sandal gunung saya masih aman karena sol nya anti slip dan trekkingnya tidak terlalu jauh. Padahal aslinya saya malas bawa sepatu gunung karena berat, makan tempat dan hanya digunakan sebentar. Memang yang dianjurkan untuk mendaki adalah sepatu gunung yang melindungi hingga mata kaki dan anti slip. “Well, take care” said Dora.
Selfie Latar Danau Dieng
Saya & Dora atau yang lebih suka dipanggil Yanti. :))

Sunrise - Sikunir - Sembungan
Sunrise – Sikunir – Sembungan

Sebelum naik, kita membayar tiket masuk sebesar Rp 2000,- per orang. Tim nya adalah saya, Juju, Dora & Pak Erwan. Kami membawa 2 senter dan berjalan santai menyusuri jalan setapak batu yang jelas terlihat. Tidak usah takut tersesat karena setiap 100 meter ada papan penunjuk.

Selama perjalanan menuju puncak, saya terlalu bersemangat. Mungkin karena sudah lama tidak naik gunung ( terakhir naik gunung Pangrango – Gede tahun 2012 ) jadinya rindu sekali dengan gunung. Well, Sikunir ini bukan gunung sih, cuma bukit ( walaupun tingginya 2300 mdpl ), tapi anggap saja sama. Sama-sama capek mendakinya.

Jalur Trekking Sikunir
Pak Erwan, Dora dan saya.

Dora sempat bertanya mengapa saya lincah dan cepat sekali berjalan. Terus saya jadi malu, rasanya seperti dipuji gitu. Soalnya, di organisasi pecinta alam di kampus, saya termasuk yang lamban berjalan kalau mendaki gunung. Dora menertawai dirinya sendiri dan berpikir bahwa dia sudah sangat tua karena tidak bisa mengejar saya. Di perjalanan dia hampir jatuh terpeleset beberapa kali. Setelah diperhatikan, ternyata Dora memakai sepatu tenis yang solnya agak rata. Pantesaaaannnn…. Sepatu yang rata kan licin dan tidak cocok dipakai trekking. Jangan ditiru ya teman-teman.
7alur Turunan Sikunir
Setelah berjalan 800 meter selama kurang lebih 30 menit tibalah kami di Puncak Bukit Sikunir. Yeaaahhh!!!

Setibanya di puncak, ternyata sudah ada beberapa orang yang tiba lebih dulu. Ada sekelompok laki-laki yang setelah diajak berbincang mengaku berasal dari Jakarta dan lagi touring motor ke Dieng. *prok prok prok* Hebat sekali!!! Saya naik bus ke Dieng saja sudah pegel banget, gimana yang naik motor coba?

Selain mereka, yang buat saya kagum adalah pedagang makanan dan minuman di puncak Sikunir yang sudah berjualan sejak dini hari. Begitu melihat wisatawan, mereka dengan bersemangat menawarkan dagangannya mulai dari kopi, teh, pop mie, gorengan dll. Enaknya sih minum yang hangat-hangat ya kalau udaranya dibawah 10 derajat. Ngeteh dan ngupi-ngupi 😉

Saya dan Juju sudah membawa bekal roti dan snack dari penginapan, jadi kita enggak jajan apa-apa selain kopi. Sebenarnya karena enggak tahu kalau di atas ada pedagang makanannya. Kalau tahu kan mending gak usah bawa. Tapi, lebih baik sedia payung sebelum hujan, toh?

Saat pertama kali tiba di puncak, kita bisa melihat dengan jelas lampu-lampu kecil dari rumah penduduk di kejauhan. Sekitar pukul 05.30, awan-awan sudah mulai menutupi dan sejauh mata memandang hanya awan dan puncak gunung Sumbing, Sindoro, Merapi dan Merbabu. Awan-awan yang sejajar dengan kaki, membuat saya merasa berada di atas awan.

Kami mencari tempat yang cukup nyaman untuk duduk dan memandang matahari terbit dan dipilihlah sebongkah batu besar dan lebar untuk dijadikan tempat duduk serta meletakkan barang. Setelah energinya terisi penuh, saya, Juju dan Dora mempersiapkan kamera masing-masing dan berpencar mencari spot terbaik untuk memotret. Tripod sudah berdiri tegak, kamera siap mengabadikan momen matahari terbit di Bukit Sikunir yang digadang-gadang sebagai “golden sunrise”.

Sunrise dari Jalur Sikunir
05.56 WIB

Golden Sunrise Sikunir
06.00 WIB

“Ya Tuhan, cantik sekali”, gumamku dalam hati. Semburat warna emas mulai mengikis warna biru di langit, sang surya mulai menyembul malu-malu. Ah, ini yang dinamakan “Golden Sunrise”. Walaupun merekam momen dengan kamera itu indah, tak ada momen yang terekam lebih lama di benak kita selain dengan mata. Bersyukurlah masih punya dua mata yang lengkap dan punya kesempatan untuk melihat ciptaan Tuhan yang indah.
Pegang Matahari Sikunir
Golden Sunrise Sikunir.

Sambil menikmati hangatnya mentari pagi, kami bersenda gurau dengan teman-teman touring motor. Karena mereka lelaki semua, mulailah mereka menggoda Dora yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan mengajarkan Dora beberapa kosa kata yang aneh-aneh.
Berfoto di Puncak Sikunir
Muka bahagia disinari mentari pagi.

Jam sudah menunjukkan pukul 06.25. Udara mulai semakin hangat dan bikin gerah. Lepas jaket, masukkan ke dalam tas, beres-beres peralatan, mari kita pulang. Tak butuh waktu lama untuk menuruni bukit Sikunir, 20 menit saja cukup. Itu juga hitungan lambat sebenarnya, karena kita benar-benar berjalan santaaaaaiiiii. Lagian buru-buru mau kemana sih? 🙂

Telaga Cebong sudah terlihat di kejauhan yang berarti kita sudah semakin dekat ke parkiran. Konon telaga ini banyak kecebongnya, makanya dinamakan Telaga Cebong. Sesampainya di parkiran, pedagang warung mulai memanggil-manggil untuk sekedar menyeruput kopi, teh hangat dan mencoba kentang goreng. Ya tidak ada salahnya beristhirahat sejenak sambil beramah tamah dengan penduduk lokal. Ju memesan kopi dan kentang goreng bulat yang dijajakan dan ternyata kentangnya enak sekali. Nyaaammm. Selain kentang, kami juga ditawarkan untuk mencicipi Carica, penganan khas Dieng. Carica? Apaan tuh? Tunggu di postingan berikutnya ya. Ciao! Happy traveling 🙂

Telaga Cebong Bukit Sikunir
Di perjalanan pulang, kita bisa melihat Telaga Cebong di kejauhan

Warung Kopi Sikunir
Warung kaki lima di Sikunir. Yuk mampir buat ngupi-ngupi.

Happy Travelling!
Enjoy Indonesia!

About the author

An adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on.

Related Posts