Untuk mengobati hati yang lara karena tidak bisa mendaki Gunung Tambora kemarin, salah satu teman perjalanan saya, Om Kiat mengajak kami untuk mengunjungi satu tempat yang unik di Sumbawa.
“Pernah jalan di tengah laut nggak?” tanya Om Kiat
“Belum Om. Tapi kalau berdiri di tengah laut pernah. Kan suka ada gosong-gosong (pasir timbul) gitu” jawabku
“Nah, kalau gitu, kita harus kesini (sambil menunjukkan foto di handphone-nya)” kata Om Kiat
“Wah bagus banget!” pekik kami bersamaan. Makin-makin bertambahlah rasa penasaran kami.
(Iya, kami. Di perjalanan ini Pesona Tambora ini saya pergi bersama orang-orang keren, sebut saja Barry Kusuma, Dayu Hatmanti, Jovita Ayu, Farchan Noor Rachman, Rahne Putri, Setiadi ‘Kiat’ Darmawan *silahkan cek personal account mereka dan siap-siap terpana*)
Diputuskanlah esok pagi-pagi kami akan berangkat menuju tempat yang cantik itu karena kita hanya bisa berjalan di atas laut sebelum jam 12 siang katanya.
Keesokan paginya, kami bertolak dari Hotel sekitar pukul 8 pagi. Karena beberapa hari sebelumnya tidurnya cuma sebentar, begitu masuk mobil teman-temanku langsung kembali ke alam mimpi meninggalkan aku dan Pak Ilham, driver kami, berdua saja.
Sepanjang jalan yang berkelok-kelok melintasi perbukitan hijau, saya dan Pak Ilham berbagi cerita-cerita lucu tentang bagaimana dia dulu adalah satu-satunya pemuda dari Mataram yang dikirim untuk studi banding ke Jepang. Pak Ilham tak henti-hentinya berkelakar sehingga tak terasa kami sudah menempuh perjalanan selama 1.5 jam.
Jalan batu kerikil menuju Pantai Lariti |
Jalan aspal mulus berganti menjadi jalan berbatu. Mobil kami melambat dan berhenti di pinggir jalan. Bukan karena ban bocor atau kenapa-kenapa, melainkan karena pemandangannya yang cantik banget dan bikin kami nggak tahan untuk keluar serta mengambil gambar.
My beautiful exotic lady, Dayu Hatmanti, a Fun Fearless Female 😉 |
My always-smile lady, Rahne Putri |
Tetapi begitu keluar mobil, kulit kami langsung tersengat panasnya matahari yang jumlahnya sepuluh. Hiperbola sih tapi memang panasnya itu panas banget. Jangan lupa pakai sunblock yah.
Kami kembali masuk ke mobil dan menyusuri jalan berbatu hingga ke ujung jalan. Dari tepi pantai terlihat pulau kecil di seberang.
“Nah, kita nanti jalan kesitu (sambil menunjuk pulau kecil itu)” kata Om Kiat
Ah iya benar ada jalannya!
Air yang sedang surut menjadikan pasir timbul yang memanjang dari pantai hingga pulau kecil terlihat dengan jelas. Tapi ingat kita hanya bisa menyeberang maksimal jam 12 siang. Lewat dari jam segitu, air laut akan kembali pasang dan menutupi jalur pasir timbulnya.
Dengan gembira kami melepas sandal yang kami kenakan dan berjalan menyusuri pasir menyeberang ke pulau kecil. Eh, begitu tiba di pulau kecil itu, ternyata pintu kecil yang terbuat dari bambu ditutup dengan kuncian sepeda.
Ternyata ada tulisannya “Buang Air Kecil Rp 2000”. Lah, ini pulau apa toilet?
Hahahaha…
Kami berkeliling dan melihat apakah ada jalur lain untuk naik ke atas bukit kecil itu? Lalu dengan susah payah kami memanjat batu karang dan menerabas ranting-ranting. Karena jalurnya cukup ekstrim, hanya empat orang yang mau naik ke atas dan yang lainnya memilih untuk bersantai di pantai saja.
Tak berapa lama seorang bapak tua datang menyusul kami. Ternyata beliau adalah penjaga pulau kecil di Pantai Lariti itu. Beliau bercerita bukit itu dipagari dan dikunci agar anak-anak muda yang suka mabuk-mabukkan di situ tidak sembarangan masuk.
Tapi kok tulisannya buang air kecil sih Pak? Ah mbuhlah…
Jadi nama tempatnya adalah Pantai Lariti di Desa Soro, Kecamatan Lambu Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pantai ini sudah mulai dikenal oleh banyak wisatawan dalam dan luar negeri. Terbukti dari beberapa data tentang pantai ini bisa kita temukan di internet.
Untuk menuju tempat ini, saya hanya bisa menyarankan untuk membawa kendaraan pribadi karena tidak ada kendaraan umum untuk mencapai tempat ini.
Melihat pantai Lariti ini, saya jadi teringat dengan Nabi Musa yang bisa membelah laut dan mengajak rombongannya menyeberangi laut dan menyelamatkan diri dari serangan Firaun.
Menurut keterangan warga lokal, kalau kami datang lebih pagi lagi (waktu itu kami tiba pukul setengah sebelas), air lautnya lebih surut dan pasirnya lebih terlihat tinggi. Ah, tak apa. Segitu saja kami sudah senang kok.
Satu yang kami sayangkan adalah tambak udang yang berjejer di tepi Pantai Lariti. Pikiran kami, Pantai Lariti ini layak dikembangkan menjadi obyek wisata yang menarik dan sebenarnya lebih baik membangun guest house atau hotel dibandingkan tambak udang. Sayang. Sayang sekali Dinas Pariwisata-nya kurang sadar dengan hal itu.
Ah daripada mikirin itu, mending kita tidur-tiduran dulu di rumput, menikmati indahnya Pantai Lariti. Mari…
*tulisan ini adalah salah satu cerita dari rangkaian perjalanan “Pesona Tambora” yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia