Kain sarung, seperti yang kita ketahui lebih banyak digunakan oleh laki-laki. Namun, tak disangkal di beberapa daerah, kain sarung juga sering dipakai perempuan dalam kehidupan sehari-sehari.
Sebut saja daerah asal saya, Sumatera Utara. Kebanyakan Mamak-mamak di sana memakai sarung sebagai penutup kepala yang dibentuk seperti bantal. Mungkin juga di daerah lain ada hal yang serupa.
Di masyarakat Bima (Dou Mbojo), sarung sama-sama dipakai oleh lelaki dan perempuan. Uniknya, sarung yang dipakai oleh wanita dijadikan jilbab. Sarung kan cukup tebal dan berat. Apa nggak panas jika dipakai menjadi jilbab ya?
Sewaktu berkunjung ke Dompu, kami diajak mampir ke Desa Saka, Manggeasi, Dompu yang dikenal sebagai salah satu penghasil kain tenun di Nusa Tenggara Barat.
Di sana kami bertemu dengan Ibu Sri dan teman-temannya yang sedang menenun kain. Ada satu Ibu yang sedang memintal benang (Kafa Nggoli) dan dua Ibu lainnya sedang menenun kain.

Ibu Sri menyambut kami dengan sangat hangat di teras rumahnya, mempersilahkan kami masuk dan menyuguhkan minuman dingin dan penganan kecil khas lokal yang mirip dengan kue pukis.
Dengan penuh antusias, kami mengikuti Ibu Sri yang menunjukkan proses pembuatan Tembe Nggoli (sarung) mulai dari pemintalan benang hingga memperhatikan cara mereka menggerakkan alat tenun.
Benang-benang yang dipakai ternyata dipintal manual dengan peralatan kayu yang sederhana dan disebut Muna oleh orang Mbojo.
Warna Kafa Nggoli yang biasa dipakai untuk menenun adalah warna-warna cerah seperti hijau, oranye, merah muda, biru dll. Walau dominan warna cerah, kombinasi warna Tembe Nggoli tetap adem di mata.
Kain tenun yang terkenal di Bima adalah Tembe Nggoli/Tembe Bali yang memiliki motif kotak-kotak seperti motif sarung pada umumnya. Lalu ada lagi Tembe Sui, kain tenun dengan motif seperti kain songket yang biasanya dipakai di acara-acara formal.
Lalu, motif apa sih yang biasa dipakai di Tembe Nggoli atau Tembe Sui?
“Yang paling sering itu motif Sasambo, itu yang paling khas karena asli dari sini. Sasambo itu gabungan dari Sasak (Lombok), Samawa (Sumbawa) dan Mbojo (Bima)” ujar Bu Sri sambil menunjuk satu kain yang digantung di tali.

Selain itu ada juga beberapa motif yang biasa dibuat seperti Liro/Bunga Matahari. Ada juga motif Nggusu Waru, motif bunga bersudut delapan dan motif-motif lainnya.
Biasanya Tembe Sui yang memakai motif bunga-bunga paling banyak. Berbeda dengan Tembe Nggoli yang sederhana dan biasa berpola kotak-kotak..
Sudah sangat lazim bagi perempuan dan laki-laki Dou Mbojo untuk mengenakan sarung. Untuk lelaki, kain sarung hanya dipakai dan digulung di pinggang seperti biasa. Mereka menyebutnya Katente.
Nah, yang unik ini adalah seni melilit Tembe Nggoli pada perempuan yang disebut Rimpu. Ada dua jenis Rimpu yaitu Rimpu Colo dan Rimpu Mpida.
Rimpu Colo dikenakan oleh wanita yang sudah menikah, dimana wajahnya boleh kelihatan seluruhnya. Sedangkan Rimpu Mpida dipakai oleh gadis alias belum menikah, dimana Tembe Nggoli menutupi sebagian wajah dan hanya menyisakan bagian mata.

“Kalau janda gimana Bu?” tanyaku.
“Sama saja namanya Rimpu Colo karena dia sudah menikah. Tapi kita bisa bedakan dari cara melilitnya. Kalau sudah janda, di bagian depannya dibuat sedikit miring. Dari situ kita tahu kalau dia sudah janda” jawab Bu Sri.
Karena melihat muka kami yang penasaran, Ibu Sri menyuruh salah satu Ibu untuk mencontohkan Rimpu.
Dengan cekatan, si Ibu mengambil satu sarung untuk dililit di bagian bawah badan dan lalu mengambil satu sarung lagi dan melilitkannya ke kepala. Kerennya, mereka bisa melilit Tembe Nggoli-nya dengan rapi tanpa bantuan peniti atau jarum pentul.
Saya jadi ingin mencobanya dan meminta Ibu Sri mengajari saya bagaimana membuat Rimpu.
Dililit sekali, gagal. Dililit kedua kali, gagal. Dililit ketiga kali, gagal lagi.
Kok susah banget. Hahahaha…
“Begini lho, masukin tangan kamu di dalam sini, tahan supaya kainnya gak bergeser lalu tangan satu lagi ambil ujung sarungnya dan lilitkan ke belakang kepala dua kali” ujar Bu Sri sambil memberikan contoh memakai Rimpu.
“Kan saya belum nikah Bu. Mukanya harus ditutupin dong? Gimana cara lilitnya Bu? Lebih rumit ya kayaknya” kataku. Maaf ya Ibu, saya bawel banget anaknya.
“Agak susah memang ya memakaikan ke orang lain soalnya kita biasanya pakai sendiri” ujar Bu Sri sambil melilitkan sarung di kepala saya berkali-kali dan tertawa.
*saya jadi teringat waktu zaman kecil dulu suka main ninja-ninjaan pakai sarung. Hayoo, kalian anak Generasi 90an (dan yang lebih tua) pasti pernah main juga kan?*
Setelah proses lalat-lilit Tembe Nggoli yang ternyata susah, jadilah saya memakai Rimpu Mpida. Walau tidak terlalu rapi, tapi saya puas. Akhirnyaaaa…

Sewaktu kami berkunjung ke Manggeasi itu sudah tengah hari dan matahari sedang terik-teriknya. Herannya, saya tidak merasa kepanasan sama sekali mengenakan Tembe Nggoli. Malah terasa adem dan sejuk di kulit.
“Iya, itulah kekhasan Tembe Nggoli, berbeda dengan sarung-sarung biasa. Kalau panas, itu kainnya bikin adem dan kalau dingin, kainnya bisa untuk menghangatkan badan” jelas Bu Sri.
Wah, canggih juga Tembe Nggoli ini. Tanpa babibu, saya langsung beli satu. Enak banget bisa dibawa ke gunung atau ke pantai ya.
Saya juga diberitahu bahwa ada satu lagi Tembe khas yang diberi nama Tembe Donggo. Tembe Donggo ini berwarna hitam dan biasanya dipakai untuk menyembuhkan demam.
Jika sedang sakit demam, bungkuslah tubuh dengan Tembe Donggo dan dijamin demamnya langsung turun dalam waktu singkat. Sayangnya Ibu Sri tidak membuat Tembe Donggo yang memang katanya sudah susah menemukan orang yang bisa menenun kain itu.
Untuk Tembe Nggoli, harganya berkisar 200 hingga 500 ribu rupiah. Sedangkan untuk Tembe Sui berkisar delapan ratus ribu hingga jutaan rupiah. Harga yang cukup layak untuk sebuah karya tangan dengan proses pembuatan yang lama dan cukup rumit.
Bayangkan proses mulai dari benang, dipintal, membuat pola yang rumit, duduk berhari-hari hanya untuk menyelesaikan satu kain. Apakah kamu masih tega menawar harga?
Kini Rimpu hanya digunakan saat ada upacara saja, sedangkan untuk sehari-harinya, Dou Mbojo menggunakan hijab yang lebih modern. Semoga Rimpu ini terus dilestarikan oleh generasi muda dan menjadi ciri khas yang hanya dimiliki oleh Dou Mbojo.


[gdlr_widget_box background=”#ffeff0″ color=”#22292f” ]
Tulisan ini adalah salah satu cerita dari rangkaian perjalanan “Pesona Tambora” yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia.
[/gdlr_widget_box]
9 thoughts on “Pesona Tambora – Mengenal Rimpu Dou Mbojo”
Wajar sih harganya ratusan ribu, kain tenun buatan tangan emang kualitasnya nomor satu, warna – warninya bikin cakep pula 🙂
baru tau istilah iiswara.. *salahfokus
Iya Mi. Andai punya banyak duit diborong deh itu kainnya. Cantik-cantik sekali <3
Istilah iiswara?
wow ada sedikit diriku di fotomu, sesuat jadinya…. tks kerjasama dan kekompakannya, kalian memang teman perjalanan yang menyenangkan
Tambora memang menakjubkan, sukses terus
Rimpu Mpida, Pakaian Adat Nan Elok Asal Dompu
unik banget ya, jadi penasaran ingin mengenal tentang rimpu dou mbojo..
Hy ani, ani orang daerah mana?
thanks ya udah mengetahui adat daerah kami. tapi sekedar info kalau rimpu itu bukan adat asal dompu tapi adat asal bima (mbojo).. sering2 berkunjung ke NTB ya biar lebih mengenal adat2 kami. terima kasih