“Dik, dik, kapalnya sudah sandar. Makan dulu, yuk”, ajak Pak Iwan, salah satu awak kapal KM Cakalang yang saya tumpangi dari Labuan Bajo menuju Sape, Sumbawa.
Kulirik ia dari balik selendang yang menutupi muka selama tidur sambil mengumpulkan nyawa. Saya lirik jam sudah pukul empat petang. Cukup lama juga saya tertidur. Syukurlah karena kebaikan awak kapal, saya diperbolehkan tidur nyenyak di sofa yang ada di dek paling atas, ruang TV di dek khusus awak kapal, dekat ruang kemudi.
KM Cakalang ini akan membawa saya menuju Waikelo, Sumba. 7 jam dari Labuan Bajo-Sape dilanjutkan 7 jam lagi dari Sape menuju Waikelo. Namun, jadwal itu belum pasti karena tergantung dengan kondisi cuaca. Apalagi melintas samudera Hindia, rentan dengan ombak tinggi yang biasa membuat kapten kapal ciut nyali, terutama kapal ferry.
“Jadi kita lanjut ke Sumba nggak, Pak?” tanya saya pada Pak Iwan.
“Wah, sepertinya nggak berangkat Satya. Syahbandar nggak kasih izin. Berangkat ke Waikelo mungkin 3 hari lagi, besok kapal ini ke Labuan Bajo dulu”, jawabnya sambil menyantap makanan yang ada di piring.
Hah?! 3 hari lagi? Doh, mau ngapain saya tinggal di Sape 3 hari. Pun bertambah sedih karena waktu saya untuk eksplorasi Sumba berkurang. Saya harus bagaimana? Pikiran saya berkecamuk.
Saya ambil tas kecil saya dan pergi ke buritan kapal. Senja sore itu cantik dan sayang jika tidak diabadikan. Saya duduk termenung sembari menikmati pendar-pendar jingga yang mulai memudar. Saya harus apa, harus kemana? Salah satu bagian yang kurang enak ketika berjalan sendirian adalah tidak adanya teman berbagi saat kebingungan.
Saya kembali masuk ke ruang tamu dan masih ada Pak Iwan di sana.
“Pak Iwan, apa tidak ada alternatif kapal lain ke Waikelo?” tanya saya.
“Kamu mau naik kapal barang? Soalnya kalau kapal ferry nggak jalan ke Waikelo, kapal barang pasti jalan”, jawab Pak Iwan.
Kapal barang. Kapal barang. Kapal barang. Kapal barang.
Naik kapal barang?
Ya, lebih baik naik kapal barang daripada tiga hari terdampar di Sape ya, pikir saya.
Kapal barang beda tempat dengan kapal ferry. Pak Iwan berbaik hati mengantarkan saya naik motor ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 10 menit. Hari sudah mulai gelap, Pak Iwan menyapa petugas pelabuhan dan terus melaju ke bibir dermaga.
Saya melihat satu kapal kayu berukuran tidak terlalu besar sedang dijejali barang-barang seperti keranjang tomat, karung-karung bawang dan peti-peti berisikan sayur mayur.
Pak Iwan tampak mengobrol dengan satu orang perempuan paruh baya yang sedang mencatat seluruh barang yang dimasukkan ke dalam kapal. Dari kejauhan saya melihat Pak Iwan menunjuk saya dan si Ibu mengangguk-angguk.
Begitu Pak Iwan kembali, dia memberitahu bahwa saya diizinkan ikut di kapal dan tidak perlu bayar katanya. Waaa, lucky me!
Ada dua mobil pick up dan satu truk colt diesel yang muatannya sedang dipindahkan oleh kuli panggul.
Sambil menunggu, kami menghampiri pedagang pentol keliling yang ada di dermaga. Saking lapernya, saya ganyem lebih dari 2 lusin pentol sepertinya. Hahahaha. Sekaligus menyiapkan amunisi untuk perjalanan menyeberangi samudera.
Kapal sudah siap untuk berangkat. Saya mengoper carrier ke awak kapal. Saya inginnya duduk di bagian atas kapal, namun dilarang karena takutnya sewaktu gelombang tinggi, saya terlempar ke laut. Mak! Seram kali!
Saya pun menuruti kata awak kapal dan turun ke bagian bawah. Saya pilih pojokan yang sekiranya enak buat goleran. Ada satu pasangan suami istri dengan anak perempuan mereka yang masih berumur 2 tahun melempar senyum kepada saya.
Ada pula satu bapak yang duduk di dekat sisi belakang, dekat dengan pelampung bulat keras berwarna oranye. Saya sempat terdiam ketika bapak itu bilang kalau nanti kapal ini pecah di tengah lautan, setidaknya dia bisa langsung meraih pelampung.
Nyali saya seketika ciut. Yang tadinya sudah berhasil untuk menenangkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, langsung keder mendengar pernyataan Bapak tadi.
Saya beringsut masuk ke dalam sleeping bag, mencari posisi nyaman untuk merebahkan diri. Kapal mulai bergerak, lampu-lampu kota terlihat menjauh. Saya berdoa supaya sang kapten bisa membawa kapal ini mendarat dengan selamat di Waikelo. Amin!
Baru 40 menit kapal berjalan, tiba-tiba awak kapal berbicara dengan suara keras dan terdengar bunyi ketingting (kapal kecil) dari kejauhan. Mereka berbicara dengan Bahasa Bima yang saya tidak mengerti.
Tak lama ada dua ketingting yang merapat di sisi kiri dan kanan kapal. Ada belasan orang di masing-masing ketingting dan lalu melompat masuk ke bagian atas dan bawah kapal. Seketika tempat itu jadi penuh sesak.
Ternyata banyak penumpang yang ingin ikut di kapal barang ini karena tidak ada kepastian jadwal keberangkatan ferry.
Saya kembali memejamkan mata dan berusaha untuk tidur meski tidak mengantuk. Saya pasang earphone dan memutar lagu kesukaan saya. Meski kapal sudah mulai goyang-goyang, saya masih merasa aman dan mengikuti ritme goyangan. Itu salah satu tips agar kita tidak mabuk laut. Jangan dilawan guncangannya.
Lau tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara keras awak kapal. Mereka berteriak-teriak dan dalam waktu cepat kapal kami dihantam ombak. Guncangannya luar biasa. Saya langsung duduk, jantung saya berdegup keras. Beberapa kali muka saya kena tampias ombak. Tampaknya kapal kami sedang menghadapi masalah. Tak henti saya mengucap doa dalam hati agar sang kapten bisa mengemudikan kapal ini selamat sampai tujuan.
Apakah waktu itu saya takut?
Iya, takut banget.
Tapi selalu saya percaya bahwa Tuhan baik dan selalu punya rencana terbaik. Pasrah adalah pilihan terbaik.
Sambil terguncang-guncang, saya masih mendengarkan musik sambil melihat ke langit. Ada jutaan bintang dan milky way terlihat dengan sangat jelas oleh mata. Tak sadar ada air menumpuk di pelupuk. Rasa di hati berkecamuk. Betapa kecilnya manusia, betapa kecilnya saya, kamu, kita di dunia.
Ombak sudah mulai sedikit tenang meski masih lumayan goyangannya. Dan saya baru menyadari bahwa tempat (lahan) saya tidur direbut oleh bapak-bapak. Why Pak, whyyyyyy?
Saya terjepit di antara bapak-bapak dan tidak bisa rebahan. Saya lirik dan jam memperkirakan masih sekitar 2 jam lagi tiba di Waikelo. Capek juga kalau posisi duduknya seperti ini terus. Huhuhu.
Yah kalau misalkan di commuter line saya bisa tidur sambil berdiri, seharusnya tidur posisi duduk tak jadi masalah, kata saya untuk menghibur diri sendiri.
Dan saya benar tertidur…
****
Saya terbangun lagi karena suara awak kapal. Di kejauhan sudah tampak lampu-lampu. Ah daratan! Akhirnya…
Langit sudah mulai mengeluarkan rona merah. Ternyata sudah jam 5 pagi. Kapal kami sandar setelah sedikit ombak yang mempersulit kapal mendekat ke dermaga. Saya bersiap untuk turun.
“Waingapu nona, Waingapu?” tawar satu kenek travel di pelabuhan.
Saya tolak dengan senyuman dan mencari sudut agak lapang tempat saya bisa meletakkan carrier. Goyangan kapal masih terasa. Saya duduk menghadap timur dan menenggak air mineral.
Satu malam menegangkan itu sudah terlewati dan kini di hadapan saya adalah sang surya yang hangat menyapa selamat pagi.
Halo, Sumba…