Tidak terbayangkan oleh saya betapa dahsyatnya letusan Krakatau pada 132 tahun silam, tepatnya 27 Agustus 1883.
Dengan 10.000 kali lipat kekuatan bom yang menghancurkan Hiroshima – Nagasaki, Krakatau meluluhlantakkan apapun yang dekat dengannya, melenyapkan pulau, mendatangkan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan lebih dari 35.000 jiwa.
The Guinness Book of Records bahkan mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Lampung, sebagai salah satu daerah terdekat dari Gunung Krakatau jelas terkena dampaknya. Bangunan luluh lantak, korban jiwa berjatuhan.
Namun dari sekian banyaknya gedung yang hancur, klenteng Thay Hin Bio adalah salah satu gedung yang masih berdiri. Meski rusak di bagian sana-sini, klenteng masih berdiri dan akhirnya direnovasi. Klenteng ini menjadi saksi dahsyatnya letusan tahun 1883 silam.
Ternyata nama klenteng ini dahulu bukanlah Thay Hin Bio melainkan Cetiya Avalokitesvara / Cettia Kwan Im Thong, yang berarti tempat persinggahan Dewi Kwan Im. Disebut begitu karena pada awal mula klenteng ini dibangun, seorang bernama Peng Ho membawa patung Dewi Kwan Im dan meletakkannya di dalam klenteng.
Pada tahun 1967, renovasi besar-besaran dilakukan dengan dana yang digalang oleh masyarakat dan umat vihara. Pasca renovasi, nama klenteng ini pun diubah menjadi Thay Bin Hio yang berarti vihara yang besar dan jaya.
Memasuki halaman vihara, kami dikagetkan dengan sarang tawon yang begitu besar dengan ratusan tawon sedang terbang mengerubunginya di gapura depan. Persis di atas kepala kami. Dengan sedikit takut kami memasuki vihara pelan-pelan.
![]() |
Tawonnya banyak sekali… |
Di depan vihara terdapat dua patung singa yang katanya simbol dari kewibawaan. Sama seperti vihara lainnya, dominasi warna klenteng adalah merah. Atapnya dihiasi patung naga dan empat Dewa Catumaharajika.
Di sisi kiri dan kanan bangunan utama, terdapat pagoda kecil yang merupakan “dapur” untuk pembakaran kertas doa.
Begitu mendekati bangunan utama vihara, saya tertarik dengan dua pilar utama yang diukir naga yang melilit tiang. Terdapat pula relief yang katanya bercerita tentang seorang Raja Laut yang congkak.
Sewaktu akan memasuki vihara, saya sedikit ragu-ragu apakah yang non-Buddha boleh masuk. Seorang Bapak Tua yang melihat saya mempersilahkan untuk masuk sambil tersenyum. Vihara Thay Hin Bio terbuka untuk siapa saja, kata beliau.
Langit-langit ruang utama vihara begitu tinggi sehingga memberi kesan ruangan lebih besar dari ukuran sebenarnya. Di tengah ruangan terdapat patung Buddha Sakyamuni dan rupa-rupa persembahan di altarnya. Bau dupa wangi menguar di tiap sudut vihara.
![]() |
Buddha Sakyamuni |
![]() |
Dewi Kwan Im |
Meski masuk beramai-ramai, kami tahu bahwa vihara adalah ruang ibadah. Sudah sepatutnya kita menjaga perilaku dan volume suara agar tetap tenang dan tidak mengganggu yang lain.
Saya tertarik dengan banyaknya patung di bagian kanan dan kiri vihara. Dari info yang saya dapatkan, ada 18 patung arahat, antara lain Pindola Bharavaja, Chota Panthaka, Vanavasa, Khanaka Bharadvaja, Tamra Bhadra, Angida, Nandi Mitra, Kanaka Vatsa, Vakula, Pindola ke II, Rahala, Kalika, Ajita, Naga Sena, Vajra Putra, Gobaka, Panthaka, dan Agida.
Selain 18 patung itu, di altar utama terdapat Patung Dewi Kwan Im (Avalokitesvara), Patung Satya Dharma (Kuan Ti Kong), dan Dewa Bumi (The Tie Kong). Di ruangan sebelah kiri ada altar senopati dan leluhur vihara dan di ruangan sebelah kiri ada patung Ma Cho Po atau Dewi Pelindung Samudera dan Anjing Langit (Tien Kou).
![]() |
Saya juga baru tahu bahwa gedung Vihara Thay Hin Bio ini dibangun dengan arsitektur khas yang membuat tidak ada air yang menggenang di atap dan jika ada api tidak cepat merambat. Mereka menyebutnya dengan filosofi “Sopi-sopi”.
Meski fungsi utama dari Klenteng Thay Hin Bio adalah tempat beribadah bagi umat Buddha, klenteng ini selalu terbuka untuk kunjungan wisatawan. Jam kunjungannya mulai dari 06.30 – 17.00 WIB.
Tidak ada retribusi untuk masuk ke dalam klenteng. Namun bukan berarti karena tidak ada entrance fee, kita boleh berlaku seenaknya ya.
Klenteng Thay Hin Bio ini terletak di Jalan Kakap No 35, Teluk Betung, Bandar Lampung. Lokasinya bersebalahan dengan pusat oleh-oleh terkenal di Lampung. Jadi setelah berkeliling di klenteng, kita bisa membeli buah tangan khas Lampung seperti kripik pisang dengan berbagai bumbu (yang paling tersohor ya).
Jika ingin melihat suasana klenteng yang lebih meriah, datanglah saat perayaan Imlek atau Cap Go Meh, hari dimana klenteng dan sekitarnya akan penuh dengan orang tumpah ruah.
Keragaman alam dan budaya merupakan salah satu Pesona Indonesia. Betapa beruntungnya kita bisa tinggal dan hidup di Negara Bhinneka Tunggal Ika. Keselarasan dan keharmonisan beragama adalah daya tarik Indonesia Raya.
Jadi, kapan mau eksplor nusantara?
Perjalanan ini adalah undangan dari Kementerian Pariwisata Indonesia. Saya dan teman-teman media serta blogger mengeksplor beberapa tempat wisata di Lampung. Silahkan juga cek foto-fotonya di Twitter dan Instagram dengan hashtag #PesonaLampung #PesonaIndonesia #SaptaNusantara
1 thought on “Thay Hin Bio, Klenteng 160 Tahun Saksi Letusan Krakatau”
waktu kecil nyokap pernah janji mau bawa gue ke sini, karena gue penasaran dgn klenteng merah meriah ini.. sampe sekarang gak pernah kejadian, sampe gue udah ke klenteng2 di kota-kota lain bahkan negara lain :)))