Jalanan pagi itu lengang ketika kami keluar dari hotel menuju Timlo Sastro di dekat Pasar Gedhe, Solo. Saya baru dua kali mengunjungi tempat ini dan selalu ingin datang lagi mencicip timlo yang enak dan legendaris itu.
Tidak sulit menemukan warung timlo yang berlokasi di perempatan jalan Pasar Gedhe ini. Kalau tersesat bisa tanya Waze, Google Maps atau lambe mu alias mulut alias nanya orang sekitar :p
Katanya orang lokal lebih mengenal Timlo ini sebagai Timlo Mbalong karena lokasi Pasar Gedhe itu adanya di Kampung Balong.
Wajar kalau timlo ini tidak pernah sepi pengunjung. Dari zaman almarhum Pak Sastro berjualan timlo di tenda kaki lima tahun 1952, pelanggannya sudah banyak. Nah mungkin saja kan orang-orang yang datang ini adalah keturunan pelanggannya dulu? Hehehe.
Tempatnya mudah dicari kok. |
Hampir semua pegawai di warung timlo Sastro ini sudah berumur paruh baya bahkan lebih. Mereka sudah mengabdi cukup lama di sana. Hal ini semakin menambah kesan tua pada warung makan itu.
Yang membuat saya sedikit heran adalah warung timlo ini dipenuhi kalender di dinding. Saya yang penasaran sampai bertanya pada sang koki dan dijawab dengan sederhana.
“Ya itu pemberian banyak orang dan kita gantung saja” ujar Pak Koki (maaf saya lupa menanyakan namanya)
Kalendarnya semacam jadi wallpaper begitu ya. Tertata rapi 🙂 |
Ada kalender, daftar harga timlo, jam dan sebingkai foto Almarhum Pak Sastro dan Istri |
Banyak yang bertanya timlo itu apa sih? Bingung juga saya menjelaskannya. Rasanya seperti soto tapi bukan soto. Timlo ini terdiri dari sosis solo yang nggak ada isinya alias cuma kulitnya aja seperti martabak, dipotong-potong lalu dicampur dengan telur pindang, rempela ati, brutu.
Dengan taburan bawang goreng di atasnya, timlo ini rasanya segar dan gurih. Katanya racikan timlo ini hanya bawang putih, pala, lada, bawang goreng dicampur di kaldu ayam.
Sosis solo (lebih pas disebut martabak), telor pindang dan bawang goreng. |
Kalau makan pasti butuh minum kan? Nah, enaknya di timlo Sastro ini pilihan minumannya beragam mulai dari teh, kopi, es jeruk, es karamel, es coklat, es kuas dan es beras kencur. Pilihan lidah saya adalah es kuas.
Penasaran juga es kuas ini apaan dan ternyata itu adalah es jeruk nipis. Jadi es kuas ini dari “Ice Squash / Lemon Squash” saudara-saudara. Hahahaha. Tapi enak kok, seger. Pas menjadi pendamping timlo yang saya racik pedaaaasss….
Pojok minuman 🙂 |
Iyoiii. Kalau penggemar pedas pasti senang deh makan timlo dengan sambal petis nya. Saya juga agak heran karena masakan berbumbu petis itu biasanya kita temukan di Jawa Timur, tetapi ada juga di Solo.
Yang saya kangen juga saat makan timlo di Timlo Sastro adalah orkes keroncong. Sayangnya terakhir saya datang untuk sarapan pagi, orkes nya belum ada. Katanya orkesnya akan tampil saat jam makan siang. Pembeli shift pagi pun kecewa. Hiks.
Perut kenyang hati senang. Eits, jangan lupa bayar. Lucunya kalau kita membayar makanan kita, semuanya dihitung di atas papan hitam kecil dan ditulis dengan kapur. Unik betul ya.
Ini dia “papan kalkulator” khas Timlo Sastro |
Timlo Sastro ini setiap harinya buka dari jam 06.30 sampai 15.30 WIB. Jam operasional itu ditentukan oleh Almarhum Pak Sastro sendiri tanpa keluarganya tahu alasannya.
Sekarang timlo Sastro diurus oleh keempat anak Pak Sastro. Mereka juga sudah membuka cabang di daerah Penumping, Jalan Wahidin, Solo.
Selamat menikmati ya 🙂
Geng icip-icip Solo. Ki – ka : Mbak Vita, Endah, Pak Johan, Tober dan Opik. Minus saya karena saya yang motret 😀 |