Hari sudah sore ketika kami memarkirkan kendaraan di depan gereja. Sekumpulan anak-anak sedang bernyanyi bersama guru sekolah minggu mereka. Mereka antusias sekali melihat kakak-kakak yang datang membawa kamera. Dinyanyikanlah satu lagu untuk kami.
“Di sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang
Di sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang
Lalala la la la la, lalala la la la la, lalala la la la, la la la la…”
Menggemaskan sekali.
Tujuan kami adalah Kampung Adat Wolotopo yang terletak 12 kilometer ke arah timur Ende. Perjalanan selama kurang lebih 30 menit terasa singkat karena kami asyik menikmati pemandangan. Abang driver kami juga berbaik hati memberhentikan mobilnya untuk mengajak kami naik ke satu bukit mengambil beberapa gambar. Duh, memang amik pemandangan dari atas bukit itu. Kita bisa melihat Gunung Meja dan Gunung Ia di kejauhan serta hamparan garis pantai berpasir kecokelatan.



Sebelum tiba di Kampung Adat Wolotopo, kami melintasi kampung dengan rumah-rumah semi permanen. Saya sempat terkesima dengan keberadaan pohon beringin yang ada di sebelah kiri jalan. Besar sekali.
Kampung adat di Nusa Tenggara Timur memang memiliki kekhasan. Setiap akan membangun kampung, mereka juga menanam satu atau beberapa pohon beringin yang dianggap sebagai “penjaga kampung”.

Senang sekali melihat keramahan seluruh penduduk kampung. Sudah lewat pukul empat sore waktu itu sehingga banyak perempuan sudah wangi berdempul, duduk bersantai di depan rumah. Anak-anak berlari-larian, bermain seperti tak kenal waktu. Ada yang sudah mandi, namun ada juga yang belum. Tapi begitu melihat kamera diarahkan kepada mereka, senyumnya terkembang, semanis kembang gula.



Dari kejauhan sudah terlihat bahwa di atas tebing yang terbuat dari batu yang disusun rapi, terdapat dua rumah kayu besar.

“Nah, itu namanya Sa’o Ria. Kita mau masuk kesana” ujar pemandu kami, Bang Vincent
Dulunya ada empat Sao Ria (rumah besar) di Kampung Wolotopo ini, yakni Sa’o Tarobo, Sa’o Ata Laki, Sa’o Sue dan Sa’o Taringgi. Namun yang tertinggal kini hanya Sa’o Ata Laki dan Sa’o Sue.
Untuk masuk ke kampung adat, kita akan menaiki beberapa anak tangga kemudian berbelok ke kanan. Di rumah yang pertama kali kami lihat, ada tiga Mama yang sedang duduk bersantai. Kami beri salam namun hanya ditanggapi dengan tatapan bingung.


Saya meminta izin untuk mengambil foto di depan pintu rumah tersebut namun dilarang karena rumah itu baru direnovasi dan belum diadakan upacara adat (seperti acara pemberkatan rumah) jadi orang asing tidak boleh masuk sekalipun hanya duduk di teras.
Tidak lengkap rasanya datang ke Kampung Adat namun tidak mendapat cerita tentang sejarah kampung tersebut. Sambil menunggu Bapak Yakobus, salah satu tetua adat di Wolotopo, datang, kami berkeliling kampung dulu.
Saya tertarik dengan satu bangunan kayu kecil beratap rumbia yang ada di atas batu. Kami menaiki tangga dan melihat dari dekat dan seksama bangunan apakah itu. Pemandu kami memberitahu bahwa itu namanya “Kedha Kanga”, bangunan yang digunakan untuk menyimpang tulang-belulang leluhur di Wolotopo.

“Kamu lihat batu-batu yang bertumpuk di sana? Itu namanya “Tubu Musu”, perlambang lelaki. Karena itu batunya ditancapkan” jelas pemandu kami.

Di tengah kampung juga terdapat makam leluhur yang dibuat dari batu yang bersusun dan mereka sebut “Bhaku”.

Senja menggelayut dan langit semakin gelap. Satu per satu rumah menyalakan lampu. Kami diberitahu bahwa Pak Yakobus sudah datang dan sudah siap menyambut kami.
Sebelum masuk ke rumah, saya sempat bercakap dengan Mama Theresia Soi, salah satu penghuni rumah. Kami bertanya tentang ukiran yang ada di depan dinding rumah. Apa filosofi dari ukiran-ukiran tersebut.


Mama Theresia bercerita bahwa bagi masyarakat Wolotopo, rumah adalah perlambang Ibu. Oleh karena itu terdapat ukiran buah dada kecil dan gong di bagian kiri, perlambang wanita muda yang belum menikah. Di sebelah kanan terdapat ukiran buah dada besar dan tempat sirih, perlambang wanita yang sudah menikah.


“Tadi tidak tersandung kan sewaktu masuk ke rumah?” tanya Pak Yakobus.
“Tidak Pa. Kenapakah?” tanyaku lagi.
“Ya kalau ada yang tersandung sewaktu masuk ke rumah ini, berarti harus tinggal dan dibuatkan upacara adat agar tetap selamat” ujar Pak Yakobus
Kami langsung saling bertatapan, memastikan tidak ada yang tersandung saat memasuki rumah tadi. Merasa yakin tidak ada yang tersandung, Pak Yakobus mengajak kami melihat isi dalam rumah.

Di dalam rumah ini, tinggal enam keluarga. Masing-masing memiliki satu bilik dan satu dapur. Jadi ada enam tungku di dalam rumah.
“Kalau pemuda-pemuda tidurnya di luar, setiap hari” ujar Pak Yakobus lagi
“Beneran Pak? Nggak kedinginan mereka tidur di teras terus?” tanyaku
“Sudah biasa. Dari dulu juga begitu” jawab Pak Yakobus singkat
Ya ampun, apa rasanya ya tidur di teras terus ya? Dan katanya nanti para pemuda ini akan tidur di dalam kamar di rumahnya sendiri setelah menikah. Kalau masih lajang ya tidur di teras. Kesian…
Hal yang paling unik di rumah ini adalah satu gantungan kayu di tengah rumah yang bentuknya seperti jantung. Memang benar adanya jika kayu itu adalah jantung rumah, jantung seluruh penghuninya.

“Jadi jika ada anak dari rumah ini yang mau merantau ke luar kampung, dia akan membawa sedikit irisan dari kayu ini untuk pelindungnya. Agar dia juga ingat pulang ke rumah” ujar Pak Yakobus
Saya sebagai anak rantau langsung terharu. Langsung kangen rumah.
Di dalam rumah juga terdapat gong dan beberapa benda yang digunakan untuk “memberi makan” para leluhur. Jika tidak sedang ada upacara adat, perkakas itu disimpan di bagian atas rumah.


Saat melihat-lihat rumah, kami sangat berhati-hati saat melangkah. Lantainya terbuat dari anyaman bambu dan sudah reot di beberapa bagian. Jadi kalau berjalan bunyi “krek…krek..krek…”. Was-was juga kalau tiba-tiba kakimu terperosok. Syukurlah aman-aman aja. Ya wong jalannya pelan-pelan banget.
Kami tidak bisa berlama-lama di dalam rumah karena ada acara yang harus kami hadiri. Setelah berterima kasih kepada Pak Yakobus, Mama Theresia dan seluruh masyarakat yang ikut menemani kami selama berkeliling kampung, kami kembali menuju mobil dan melanjutkan perjalanan ke kota Ende.

Tadinya kami mengiri datang kesorean membuat kami ketinggalan banyak momen yang bisa diabadikan. Eh ternyata dengan datang sore, kami mendapat suguhan pemandangan sore yang menakjubkan dari atas bukit batu. Teduh rasanya melihat semburat senja menghiasi langit dengan Gunung Meja dan Gunung Ia sebagai pemanisnya.
Sampai jumpa lagi, Kampung Megalitik yang menarik. Kampung Wolotopo.
Perjalanan ini adalah undangan dari Kementerian Pariwisata Indonesia. Saya dan teman-teman media serta blogger akan mengeksplor beberapa tempat wisata di Ende. Silahkan juga cek foto-fotonya di Twitter dan Instagram dengan hashtag #PesonaEnde
5 thoughts on “Wolotopo, Kampung Megalitikum di Atas Batu”
Misterius selalu ya rumah adat itu…duh aku naksir banget kain2 ikat yang dipakai oma2 itu di foto 🙂
Rumah-rumahnya punya arti tersendiri tapi yang membuat saya kasian itu pemuda desanya.
Harus tidur di luar teras sampai dia mampu menikah.
Memang beda yah perempuan yang sudah menikah dan yang belum, bru tau kalau ada menggantung dan ada yang kencang. *dilemparin jantung rumah*
Karena misterius jadi seru ngulik-ngulik cerita-ceritanya Kak. Iyaaaa, kain mereka itu satunya bisa jutaan. Kepengen jugaaaa~
Iya aku pun kasihan, Bar. Hahahahaha. Tapi karena sudah terbiasa ya nggak jadi masalah buat mereka. Huahahaha komentarmuuuuu. :p
Wah baru tahu kalau rumah adalah perlambang ibu, ada ukiran yang kiri dan kanan,,, hehehe, Kasihan juga yaw pemuda yang belum menikah, harus tidur di luar rumah