Berkenalan lebih dekat dengan masyarakat lokal Kuta, Lombok. #TripLombok 4

Menganyam Atap Alang-alang

Di tengah perjalanan menuju Mawun, kami berhenti sebentar ketika melihat ada seorang bapak dan satu abang-abang yang sedang asyik duduk menganyam atap rumput alang-alang.

Kami mengucapkan salam dan mereka memberikan senyum yang sangat ramah. Kami berjongkok di dekat Pak Ali dan Bang Salim untuk melihat tangan mereka yang sangat cekatan merapikan dan mengikat rumput alang-alang itu.

Dalam satu hari mereka bisa mengerjakan 20 – 30 ruas atap. Satu ruas nya dijual seharga Rp 15.000,-. Memang di sepanjang berangkat dari Kuta ke Selong Belanak, kami melihat banyak atap alang-alang yang ditumpuk di kanan-kiri jalan.

Ternyata, desa yang bernama Mekarsari ini memang menjadi salah satu penghasil atap rumput alang-alang terbesar di Lombok. Hasilnya tidak hanya dijual di daerah Lombok tetapi ke Bali, Jawa sampai Sulawesi. Woooow.

Rumput Alang-alang

Kami bertemu dengan satu keluarga yang punya banyak rumput alang-alang di depan rumahnya.

Lalu satu yang menarik perhatianku adalah topinya Pak Ali. Hampir semua laki-laki memakai topi itu.

Saya bertanya apa makna dari topi itu tapi hanya dijawab sederhana oleh Pak Ali “Ya supaya nggak panas aja kalau bekerja di ladang”. Jawaban yang singkat, padat, jelas.

Beberapa kali kami menjumpai bapak-bapak naik motor memakai topi anyaman yang sama. Saya heran sekali kok bisa naik motor, topi nya nggak lepas yah? Misteri……

Pak Ali dan Topi Mala

Pak Ali dan Topi Mala yang beliau berikan kepada saya

Menjalin Alang-alang

Bang Salim yang sedang menjalin alang-alang dengan ijuk hitam

Rumput Alang-alang yang diikat

Rumput Alang-Alang yang sudah diikat menjadi atap.

Karena saya suka mengoleksi topi, saya tanyakan dimana saya bisa mendapatkan topi seperti punya para lelaki Lombok. Pak Ali menjawab saya tidak bisa membeli dimana-mana karena memang hanya dibuat untuk masing-masing pribadi. 

“Kalau Satya mau, bisa Bapak buatkan, tapi tunggu 2-3 hari” ujar Pak Ali.

“Yah Pak, saya lusa sudah pulang. Gak bisa dong yah?” jawabku dengan muka memelas.

“Ya gimana ya, memang butuh waktu untuk menganyam topinya. Jadi bagaimana” tanya Pak ali.

“Hmmm, gimana kalau topi Pak Ali saya beli saja?” tembak saya.

“Kamu mau pakai topi bekas saya? Ya sudah ini kamu ambil” kata Pak Ali sambil memberikan topinya

“Mau Pak. Tapi saya beli saja ya Pak. Masak dikasih gratis. Bapak juga harus menganyam yang baru”, kataku.

Si Pak Ali tadinya tidak mau, tetapi setelah saya desak akhirnya beliau memberikan harga Rp 25.000,-.

Ah, murah sekali. Saya sampai enggak percaya si Bapak Ali mau menjual topinya. Setelah diperhatikan, detail topi “Mala” ini cantik sekali. Dianyam dari atas ke bawah. Cinta banget pokoknya

Setelah mengucapkan banyak-banyak terima kasih, saya pamit kepada Pak Ali dan Bang Salim. Muka saya cengar-cengir bahagia dan bernyanyi-nyanyi lagi sepanjang jalan. 

Beberapa kilometer berikutnya kami berhenti lagi karena melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang sibuk mengikat daun tembakau. Ada dua anak kecil yang sibuk bermain sambil menunggui ibu mereka.

Kami mengucapkan salam dan menyapa ibu-ibu itu. Mereka masih cantik-cantik walau kulitnya legam terbakar matahari.

Mereka memakai kaos, sarung dan sarung tangan yang sudah sangat lusuh. Ketika saya memulai percakapan, mereka terlihat menanggapi malu-malu, tersenyum tapi tertunduk.

Ibu-ibu Petani Tembakau

Ibu-ibu petani tembakau yang cantik

Oh, ternyata itu ulahnya si Ju yang lagi asyik mengambil gambar ketika mereka bekerja. “Ijin foto ya Bu” kata Ju. Mereka mengangguk dan tetap malu-malu.

Tangan mereka dengan cekatan mengumpulkan daun-daun tembakau dan mengikatnya tanpa ditimbang.

Ibu Lisa berkata kalau mereka sudah terbiasa mengira-ngira berat satu ikat tembakau. Biasanya 10 – 15 kilogram satu ikatnya dan dijual dengan harga Rp 300.000 – 350.000 per ikat.

Wah mahal juga ya. Ibu Lisa lalu lanjut menerangkan bahwa daun tembakau yang sudah diikat tersebut akan dijual ke seseorang yang mereka sebut “Bos” di daerah Lombok Timur.

Nah, si Bos ini yang nantinya menjual tembakau ini ke pabrik besar yang pastinya sudah menaikkan harga.

Dua anak kecil tadi adalah Lisa dan Jerry. Karena masih sangat kecil mereka belum pergi ke sekolah dan akhirnya ikut ke ladang bersama Ibunya setiap hari.

Meski begitu, mereka terlihat senang ikut mengumpulkan daun tembakau walau sebentar-sebentar mereka kabur main kejar-kejaran. Gemes.

Kami tidak berbincang terlalu lama karena para Ibu-ibu sudah mau pulang ke rumah masing-masing. Aku ajak foto bersama dulu biar ingat dan bisa ngobrol-ngobrol kalau berkunjung kesana lagi. Sampai jumpa adik-adik lucu, Lisa dan Jerry.

Foto bersama Mama Lisa Jerry

Saya, Lisa, Mama Lisa dan Jerry. Senang bertemu kalian 🙂

Karena tak ada pertanda langit akan berubah menjadi cerah dan dapat langit senja yang indah, saya dan Ju memutuskan untuk pulang saja dan beristirahat.

Tetapi di tengah jalan, rencana berubah. Kami melihat ada bukit yang bisa memandang pantai Kuta dari atas. Ada jalan setapak kecil yang penuh semak-semak. Jalurnya tidak terlalu jelas tetapi pastinya pernah ada orang yang ke sini. 

Benar saja. Setelah kami melewati semak-semak yang rimbun itu, kami mendapati lapangan rumput kecil yang bisa dijadikan tempat santai memandangi Pantai Kuta di kejauhan.

“Kita istirahat di sini dulu ya. Kalau nggak dapat sunset, ya minimal dapat blue hour deh” kata Ju.

Saya mengangguk dan mencari spot yang enak untuk duduk, mengeluarkan snack dan minuman dari dalam tas. Ju menggelar matras dan duduk berselonjor sambil mengeluarkan kamera dan mulai membidik apa yang menarik matanya.

Aku pasang headset dan mulai memutar lagu-lagu kesukaan. Walau langit tidak biru, walau di depan mataku adalah pemandangan Pantai Kuta terhalang asap-asap bekas pembakaran ladang warga, hatiku bahagia. Lalu galau *ngok*

Bukit Tak Bernama

Bukit Tak Bernama. Spot asyik untuk memandangi Kuta

Ketika saya mendengar ada bunyi-bunyi aneh selain alunan musik di telinga, saya berbalik dan mendapati Ju sudah terkapar di atas matras dan dia NGOROK. Hahahahaa.

Aduh, capek banget ya perjalanan dari Bali sampai ke sini. Saya membiarkan dia tidur dan sampai setengah 7, tidak ada tanda-tanda kami akan mendapatkan langit Blue Hour yang cantik sehingga memutuskan untuk bangunin Ju dan ajak pulang.

Kami meluncur di jalan yang tidak ada lampu jalannya dan menuju Warung Makan untuk mengisi perut. Dari rekomendasi teman, kami pergi ke Warung Jawa. Yeah, Jawa memang buka warung dimana-mana! 

Warung ini ada dua, Jawa 1 dan Jawa 2. Lucunya, Jawa 1 dikelola oleh Mas dan Mbak yang lebih senior (usia sekitar 30-40an) sedangkan Jawa 2 dikelola oleh Mas dan Mbak yang lebih muda (usia sekitar 20an).

Kami enggak mengerti kenapa jadi seperti itu dan yang terlihat ramai oleh pengunjung adalah Warung Jawa 2. Ya mungkin karena Mbak-mbaknya masih pada muda dan cantik dengan wajah tipikal favorit para bule. Hehehehe. 

Saya memesan satu porsi Capcay Seafood dan Ju memesan Nasi Campur.

Ketika pesanan tiba, saya bingung kenapa Capcay saya warnanya hitam gosong. Ternyata itu khasnya makanan Jawa Timur, gelap karena pakai kecap.

Lalu ketika kuaduk-aduk enggak ada seafoodnya tapi ayam suwir. Hiks. Kecewa benar. Tapi pas di icip, rasanya cukup enak dan perut yang lapar selalu mengalahkan lidah saya yang penawar.

Cap Cay Khas Jawa Timur

Cap cay khas Jawa Timur. Warnanya pekat karena kecap. Harganya Rp 15.000

Nasi Campur Khas Warung Jawa 2

Nasi Campur di Warung Jawa 2. Harganya Rp 21.000

Setelah selesai makan dan ngaso-ngaso, kami didatangi dua gadis kecil hitam manis yang membawa dua papan berisi gelang-gelang kecil. Ada gelang yang bertuliskan “Lombok Surf“, “Lombok Indonesia” dll.

Tetapi ada beberapa gelang yang menarik perhatianku yaitu gelang yang dironce dari kerang-kerang kecil. Mereka bilang gelang itu adalah hasil prakarya mereka sendiri.

Harga awal adalah Rp 5.000 / buah tetapi kutawar hingga akhirnya dapat empat gelang seharga Rp 10.000 (enggak kejam banget kan nawarnya?)

Saya salut sih anak-anak sekecil itu sudah mau cari uang sendiri dengan berjualan gelang.

Mereka ramah menawarkan dagangannya dan beberapa sudah bisa berdialog dalam bahasa Inggris, walau masih seadanya untuk menawarkan dagangan ke wisatawan asing.

Tapi, ada juga beberapa yang mengesalkan. Ditolak berkali-kali tetap ngotot duduk di dekat kita sampai kita mau-nggak-mau membeli dagangannya.

Kalau saya sih biarin aja, nanti juga pergi sendiri. Masalahnya kan saya sudah beli tadi dari anak yang sebelumnya. Masa setiap anak yang datang harus saya beli dagangannya?

Gadis-gadis cilik penjual gelang kerang

Gadis-gadis cilik penjual gelang kerang

Perut kenyang, hati senang plus dapat gelang.

Dari Warung Jawa, kami langsung kembali ke penginapan, bebersih dan segera merebahkan diri di kasur.

Haaaaaaahhh. Enak banget rasanya hari ini. Kami harus segera tidur karena besok masih banyak tempat-tempat cantik yang harus didatangi. Yippie.

—-

Terima kasih untuk semua orang-orang baik yang saya temui di Kuta, Lombok. Sampai jumpa lagi 🙂

Baca cerita #TripLombok 5 ya : Pantai Mawun. Pantai Anti Manyun. 

Happy Traveling!

Enjoy Indonesia!

About the author

An adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on.

Related Posts