Jalan Panjang Menuju Ora Beach Maluku

Ora Beach

Setelah hari pertama dari perjalanan ini dihabiskan untuk city tour, tibalah hari dimana kami akan berangkat menuju Pulau Seram kemudian Saleman dan menyeberang ke Ora Beach.

Jam 8 pagi, kami sudah tiba di pelabuhan Tulehu, Ambon untuk naik kapal cepat ke Masohi. Banyak orang lalu-lalang memasukkan barang ke Cantika Express 88. Kapal ini hanya ada dua kali sehari yaitu jam 9 pagi dan 1 siang. Dari Bandara, butuh berkendara 1 jam menuju Pelabuhan Tulehu.

Teman-teman satya
Ada Chalid (kiri) dan Nowen (kanan) dari Unpatti lagi yang anter kami ke Pelabuhan Tulehu 🙂

Karena kursi ekonomi masih tersedia, kami memilih untuk naik ekonomi dengan harga tiket Rp 110.000,- per orang. Cukup jauh bedanya dengan kelas VIP yang harganya Rp 250.000,- per orang, dua kali lipatnya.

Hujan yang masih mengguyur kota Ambon dan ternyata mengguyur hampir sebagian besar wilayah Maluku, membuat perjalanan dua jam dari Ambon – Masohi diguncang-guncang. Banyak penumpang berteriak-teriak heboh takut kapal miring terlalu ekstrim. Saya yang sudah minum obat anti mabuk, tertidur sejak kapal berangkat dan hanya membuka mata sedikit ketika penumpang lain berteriak dan tertidur lagi dan tahu-tahu sudah sampai.

Tempat duduk
Kapal ekonominya cukup nyaman dan nggak ada kutunya. Hahaha 😀

Begitu sampai di pelabuhan Amahai di kota Masohi, hujan masih mengguyur sehingga membuat kami harus lari-lari keluar pelabuhan dan mencari angkot ke Terminal Binaya Masohi. Angkot berwarna merah ini menarik ongkos Rp 15.000,- per orang. Di Angkot inilah, saya dan Mama Ami dipertemukan. Mama Ami adalah penduduk asli Saleman yang baru datang dari Makassar dan mau pulang ke rumahnya. Berawal dari menyapa, saya lalu diajak Mama Ami untuk menginap saja di rumahnya sebelum berangkat ke Ora. Tawaran tersebut tentu saya terima dengan senang hati. Beruntung sekali kami.

Angkot ora beach
Angkot dari Pelabuhan Masohi ke Terminal Binaiya Masohi

Mobil dari Masohi – Saleman hanya ada satu kali sehari kecuali hari-hari menjelang lebaran. Tarif per orang adalah Rp 75.000,-. Jika ingin carter, kita bisa membayar seharga Rp 600.000,- sekali jalan. Mobil ke Saleman biasanya berangkat selepas makan siang, sekitar jam 1. Tetapi waktu itu kami baru berangkat pukul setengah empat sore dikarenakan Abang Supir nya harus belanja logistik pesanan penduduk Saleman.

Awalnya saya mengira jalan menuju Saleman akan rusak. Tetapi nyatanya tidak. Walau berkelok-kelok, jalannya beraspal mulus. Kami menikmati pemandangan hutan yang berkabut tebal. Tak perlu menghidupkan Air Conditioner karena cukup membuka kaca mobil, kita sudah dibelai dengan udara dingin sejuk.

Mobil jalan ora
Dalam perjalanan Masohi – Saleman, jalannya sebenarnya mulus, hanya ada sedikit perbaikan jalan.

Perjalanan Masohi – Saleman memakan waktu kurang lebih 2 jam. Sudah hampir maghrib ketika kami tiba di Saleman. Uniknya, setiap sore, ada ribuan burung Lusiala yang terbang ke Utara. Burung ini dikenal sebagai burung sakral / magis yang sangat dihormati oleh penduduk Saleman. Akan kuceritakan

Kami melepas lelah di rumah Mama Ami dan bertemu dengan Nenek Haji yang ternyata salah satu tetua adat di negeri (desa) Saleman. Desa ini dialiri listrik via genset. Hanya beberapa rumah yang memiliki genset dan biasanya menyala dari jam 6 sore hingga 10 malam. Selepas makan malam, kami pamit untuk isthirahat agar besok berangkat ke Ora dengan badan fit.

Bersantai di Ora Beach

Pagi yang malas untuk bangun dari tempat tidur. Awan mendung menggelayut di langit. Jam 8 kami menandaskan sepiring mie instan dan menuju pantai. Tete (kakek) Ali sudah menunggu kami di depan rumah, membantu membawakan tas kami ke atas katingting, kapal kecil yang punya kayu penyeimbang di sisi kiri dan kanan.

Satya naik perahu
Pagi yang berkabut ketika kami berangkat naik katingting dari Saleman menuju Ora Beach

Suara mesin kapal menderu di telinga. Pagi yang sunyi itu dipecah dengan suara katingting kami. Sepertinya penduduk yang lain pun memilih berdiam di rumah karena hujan masih mengguyur.

Di kejauhan, bilik-bilik Ora Beach Resort sudah terlihat namun tidak hanya itu yang menjadi highlight perjalanan ini. Begitu kami melihat ke bagian kanan Resort, hamparan bukit-bukit kapur yang dipeluk kabut. Hatu Saka adalah nama gunung tinggi yang masih dianggap mistis oleh penduduk Saleman dan Sawai, negeri yang ada di kaki Hatu Saka.

Kopi ora beach
Menyesap kopi di pagi dingin yang berkabut sambil memandang Hatu Saka di kejauhan.

Hujan gerimis berlangsung tak berapa lama dan langit kelabu menggeliat menjadi biru. Kami disinari cahaya matahari yang berlimpah. Suasana liburan di pantai sudah terasa. Air muka saya yang tadinya semendung langit berubah cerah begitu langit merekah. Wah, perjalanan saya ini diberkati Tuhan. Dia mendengarkan permintaan saya yang meminta cuaca baik selama ada di Ora.

Mama Eni, pengurus Ora Beach Resort menyambut saya dengan ramah dan mengatakan kamar saya sudah siap. Satu hari sebelumnya, kami bertemu di negeri Saleman ketika saya diberi tumpangan oleh Mama Ami yang merupakan kakak kandung Mama Ami.

Ora beach villa
Terumbu karangnya dari dermaga aja sudah secantik ini. Eyegasm!

Kami langsung diantarkan ke kamar 506, tempat kami akan menginap. Dari dermaga, kami berjalan menyusuri jembatan papan kayu yang dibangun di atas laut. Saya tak berhenti berdecak kagum karena terumbu karang yang ada di sekitar dermaga dan kamar saja sudah bagus dan menawan hati, apalagi di spot snorkeling yang lain. Mimpi apa ya saya dapat perjalanan gratis ke tempat secantik ini?

Ora Beach Resort ini terdiri dari 3 jenis kamar yaitu kamar di atas laut, kamar di rumah panggung tepi pantai dan kamar biasa seperti rumah petak. Untuk kamar di atas laut harganya Rp 700.000 per malam, kamar panggung Rp 600.000 per malam dan kamar darat Rp 400.000 per malam. Untuk mendapatkan sensasi maksimal menginap di Ora Beach Resort, kami tentunya memilih kamar di atas laut.

Villa ora beach resort
Breathtaking Scenery with cozy cottages. A perfect place for body and mind relaxing.

Begitu Mama Eni membukakan pintu kamar, saya langsung senang karena kamarnya luas, tempat tidurnya King Size dengan sprei yang bersih dan wangi. Balkonnya dilengkapi kursi santai dan pintu antara kamar dan balkon bisa dibuka lebar sehingga tidak berasa ada pembatasnya. Kamar mandinya dilengkapi toilet duduk, wastafel dan shower. Interior kamarnya memang sederhana, hanya berwarna putih tanpa ada lukisan atau apapun tergantung di dinding. Hanya ada beberapa cangkang kerang besar yang ditaruh di sisi-sisi jendela yang menjadi dekor pemanis kamar.

Saya lalu asyik berjalan-jalan mengelilingi resort, melihat terumbu karang cantik yang ada di bawah kamar kami. Kerennya, Ora Beach Resort membuat sistem pembuangan kotoran yang baik. Seluruh limbah kamar mandi tamu tidak akan dibuang langsung ke laut. Dibandingkan dengan beberapa penginapan yang dibangun di atas laut yang pernah saya datangi, penginapan Ora Beach Resort ini adalah yang terbaik untuk fasilitas, maintenance dan tentunya sebanding dengan harga.

Perahu ora beach
Pemandangan dari depan kamarku. Speechless. Nggak sabar loncat dari depan kamar!!!

Ketika jam sudah menunjukkan hampir jam 12, kami pergi ke restoran dan sudah tersedia cah kangkung, ikan sambal pedas manis dan sepiring kecil papaya. Untuk seorang pejalan yang hemat dan hitung-hitungan seperti saya, hidangan seperti itu 3 kali sehari dihargai Rp 250.000 membuat jidat saya mengernyit. Dengan uang sebanyak itu saya sudah bisa makan All You Can Eat di restoran kece di Jakarta. Tapi hey jangan samakan Ora dengan Jakarta lah ya. Dari harga bahan pokok makanan kan juga lebih mahal di Indonesia bagian Timur. Syukurlah perjalanan ini dibayarin sama Telkomsel Flash jadi saya tandaskan saja makanan di atas meja tadi tanpa ngedumel. Hihihihi.

Makanan ora beach resort
Makanan yang sangat sederhana tapi yah disyukuri saja 😉

Perut kenyang, hati senang dan saya tidak sabar mau berenang. Tete Ali sudah menunggu dan siap mengantarkan kami ke spot-spot snorkeling di sekitar Ora Beach Resort. Salah seorang pegawai di Ora Beach Resort merangkap sebagai local guide juga turut serta. Namanya Willy, usianya belum genap 20 tahun dan hanya lulusan SMP. Mimpinya ingin merantau ke Sumatera Barat karena almarhum ayahnya adalah orang Minang asli.

Kami berangkat dengan katingting, menyusuri tebing-tebing batu tinggi menjulang. Coba saja kalau saya ini pemanjat tebing yah, pasti nafsu banget melihat jalur-jalur panjat yang “panas” menggoda.

Ada tiga tebing yang juga menjadi spot snorkeling favorit wisatawan yaitu Hatu Gurita, Hatu Supun dan Hatu Pia. Tiap-tiap tebing ini punya cerita sendiri. Hatu Gurita dipercayai masyarakat lokal sebagai tempat gurita raksasa berdiam dan hanya bisa dilihat oleh orang yang punya kemampuan lebih. Hatu Supun sendiri tidak diketahui asal penamaanya namun masyarakat lokal juga mempercayai bahwa tebing Hatu Supun memiliki pengaruh magis. Dulunya di dekat Hatu Supun pernah berdiri satu masjid yang masih suka terdengar suara adzannya. Kalau ada yang mendengar suara adzan tersebut, menjadi pertanda bahwa akan mendapat rejeki baik. Tapi saya nggak dengar suara adzan sih kemarin. Jadi rejekiku gimana nasibnya?

Hatu gurita
Hatu Gurita

Berbeda dengan Hatu Pia. Hatu sendiri berarti Batu dan Pia berarti sagu. Dari cerita lokal yang saya dapatkan dari masyarakat, dulu di tebing itu hidup burung Simang-Simang yang makan pelepah sagu dan mengeluarkan sagu yang lalu ditampung masyarakat di Tumang, penampung sagu yang terbuat dari daun sagu. Namun, suatu hari burung Simang-Simang itu dipanah mati oleh salah satu penduduk yang tidak sabar karena Tumang nya tidak kunjung penuh. Setelah burung Simang-Simang itu tidak ada lagi di sana tetapi masyarakat tetap menamainya Hatu Pia.

Cerita-cerita tentang tiga hatu itu membuat saya sangat tertarik dan membayangkan bahwa dulu burung Simang-Simang itu menghasilkan sagu. Saya percaya dengan cerita rakyat itu karena terbukti memang ada hewan yang bisa melakukannya. Contohnya saja Luwak yang memakan biji kopi dan mengeluarkan kopi berkualitas tinggi setelah melewati proses fermentasi alami di dalam perutnya. Jadi, burung Simang-Simang itu dulu pasti ada.

Saya yang memang sudah tidak sabar ingin menceburkan diri karena panas berlama-lama di atas katingting, langsung meloncat dan meluapkan rasa gembira saya dengan berenang kesana kemari. Saking tidak sabarnya, saya sampai lupa memasang snorkel di masker saya dan baru tersadar setelah saya gak bisa bernafas di dalam air. Oh iya, snorkelnya belum dipasang. Hahaha.

Airnya yang jernih membuat kita bisa melihat dengan jelas terumbu karang dan ikan-ikan dari atas katingting. Visibility nya jika cuaca sedang cerah bisa mencapai 30 meter loh. Benar-benar bening. Lokasi Ora Beach yang ada di Teluk juga membuat perairannya tenang, tidak ada ombak dan arus bawah laut nya tidak terlalu kuat.

Satya relax ora beach
Relax…

Disarankan sih membawa peralatan snorkeling sendiri dari kota asal karena penyewaan snorkeling set di Ora cukup mahal yaitu Rp 100.000,- per hari. Itu pun stock nya sedikit dan susah mendapatkan ukuran yang betul-betul pas dengan kaki kita.

Lanjut lagi cerita tentang snorkelingnya. Saya tidak cukup puas dengan hasil snorkeling hari itu apalagi kamera underwater saya habis baterainya karena kebanyakan dipakai di darat. Sedih betul rasanya. Tapi travelmate saya, Juferdy menghibur dengan mengatakan besok kami bisa kembali lagi ke spot ini dan mengambil gambar dari pagi. Ya sudah, saya snorkeling saja sampai tangan keriput kedinginan.

Pemandangan bawah laut Ora Beach memang membuat kami berdecak kagum. Beragam jenis terumbu karang berbagai warna yang dilewati ikan-ikan karang cantik benar-benar memanjakan saya. Ukuran terumbu karangnya juga fantastis. Lebih besar dari badan saya bahkan. Ikan hiasnya pun beragam, pipe fish, angel fish, dll. Yang membuat saya semakin menganga di kedalaman 3 meter saja saya sudah bisa melihat sea-fan, kipas laut berwarna merah yang cantik.

Jam 4 sore kami sudah di resort dan menikmati coffee break kami. Walau hanya pisang goreng, karena disantapnya sehabis lelah berenang, nikmatnya berkali-kali lipat. Ditambah dengan teh manis yang menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Kami lalu kembali ke kamar, bebersih diri dan bersantai di balkon kamar menunggu senja.

Syukurlah di Ora Beach Resort saya masih mendapatkan sinyal Telkomsel, yang merupakan satu-satunya provider yang ada di sana, jadi saya tetap bisa update dan berbagi kesenangan di Ora Beach dengan teman-teman di social media. Cuma ada satu jenis komentar yang saya terima ketika update perjalanan saya di Ora Beach yaitu pada mupeng ke Ora Beach dan sebal karena saya bisa jalan-jalan gratis ke Ora dibayarin pula. Once again, thank you Telkomsel!

Langit sore itu agak mendung namun tetap tidak bisa membendung indahnya semburat senja merah dari balik awan kelabu. Benar-benar indah sampai saya tak ingin kehilangan sedikit pun momen yang berlangsung cepat itu. Apa lagi yang bisa saya katakan selain mengucap syukur.

Apa lagi ya keseruan di Ora Beach? Baca kelanjutannya di sini 🙂

Satya Winnie - Travel Blogger

Satya Winnie, an adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on. But, her favourite things are explore culture, capture moments and share the stories.

So, welcome and please enjoy her travel journal and let’s become a responsible traveler.

4 thoughts on “Jalan Panjang Menuju Ora Beach Maluku”

  1. Septiana Praditama

    Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai eksplorasi Indonesia yang menarik. Sangat bermanfaat untuk dapat mengetahui Indonesia yang menarik dan penuh dengan suasana baru.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di https://indonesia.gunadarma.ac.id/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top