Selain bersantai di pantai, snorkeling atau diving, ada satu tempat yang menarik untuk dikunjungi di kawasan Ora Beach yaitu Mata Air Belanda.
Mata Air ini jaraknya sangat dekat dengan bibir pantai sehingga kita bisa melihat aliran airnya mengalir, air tawar bercampur dengan air asin.
Airnya dingin parah. Sumpah! (foto : Juferdy) |
Mata air Belanda langsung mengalir ke laut (foto : Juferdy) |
Sewaktu kami tiba di Mata Air Belanda itu, ada beberapa Ibu yang sedang mencuci pakaian dan anak-anaknya yang ikut untuk bermain. Airnya dingin dan segar. Habis panas-panasan di laut, rasanya adem banget berendam di mata air ini.
Kami diajak masuk oleh Willy ke dalam hutan untuk melihat sumber mata airnya. Saya kira akan jauh tempatnya, ternyata dekat sekali.
Sumber mata air nya dikelilingi Pandan Berduri yang besar dan membuat kami hanya bisa mengintip sumber airnya. Karena haus, kami langsung meminum air dari mata air. Jangan ditanya lagi, rasanya segar sekali.
Sambil para Mama mencuci baju, anak-anaknya bermain-main di mata air, berenang sepuasnya 🙂 (foto : Juferdy) |
Hitam maniiisssss (Foto : Juferdy) |
Makan malam saya habiskan sambil berbincang dengan Mama Eni, Mama Oca, Jems, Willy dan Bang Marwan. Saya dibagi banyak cerita rakyat. Termasuk cerita tentang tebing-tebing di Ora, tentang Hatu Saka yang masih mistis dan dilindungi oleh ular besar.
Bang Marwan bercerita bahwa dulunya Ora ditemukan oleh orang Tanimbar, Maluku Barat Daya dan dalam bahasa Tanimbar, Ora berarti selamat tinggal.
Selain Ora, saya juga mendapatkan cerita tentang negeri Saleman, desa terdekat dari Ora dan merupakan salah satu desa paling tua di Pulau Seram. Dahulu, hanya orang-orang kuatlah yang bisa tinggal di tepi pantai karena mayoritas dulu orang tinggal di gunung.
Ada empat marga tua yang dulunya berkuasa dan bergerak dari gunung ke arah pantai untuk membuka desa baru, yaitu, Aloatuan, Aloha Hiit, Ialuhun dan Upuolat. Mereka berjalan dari Seram Timur ke Saleman dengan menyusur pantai. Mereka akhirnya berhenti di Saleman karena melihat daerah Saleman ini begitu putih dan ada burung yang keluar terbang dari goa Lusiala. Lalu, keempatnya menancapkan tongkat ke tanah dan hanya tongkat Aloatuan yang mengeluarkan air.
Sejak itu, Aloatuan diangkat menjadi pemimpin di Saleman. Keturunan empat marga itu menjadi tetua adat hingga sekarang.
Nah, bercerita tentang burung yang keluar dari Goa Lusiala setiap adzan maghrib dan kembali lagi ke goa itu saat adzan subuh masih menjadi satu fenomena yang membuat saya berdecak kagum sekaligus bingung.
Menurut penuturan masyarakat lokal, burung itu bentuknya seperti kelelawar, bertelinga panjang, mempunyai ekor dan memiliki wajah mirip sekali dengan manusia. Burung itu adalah burung magis yang harus dijaga oleh penduduk Saleman.
Sekali waktu dulu, satu burung jatuh dan diambil oleh penduduk dan dibawa ke pemangku adat negeri Saleman. Untuk membuktikan kekuatan burung itu, mereka memasukkan burung itu ke dalam toples, lalu ke dalam koper yang dikunci dan diberi gembok.
Masyarakat sampai mengadakan taruhan apakah burung itu masih ada di dalam atau nggak. Dan ternyata, setelah berselang beberapa menit, mereka membuka koper dan toples itu dan burungnya hilang.
Ya, burungnya hilang. Wow, benar-benar tidak bisa dipercaya. Sulap itu namanya ya kan? Sejak saat itu, masyarakat percaya bahwa apa yang nenek moyang mereka katakan tentang burung lusiala itu benar adanya.
Menurut cerita Nenek Haji yang ternyata bermarga Aloatuan, dulu burung itu bisa berkomunikasi dengan kakek moyang Aloatuan yang pertama kali datang ke Saleman dan sepertinya mereka membuat perjanjian untuk saling menjaga.
“Jangan sampai burung itu ditangkap, disiksa atau dimakan oleh penduduk sini (Saleman) karena akan membawa petaka” kata Nenek Haji.
Ketika saya bertanya kemana sebenarnya burung-burung itu terbang setiap sore, Nenek Haji bilang tidak tahu persisnya, tapi kata Kakeknya dulu mereka terbang ke Mekkah dan selalu kembali ketika adzan subuh.
Selama tiga hari, ketika adzan maghrib sudah berkumandang, saya sudah ada di tepi pantai, menyaksikan dengan jelas ribuan burung kecil yang terbang dari Gua Lusiala.
Hasil kepakan ribuan sayap mereka menghasilkan suara seperti deru mesin dan formasi terbang mereka zig zag beraturan. Formasi terbangnya membuat saya berimajinasi bahwa itu adalah naga hitam yang keluar dari gunung.
Dulu beberapa orang pernah mengambil gambar wajah burung ini namun mereka mengaku sudah tidak memilikinya lagi dengan alasan HP-nya rusak, Flashdisk nya rusak dll. Jadi, benarkah burung Lusiala itu burung magis? Kelelawar magis? Entahlah.
Tak terasa hampir 4 jam kami habiskan untuk mengobrol sambil makan malam. Karena sudah hampir larut malam, masing-masing bubar kembali ke kamar masing-masing.
Saya dan Ju menyusuri pantai untuk kembali ke kamar dan Ju melihat ada cahaya-cahaya biru di bekas jejak kaki kami. Ternyata itu plankton. Saya gembira bukan main. Saya meloncat, berjoget bebas dan melihat ada semakin banyak plankton biru. Cantiknya.
Ora Beach di malam hari (Foto : Juferdy) |
Walau banyak yang bilang di Ora Beach Resort membosankan ketika malam hari karena tidak ada hiburan apapun, saya punya kesan yang beda. Saya merasa itu adalah salah satu hiburan terbaik yang bisa kau dapatkan saat liburan.
Malam itu, selain melihat plankton biru yang bersinar, kami juga melihat kunang-kunang. Rasanya bahagia betul dikelilingi makhluk-makhluk bercahaya cantik itu.
Menari-nari di pasir selama beberapa waktu mengantarkan saya tertidur pulas hingga pagi dan tidak mimpi sama sekali. Puas. Liburan saya sempurna.
Masih ada cerita seru selanjutnya. Silahkan lanjutkan baca di sini ya 🙂