Kaweng, Desa Cantik di Tepian Danau Tondano

Paralayang di Bukit Kaweng 

Betapa beruntungnya saya tahun ini bisa menjejak provinsi Sulawesi Utara dengan biaya yang tidak mahal. Hal tersebut tak lain karena saya menjadi kontingen untuk mengikuti Kejuaraan Paralayang di Bukit Kaweng, Kakas, Minahasa, Sulawesi Utara.

Kami harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Bandara Sam Ratulangi menuju kota Tomohon dengan naik Hercules (ceritanya bisa dibaca di sini) dan dilanjutkan ke arah Tondano. Disanalah sebuah desa bernama Kakas, Kaweng, berada. Desa kecil yang terletak persis di tepian Danau Tondano.

Desa Kaweng

Desa Kaweng, Kakas di tepian Danau Tondano yang cantik <3

 

Para Pilot

Para pilot bersantai di Bukit Kaweng sambil menunggu air yang baik untuk terbang.

Penduduk lokal yang melihat banyak bus kuning dan elf memasuki desa mereka langsung berhamburan ke tepi jalan, melambaikan tangan mereka sambil tersenyum.

Beberapa dari rombongan Paralayang ini sudah pernah mengikuti kejuaraan yang sama di lokasi yang sama pada tahun sebelumnya. Sehingga beberapa penduduk lokal yang mengenali para atlit yang hadir tahun lalu mengajak bersamlaman, bersenda gurau dan mengajak foto bersama.

Mereka seperti menyambut sanak saudara yang sudah lama tidak pulang kampung. Hangat sekali 🙂

Begitu tiba di desa, rombongan kami disambut dengan satu tarian tradisional yaitu ‘Tari Kabasaran’ atau Tari Kebesaran. Semua penarinya adalah lelaki, mengenakan kostum ksatria Minahasa.

Di dada dan kepala mereka terdapat banyak tengkorak anjing, babi, anoa, monyet dan burung-burung yang sudah diawetkan. Bahkan ada tengkorak manusia. Iya tengkorak beneran itu semuanya.

Di mata saya mereka tidak terlihat seram melainkan gagah sekali. Layaknya panglima-panglima perang. Apalagi mereka mengenakan kain ‘patola’ berwarna merah yang membuat aura perangnya semakin terasa.

Para Kawasalan

Para ‘Kawasalan’ atau prajurit perang sedang menari menyambut tamu.

Asal usul tarian ini katanya dari gabungan dua kata yaitu “Kawasal ni Sarian”. “Kawasal” artinya menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” berarti pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan  tradisional Minahasa.

Selama menari, mereka akan berteriak-teriak, diiringi tabuhan tambur, gong, kolintang. Selain itu mereka juga akan membawakan gerakan layaknya sedang berperang, saling mengayunkan pedang, menantang satu sama lain.

Berdasarkan sumber di sini saya mendapatkan info kalau tarian ini memiliki 3 gerakan dasar yaitu :

  1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
  2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menentramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
  3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.
Memakai Patola

Mereka mengenakan kain tenun merah yang disebut kain “Patola”

 

Berbagai macam tengkorak dipakai penari

Berbagai macam tengkorak yang dipasang di badan para penari ‘Kabasaran’

 

Foto bareng para Prajurit

Foto bareng para Prajurit 😉

 

Sang Jenderal

Sang Jenderal, paling ganteng dan paling gagah <3

Kami menghabiskan 4 hari di desa Kakas untuk mengikuti kompetisi di Bukit Kaweng. Dari atas bukit ini, pemandangan Danau Tondano sungguh sangat memanjakan mata.

Betapa senangnya saya mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam kompetisi ini dan berkunjung ke desa cantik ini. Yang bikin saya lebih senang lagi adalah penduduk lokal di sini mengolah ‘pork‘ dengan sangat enak.

Saangaaaattt… Saya sampai tambah lagi dan lagi. 

Waktu yang singkat dan bukan  dalam tujuan liburan membuat saya tidak bisa mengeksplor desa ini lebih jauh. Hiks. Semoga nanti bisa kesana lagi, bawa cerita seru lebih banyak ya.

Kompetisi Paragliding

Photo by : Juan Alfha Daniel

Saya dan teman-teman kontingen yang lain mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang mendukung berjalan dengan baiknya kompetisi ini. Terima kasih membuat kami serasa di rumah, dianggap sebagai saudara sendiri.

Terutama kepada adik-adik ganteng dan cantik di Kaweng. Semoga, kedepannya, banyak tunas-tunas pilot paralayang di Kaweng karena mereka punya tempat dengan potensi yang baik. Semangat berlatih ya adik-adik 😉

Beberapa foto Paralayang ini adalah hasil kompetisi foto di Paragliding Trip of Indonesia ‘TRoI’ kemarin. Fotonya bagus-bagus sekali ya. Lebih bagus lagi kalau terbang langsung disana sih 😉

Paragliding Trip of Indonesia

Photo by : Christian Garisa

 

Paragliding Kompetisi

Photo by : Ikhwan Wildani

 

Tepian Danau Tondano

Jalan-jalan di tepian Danau Tondano yang cantik <3

 

Trol 2014

Terima kasih untuk semua saudara-saudara kami di Kaweng. Much much love <3

 

#WonderfulIndonesia #EnjoyIndonesia #IndonesiaOnly

About the author

An adventurous girl from Indonesia. She loves to soaring the sky with gliders, dive into ocean, mountain hiking, rafting, caving, and so on.

Related Posts