“Bisa Sat, kamu pasti bisa Sat” batin saya pada diri sendiri lalu beranjak keluar dari mobil elf yang membawa kami dari Ketambe ke Desa Gumpang di Gayo Lues.
Dari Gumpang, kami akan mendaki Gunung Kemiri yang sekiranya memakan waktu 6 hari pendakian naik dan turun. Saya atur napas, hirup, hembuskan, inhale, exhale….
Begitu keluar mobil elf, di kejauhan tampak pegunungan hijau menjulang tinggi dan panjang, diselimuti awan putih tipis-tipis. Langit biru tampak riang menyambut kedatangan kami. Ah, semesta tampaknya memberkati ekspedisi ini. Semoga begitu terus ya cuacanya hingga pendakian selesai.
Penduduk Desa Gumpang yang sangat senang melihat orang asing datang mampir ke desa mereka.
“Puncaknya tidak kelihatan dari sini karena masih jauh sekali di sana” tiba-tiba Bang Zul menepuk pundak saya. Mungkin karena dia melihat saya menatap pegunungan itu untuk cukup lama dan membaca pikiran saya yang menerka-nerka yang manakah puncak Gunung Kemiri itu.
Saya tidak bisa menyembunyikan kegugupan dan mondar-mandir mengecek apakah carrier saya isinya sudah lengkap seperti dalam equipment list, apakah sepatu saya aman tidak ada yang jebol, apakah saya sudah siap mental untuk mendaki selama 6 hari.
Mungkin kalian akan mengerti mengapa saya merasa gugup. Pertengahan tahun 2016 silam saya mengalami kecelakaan yang cukup parah, lengan kanan saya patah dan harus dipasang pen platina dengan delapan baut.
Dokter sudah menyarankan saya untuk mengurangi kegiatan outdoor sementara waktu sampai pen dilepas. Saya tidak boleh membebani tangan kanan saya dengan benda berat, tidak boleh terjatuh dengan tangan kanan menjadi tumpuan karena akan sangat berbahaya untuk luka saya.
“Kamu gila ya, Sat?” adalah kalimat yang terlontar dari orang-orang terdekat saya. Saya tahu mereka khawatir jika terjadi sesuatu pada saya saat mendaki, tetapi ajakan mendaki Gunung Kemiri tidak bisa saya tolak.
Saya merasa tertantang dan ingin melakukannya karena pendakian ini juga termasuk dalam misi konservasi untuk mengenalkan Leuser Ecosystem dan kekayaannya untuk teman-teman semua.
Saya memang sudah melakukan persiapan latihan fisik semampu saya. Dua bulan sebelum pendakian, saya mencoba untuk kembali rutin berlari. Ingatlah bahwa mendaki gunung bukan cuma perkara mencapai puncak, tetapi juga persiapan yang baik secara fisik dan mental.
Meski sudah sering naik gunung, setiap akan mendaki gunung yang belum pernah saya daki, pasti ada rasa deg-degan. Alam tak bisa kita sepelekan, semua harus dipersiapkan matang, segala kemungkinan harus dikalkulasi, karena di apa pun bisa terjadi. Itulah mengapa team briefing sebelum pendakian sangat penting.
Malam sebelumnya, Bang Zul, mountain guide leader kami dari Ketambe dan Garry Sundin, ketua tim ekspedisi Last Place On Earth Challenge, sudah memberikan briefing tentang Gunung Kemiri. Gambaran jalurnya, rencana pendakian, persiapan logistik dan porter, serta aturan-aturan yang harus kami turuti selama mendaki Gunung Kemiri.
Jumlah grup kami ada 9 orang, Garry, Brendan, Adam, Sean, Mil, Sheriden, Angie, Irham dan saya. Selain itu ada 13 orang guide dan porter yang menemani kami sehingga total kelompok kami ada 22 orang sebenarnya.
Namun, Adam tidak bisa ikut naik ke Gunung Kemiri karena masalah di lututnya. Jadilah tim yang mendaki Gunung Kemiri hanya 21 orang. Adam tetap tinggal di Ketambe untuk beristhirahat.
Butuh banyak porter karena logistik pendakian 6 hari yang dibawa sangatlah banyak. Tim Last Place On Earth Challenge (kami ber-9) hanya akan membawa carrier yang berisi perlengkapan pribadi kami; baju pendakian, sandal, jaket, kamera, dan snack pribadi.
Di hari pertama beban carrier saya sekitar 15 kilogram karena saya juga membawa 4 botol air ukuran 1,5 liter di samping peralatan pribadi saya.

Day 1 – 24 Agustus 2017 (696 mdpl – 1212 mdpl)
Setelah semua porter sudah siap mengepak semua logistik dalam karung yang mereka ikat dan gendong pakai sarung (keren betul ya?), Bang Zul mengumpulkan kami untuk briefing terakhir sebelum pendakian dan tentu tidak lupa untuk berdoa.
Kami mulai berjalan pelan-pelan, tepat pukul 08.57 WIB. Menyusuri jalanan desa, jembatan kuning, melintasi kebun cokelat hingga tiba di pintu hutan. Kami menyapa beberapa penduduk kampung yang sedang bekerja di ladang mereka.
Pukul 11.33 kami memutuskan untuk berhenti dan menyiapkan makan siang dan beristhirahat. Di hari pertama, badan kami masih dalam proses penyesuaian dengan beban bawaan. Saya mencoba mengatur nafas dan menghilangkan kegugupan saya. Ingat, kaki harus terus berjalan.

Selepas makan siang, kami hanya berjalan 1,5 jam dan tiba di kamp 1 kami. Rasanya terlalu singkat .Tetapi, kata Bang Zul ada baiknya kami mendapatkan banyak isthirahat di hari pertama. Agar esok lebih mantap untuk mendaki karena di hari kedua hingga terakhir, jalannya menanjak terus tanpa ampun, tanpa bonus.
Para porter langsung mendirikan lima tenda kuning dan terpal dengan plastik bening sebagai tempat beristhirahat mereka. Dari karung-karung yang mereka panggul, semua bahan makanan untuk makan malam dikeluarkan.
Menu kami hari itu cukup mewah, karena mereka baru menangkap bebek di Gumpang dan membuat sop bebek sebagai lauk makan malam. Tidak ada kompor gas, hingga mereka mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dijadikan api untuk memasak.
Sambil menyulut rokok, para porter memasak dan bersenda gurau dalam bahasa Gayo. Saya tidak mengerti bahasa Gayo yang mereka pakai jadi saya hanya menikmati raut-raut wajah mereka yang terkekeh satu sama lain.
Day 2 – 25 Agustus 2017 (1212 mdpl – 2188 mdpl)
Kami dibangunkan pukul 6 pagi, bersiap-siap untuk melakukan pendakian hari kedua dan beranjak dari kamp 1 pukul 8 pagi tenggo.
Di hari kedua ini yang paling berat menurut saya, karena jalurnya memang menanjak terus. Saya mengobrol dengan Bang Burhan untuk mengalihkan pikiran dari rasa capek, hingga tak terasa waktu sudah tengah hari dan kami siap-siap untuk makan siang.
Tiba di kamp 2 sekitar pukul 4 sore, semuanya langsung melakukan tugas masing-masing seperti hari pertama. Meski kami punya porter yang melayani kami, jika ada yang bisa kami bantu, kami tentu membantu, seperti mendirikan tenda, mengumpulkan ranting kering, memompa kasur angin dan mengupas bahan masakan. Apa saja yang penting bergerak agar badan tetap hangat dan tidak terserang hipotermia.

Harus diingat bahwa pada saat pertama tiba di kamp, kita harus bergerak terus atau langsung mengganti baju jalan yang basah dengan baju kering baru membantu. Kenapa begitu? Agar tidak terkena hipotermia. Apa itu hipotermia? Bisa kamu baca di sini ya, lengkap dengan pencegahannya.


Day 3 – 26 Agustus 2017 (2188 mdpl – 3120 mdpl)
Di hari ketiga kami bergerak lagi dan terus menanjak. Namun di jalur hari ketiga ini, kami melintasi hutan lumut yang cantik sekali. Langsung tak tertahankan keinginan untuk ‘gegulingan’, ‘gegoleran’, di atas karpet lumut yang empuk.
Rasanya? Enakkkkkkkkkk banget! Kebetulan pas dengan waktu kami harus beristhirahat untuk minum dan makan cemilan sejenak, jadi saya berpuas-puas foto di hutan lumut yang cantik itu.


Kami terus berjalan hingga tiba di titik area makan siang. Langit cukup terik dan tidak ada pepohonan besar untuk berteduh. Kami akhirnya ‘nyumput’ di semak-semak kecil untuk berlindung dari panas dan minum air agar tak dehidrasi.
Selesai santap makan siang, kami kembali berjalan, turun menyusuri lembah dan pindah punggungan. Lembahnya begitu lembab dan dialiri sungai kecil.
Entah kenapa lembah itu mengingatkan saya pada Jurassic Park. Jadilah saya menamai spot itu Jurrasic Park Kemiri. Di sini juga kami menemukan tanaman yang aneh yang mungkin kalian familiar dengan bentuknya.

Kami tiba di kamp 3 sudah menjelang pukul 5 sore. Udara dingin sudah cukup menusuk hingga saya memilih untuk berganti pakaian dulu sebelum membantu tim porter menyiapkan segala persiapan untuk isthirahat dan makan malam.
Setelah berbalut 3 lapis pakaian dan windbreaker pink-biru serta sarung Bima warna merah kesayangan. Kami membangun kamp, dan membuat api unggun yang besar lalu berkumpul bersama sambil minum kopi dan menunggu makan malam dihidangkan.
Tentu kopi Gayo menjadi teman yang sangat pas di kala udara dingin menusuk dan tak ada yang bisa dipeluk. Kami bersenda gurau sepuas-puasnya, makan malam dan belum juga pukul 8 malam semua sudah jatuh tertidur.
Hari ke-3 ini memang sangat melelahkan menyusuri punggungan dan lembahan hingga tak ayal semuanya mengantuk begitu cepat.


Untuk cerita pendakian hari ke 4 hingga ke 6, saya tulis di blogpost berikutnya ya…
Ekspedisi bertajuk “Last Place On Earth Challenge” ini diselenggarakan oleh Orangutan Odysseys dan menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya. Berminat ikut? Bisa langsung kontak mereka ya!
Cheers,
8 thoughts on “6 Hari Mendaki Gunung Kemiri, Taman Nasional Gunung Leuser Aceh (1)”
Sat! Penasaran gegoleran di karpet lumut itu gimana rasanya, hihihi. Empuk empuk licin kali yaa 😂
Seneng baca ceritanya jadi ikut banyangin ngeruput kopi sore-sore yang dingin setelah capek seharian! Aaa can't wait for part 2!
Rasanya dingin-dingin empuk gitu beb, hahahaha. Rasanya memang pingin tidur di situ nggak mau bangun lagi. Apalagi kalau lepas sepatu terus injak lumutnya. Rasanya enaaakkkk banget! Pssttt, itu part 2 nya sudah diupload kok 😉
Selalu suka tulisan SatSat kalo naik gunung! Bikin pengen ikutan sekaligus bikin jiper, hahaha…
Lanjut ke part 2, ah!
hihihihihihihii Kak Titi makasih sudah mampirrrr. Mwahhhh :*
Kak satya… Aku bangga kalilah baca tulisan ini.. kampung kawan2ku terangkat sempurna. Julukan jurassic park kemiri jadi kayak iconic gitu. Dan kak Satya;
Salute!!!
Bang Yudiiiii…. Terima kasih sudah mau membaca tulisanku yang panjang dan mungkin membosankan ini… Hahahaha… Duh aku masih banyak hutang tulisan soal Leuser nih…
Duh kok aku jadi pengen nangis ya baca tulisan ini. Ingat pernah surat-surat sama teman yang sendirian ke Ketambe. Janjian mau mendaki Gunung Kemiri suatu saat nanti. Lalu niat mendaki ini sudah menguap entah sejak tahun kapan. Kangen banget pengen mendaki gunung lagi.
Bang kapan naik lagi?