Kami tiba di Pantai ini pukul setengah satu siang. Seperti yang sebelumnya aku ceritakan di sini dan di sini, akhirnya kami tiba di Pantai tujuan pertama yaitu Pantai Selong Belanak.
Dari cerita penduduk lokal, nama pantai ini berasal dari dua binatang yang sering dijumpai di pantai ini yaitu “selong” atau ular laut dan ikan “belanak”. Ah ya ya, begitu sederhana tapi terdengar aneh di telinga saya.
Ongkos masuk ke Pantai ini sebesar 5000 rupiah (yang saya tidak tahu untuk apa). Karena panas yang begitu terik, setelah memarkir motor kami masuk ke salah satu warung makan “Mamak Ari”.
Di dalam warung yang sederhana, beliau menyajikan makanan ala warteg, minuman sachet instan yang tinggal dicampur es batu dan tentunya kelapa muda, favorit saya!
Warung Mamak Ari |
Langit cerah, atap pondok yang terbuat dari rumput alang-alang bergoyang dihembus angin. Gumpalan awan putih menutupi langit biru, berarak-arak lucu membentuk apapun yang bisa kau imajinasikan.
Warna laut nya biru tosca dan berkilauan terkena sinar matahari. A beautiful turquoise crystal clear water…
Langitnya cepat sekali mendung. Tapi airnya tetap biru berkilau. Suka! 🙂 |
Setelah makan siang, saya mengoleskan minyak kelapa di seluruh badan dan siap untuk berlari-lari di pantai, bermain air laut sepuas-puas nya.
Oh iya, buat saya, sunblock yang SPF tinggi dan cukup mahal itu ternyata tidak sebagus minyak kelapa loh efeknya. Minyak kelapa ini aku beli di Karimun Jawa sewaktu magang hampir 3 bulan di sana.
Kulit memang menjadi hitam tetapi tidak terbakar. Kulit saya jadi berwarna coklat matang sempurna, semacam idaman para bule gitu deh. *smirk*
Pantai ini layak dijuluki sebagai pantai cermin, tetapi tidak sama seperti Pantai Cermin di Medan ya.
Pantainya luas sekali, berpasir putih & halus. Air laut yang surut perlahan-lahan membuat langit dan bukit menjadi dua, seperti di dalam cermin. Saya bisa ngaca loh. Beneran. Hahahaha. Itu mengapa saya memberi judul tulisan ini bermain cermin. 🙂
Pasir yang basah di pantai ini padat sekali. Jadi, kalau diinjak tidak meninggalkan jejak yang dalam |
Saya tidak melihat ada wisatawan lokal ketika saya datang ke Pantai ini. Hanya ada beberapa turis yang sedang berjemur agar kulitnya seperti saya. Hahaha.
Di kejauhan, beberapa turis terlihat sedang asik berdansa di atas ombak. Katanya pantai ini cocok untuk beginner surfer alias peselancar pemula.
Sayangnya, saya yang punya keseimbangan buruk ini gak bisa mencoba selancar di sini (sudah pernah coba tapi jatuh mulu). Kalau ada yang tertarik untuk belajar surfing di sini ada penyewaan papan selancar seharga 50.000/jam. Mahal. Banget.
Jadinya saya dan Ju bermain air, menyusuri pantai, foto-foto, minum kelapa muda, santai-santai like a boss. Otak jadi kosong. Udah, gak mau apa-apa lagi di dunia ini. Segini aja cukup kok.
Langit berubah dari biru menjadi abu-abu kelabu.
Ah, mengapa begitu cepat berubah menjadi mendung? Saya kan masih mau bermain bersama laut. Ya mau tak mau kami beranjak masuk ke Warung dan mengemas barang-barang.
Saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore dan kami harus segera ke Pantai Mawun sebelum benar-benar hujan.
Kalau mendung secepat ini, berarti kemungkinan untuk mendapatkan pemandangan matahari terbenam sangat sedikit sekali. Tak apa-apa. Masih ada besok kan? 🙂
Cerita lanjutan “Trip Lombok 4” bisa dibaca di sini : “Berkenalan Lebih Dekat dengan Masyarakat Kuta, Lombok”
Happy Traveling!
Enjoy Indonesia!