“Mingalabar, be lau’le?” tanya saya sambil menunjuk setumpuk cabe merah yang ada di atas tampi kepada seorang Ibu pedagang.
Wajahnya terlihat bingung saat ingin menjawab saya, mungkin karena saya berbicara bahasa Burma dengan logat yang aneh.
Saya tanyakan sekali lagi dan memberi isyarat dengan mengangkat cabe itu dan mengarahkannya ke saya, barulah kemudian dia memberi isyarat angka 7 dan nol dua kali dengan jari. Ah pasti jawabannya 700 Kyatt.
Saya mengangguk, si Ibu memasukkan cabe merah ke dalam plastik lalu saya memberikan uang 700 Kyatt nya. Transaksi jual beli kami berlangsung tanpa banyak berbicara namun syukurlah bisa saling mengerti.
Hari itu terasa sangat seru karena kami, tim #Escapers17 dari sepuluh Negara Asia Pasifik, mendapatkan challenge untuk memasak makanan tradisional Myanmar, salad sayur (yang menurut saya lebih cocok disebut asinan) yang dikenal dengan sebutan ‘Lephet Thoke’.
Namun sebelum kontes memasak dimulai, kami harus berbelanja bahan-bahannya dulu di pasar. Sebagai #AnakPasar, saya senang betul berkesempatan mengunjungi langsung pasar tradisional di Myanmar.
Jadilah kami menyambangi Pasar Lokal di Nyaung Shwe, Shan State. Setiap tim hanya dibekali uang 5000 Kyatt saja, jadi harus pintar-pintar membelanjakannya.
Bus yang membawa kami diparkirkan tidak jauh dari pintu pasar. Senyum bapak-bapak tukang becak tersungging menyambut kami saat masuk pasar.
Mereka tentu bingung karena pasar bukanlah tempat yang biasa didatangi turis dan lalu ada segerombolan manusia berbaju hijau (t-shirt seragam kami hari itu) masuk ke pasar.
Saya dan Asoka langsung bergegas mencari bahan-bahan yang ada di dalam daftar belanjaan. Yang sulit kami temukan hanya dua yaitu udang kering dan mixed nuts untuk membuat salad.
Karena para pedagang di sana tidak mengerti bahasa Inggris, akhirnya kami menemukan cara untuk dapat berkomunikasi dengan tepat kepada para pedagang di pasar itu, yakni dengan menunjukkan gambarnya dari ponsel kami.
Mereka baru mengerti setelah melihat gambarnya dan menunjukkan arah menuju lokasi kios yang menjual bahan yang kami cari. Hahahaha…
Ada satu kejadian yang membuat saya senyum-senyum ketika berbelanja di pasar itu. Ketika masih ada bahan makanan yang tertinggal, ingin beli bawang putih, kami kembali membelinya ke kios pertama yang kami datangi.
Tahu-tahunya, si Ibu memberikannya kepada kami gratis, tidak mau dibayar. Saya terharu dengan kebaikan Ibu itu. Kurang ramah apa coba orang-orang di Myanmar. Selain murah senyum, mereka juga sangat murah hati.
Buat saya pribadi, menyambangi pasar ini membuat hati saya sangat senang, meski hanya diberikan waktu setengah jam saja.
Kepinginnya bisa lebih lama main di pasarnya buat melihat aktivitas di pasar, mencoba jajanan pasarnya, berinteraksi dengan orang-orang di sana. Namun, apalah daya jika jadwalnya sudah padat dan tak boleh mangkir.
Selain membeli bahan-bahan untuk kontes memasak, saya menyempatkan mencari kopi Myanmar yang dititip oleh teman baik saya. Sayangnya saya tidak menemukan kopi yang dia mau. Adanya kopi saset yang sudah dikemas seperti yang ada di Indonesia, sedangkan dia meminta kopi pasar yang tidak berlabel.
Saat sedang menyusuri pasar mencari kopi itu, mata saya tertumpu pada satu kios yang menjejerkan karung-karung besar berisikan daun teh kering. Ah ya, Shan State di Myanmar memang terkenal sebagai penghasil teh terbesar di negeri itu. Saya lalu membeli dua bungkus kecil yang dibanderol 800 Kyatt per bungkusnya atau setara dengan Rp 8.000,-.
Pemilik kios teh itu adalah seorang gadis muda yang sangat cantik. Dengan balutan ‘long yi’, dia menampakkan senyum ramah yang malu-malu saat saya meminta izin untuk memotretnya.
Di cerita sebelumnya di sini dan di sini, saya sempat bercerita tentang ‘Thanaka’, tabir surya khas Myanmar yang biasanya di Indonesia disebut bedak dingin. Kalian penasaran nggak sih sebenarnya ‘Thanaka’ itu terbuat dari apa?
Jawabannya adalah….
Kayu.
Memang benar adanya ‘Thanaka’ dibuat dari gelondongan kayu yang digosok-gosok ke batu gilingan dan dibalurkan ke wajah. Saya menghampiri dan berjongkok di depan pedagang ‘Thanaka’ itu.
‘Gyin de (artinya saya mau)’ ujar saya sambil menunjuk kayu itu.
Ibu pedagangnya tertawa namun langsung menggosok kayu ke ulekan dan jadilah ‘Thanaka’ untuk saya. Ibu itu lalu membalurkannya ke wajah saya dengan masih senyum-senyum.
Mungkin buat mereka aneh kenapa ada orang asing yang mau memakai ‘Thanaka’ karena mukanya jadi coreng moreng, tetapi buat saya hal itu sangat menyenangkan. Sudah pakai ‘long yi’ dan ‘thanaka’, saya merasa menjadi gadis Burma (Myanmar) yang seutuhnya. Hahaha.
Di sebelah penjaja ‘thanaka’ ada satu kios yang menjual sirih. Paman penjual sirih itu tersenyum sambil menawarkan sirihnya. Namun, karena saya sudah pernah mencoba sirih Burma ini dan jadi sedikit mabuk dan sakit kepala, saya berikan saja senyum dan mengucapkan ‘kyai zu tin ba de’ yang artinya terima kasih.
Hal yang menarik lainnya adalah kita akan menjumpai hampir semua orang di pasar ini memakai ‘long yi’, dengan baluran ‘thanaka’ di wajahnya. Para lelaki beberapa mengenakan kain seperti sorban dan para perempuannya memakai topi jerami atau topi pantai yang cantik.
Selesai berbelanja di pasar, mereka akan menggunakan jasa becak (lar kyamharpar) dan delman (myinn lar kyamharpar). Becaknya kecil tidak seperti di Indonesia. Tetapi untuk delman, ukurannya kurang lebih sama.
Jadi, bila teman-teman plesiran ke Myanmar, sempatkanlah main ke pasar, untuk melihat langsung kehidupan masyarakat di jantungnya. Niscaya ada banyak hal menarik yang bisa kita temukan di sana. Masih banyak lagi cerita tentang Myanmar. Ditunggu ya.