Malam sebelum kami berangkat untuk melihat matahari terbit di Danau Kelimutu, saya tidak tidur sama sekali. Bukannya apa, saya takut kebablasan tidur dan malah tidak bisa bangun subuh.
Kami baru tiba di Hotel Capa Maumere sekitar jam 9 malam, dan tentunya saya melepas kangen dengan sebagian crew Capa Maumere yang sangat ramah dan sudah seperti keluarga saya sendiri.
Alhasil, saya hanya mendem di dalam kamar sampai jam 2 pagi dan bersiap untuk berangkat ke Kelimutu. Anggota tim #Terios7Wonders dengan terkantuk-kantuk bersiap dengan setelan pakaian hangat karena Kelimutu pasti dingin sekali pagi-pagi.
Nah, karena sudah masuk ke dalam mobil, giliran saya tidur. Lumayan ya 2-3 jam waktu tempuh dari Maumere ke Taman Nasional Kelimutu.
Sebenarnya agak sedikit was-was apakah kita bisa mengejar matahari pagi karena jarak tempuh yang jauh itu. Sebenarnya sih yang paling enak dan baik stay di Moni jadi jaraknya lebih dekat dan eenggak harus bangun terlalu dini.
Dan benar saja, kami terlambat mengejar matahari terbit. Ketika berhenti di pintu masuk TN Kelimutu, saya terbangun dan ketika melihat ke luar jendela, langit sudah menguarkan warna jingga kemerahan.
Yaaaahhhhh….
Aku lirik jam tangan, ternyata sudah 04.28 WITA. Ahhh… Sedih….
Ya sedihlah ketika rencana membuat timelapse sunrise di Kelimutu pupuslah sudah. Ini masih di pintu gerbang, jadi masih butuh sekitar 40 menitan lagi untuk tiba di parkiran dan naik jalan kaki, trekking sebentar hingga tiba di tugu pandang Danau Kelimutu. Jadiiiiiiii pasti sudah terang banget ketika tiba di atas.
“Duh, gue jadi enggak nafsu lagi naik ke atas”, kata Mas Rynol.
“Iya sih ya… Yah, tapi masih bisa lah kita dapat golden view pas mataharinya baru-baru keluar”, timpal saya.
Tapi saya juga merasakan apa yang dirasakan Mas Rynol… But hey! Cheer up! Sudah sampai di Kelimutu nih, masa mau mutung. Hihihihihi…
Beda dengan kunjungan saya sebelumnya, Kelimutu pagi itu tidak terlalu dingin. Ya iyalah ya. Pas kunjungan sebelumnya kan berangkatnya jam setengah 4 pagi. Nah ini, jalan ke atas sudah hampir jam setengah 6. Ya, karena enggak ada lagi yang mau dikejar, saya jalan santai saja.
Begitu melewati ‘Tiwu Ata Polo’ saya mengarahkan pandangan ke arah matahari terbit dan sontak berteriak…
“Aaaaaaakkk mataharinya bulat banget. Mas Iqbal sini mas Iqbal”, pekik saya pada Mas Iqbal yang tidak jauh berada di belakang.
Kami berdua segera menangkap momen indah itu. Meski belum sampai di Tugu Pandang paling atas, saya sangat bahagia disuguhkan pemandangan matahari terbit yang merah, bulat sempurna.
Setelah dirasa cukup mengambil gambar, kami lanjut menaiki anak tangga ke tugu pandang atas. Sekali lagi saya merasa beruntung dan terhibur dengan pemandangan Tiwu Ata Mbupu yang ada di sebelah kiri yang tertutup kabut penuh.
Biasanya, danau (tiwu) sebelah kiri itu tidak banyak yang memperhatikan karena tidak pernah berubah warna. Yang biasanya berubah hanya Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo.
Kunjungan terakhir saya ke Kelimutu, kedua danau, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo sama-sama berwarna turquoise. Nah, saat datang lagi bulan ini, bulan Mei, ternyata Tiwu Ata Polo sedang berwarna merah kehitaman. Woooooooow keren sekali!
Orang Ende Lio memang mempercayai Danau Kelimutu sebagai tempat peristirahatan orang-orang yang sudah pergi. Setiap tahunnya, mereka mengadakan ritual adat yang dikenal dengan nama Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata.
Ritual ini dimaksudkan untuk mengucap syukur untuk seluruh yang sudah dilewati selama satu tahun kemarin dan memohon berkat untuk tahun yang akan datang.
Jika kita berjalan mengarah ke Puncak, cobalah lihat ke bagian kiri. Kalian akan mendapatkan satu lahan terbuka di mana ada susunan batu di tengah-tengahnya. Di sanalah ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata dilangsungkan.
Kalian pernah dengar Festival Kelimutu? Festival Kelimutu biasanya diadakan pada bulan Agustus setiap tahunnya. Jika kalian ingin melihat ritual tersebut, silahkan datang ke festivalnya ya.
Ngomong-ngomong, kalian sudah tahu cerita rakyat terbentuknya Danau Kelimutu belum? Kalau belum, ceritanya bisa kalian baca di sini ya.
Di Danau Kelimutu ini terdapat tiga kawah yang warnanya bisa berubah sewaktu-waktu. Danau yang paling pertama kita jumpai di jalur adalah Tiwu Ata Polo, kawah yang diyakini sebagai tempat roh-roh jahat bersemayam.
Yang kedua adalah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, kawah yang diyakini sebagai tempat roh muda-mudi bersemayam. Yang terakhir adalah Tiwu Ata Mbupu, kawah yang diyakini sebagai tempat roh leluhur bersemayam.
Pak Jhon dan Rimba, Penjaga Kelimutu
Tahun lalu ketika berkunjung ke Kelimutu, saya bertemu dengan Pak Jhon, salah satu pedagang yang ada di Tugu Pandang Atas. Ternyata, Mas Iqbal juga sudah pernah bertemu dengan Pak Jhon.
Larutlah kami dalam percakapan dan temu kangen dengan Pak Jhon dan anjingnya yang bernama Rimba. Mereka berdualah yang kami anggap sebagai penjaga dari Danau Kelimutu.
Perawakan Rimba ini seperti anjing-anjing pemburu atau anjing kebun. Berbadan tegap, berbulu hitam dengan kuping runcing dan hidung tajam. Setiap hari, Rimba mengikuti Pak Jhon kemana pun ia pergi.
Bahkan, kalau Pak Jhon sedang ada acara kondangan, Rimba tetap setia menemani. Menunggui tanpa mengganggu orang lain. Jika kalian ke Kelimutu dan menjumpai anjing yang aku deskripsikan, itulah dia, Rimba.
Jika sudah ada yang pernah ke Kelimutu sebelumnya, pasti tahu kalau di sekitaran tugu pandang atas banyak monyet-monyet yang berkeliaran. Sejak Rimba ada, mereka tidak berani menampakkan diri.
People of Kelimutu
Jika berkunjung ke Kelimutu, belilah segelas kopi atau teh dan susu kepada para Mama-mama pedagang di tugu pandang. Mereka rata-rata sudah berdagang lebih dari 10 tahun. Ajaklah mereka ngobrol dan bercengkerama karena menyenangkan sekali melihat tawa lepas mereka.
Segelas kopi dihargai Rp5.000,00-Rp10.000,00. Cocok sekali untuk menemani pagi dengan udara dingin menusuk. Pun setelah matahari terbit dan cuaca lebih hangat, kopi Kelimutu tetap bisa disesap dengan nikmat.
Kopi yang mereka seduh adalah kopi yang mereka tanam sendiri di ladang kopi sekitaran Moni. Pak Jhon mentraktir saya dan Mas Iqbal dengan kopi yang baru ia proses dari kebunnya sendiri. Wangi dan sedap!
Selain Mama-mama kopi, saya juga berjumpa dengan seorang adik kecil bernama Iksan. Usianya baru 13 tahun namun sudah menjadi local guide di TN Kelimutu sejak usianya 10 tahun.
Saat tamu yang ia bawa sedang asyik berjalan-jalan di sekitaran dan asyik berfoto, Iksan duduk bersandar di pagar sambil menikmati matahari pagi.
Ia malu-malu saat saya dekati. Kulitnya hitam manis berbalutkan jaket berwarna hijau butek yang sudah sedikit robek. Meski malu, ia tetap memberikan saya senyum termanisnya dan mau saya ajak berbincang sejenak.
“Lumayan Kak dapat uang tambahan untuk bayar kebutuhan sekolah” jawab Iksan ketika saya tanya kenapa ia mau menjadi pemandu di usianya yang begitu muda.
“Wah. Hebat ya kamu. Waktu aku seumur kamu, aku juga cari uang jajan, tapi bantuin Mamak jualan” timpalku.
“Nanti kalau sudah besar, Iksan mau jadi apa?” tanya saya lagi.
“Tidak tahu Kak. Mungkin sekolah juga sampai SMP saja karena tidak ada biaya” jawabnya sendu.
Sontak saya merasa sedih. Mengapa anak sekecil ini redup nyala mimpinya.
“Hei! Iksan enggak boleh ngomong gitu. Selama kamu masih mau bermimpi, pasti bisa lanjut sekolah setinggi-tingginya dan jadi orang. Sekarang juga sudah banyak sekali beasiswa. Kamu masih bisa sekolah terus”, nasihat saya (sok) bijak.
Ya tapi benar kan? Jangan pernah mematikan lilin impian kita. Selama ada niat, pasti ada jalan. Kutipan yang paling saya suka tentang topik ini adalah dari Paulo Coelho.
“When you really want something, the universe will conspire to help you”.
Don’t stop dreaming!
Kabut mulai menutupi danau. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sudah saatnya kami beranjak pulang dan melanjutkan perjalanan ke Ende. Saya, Mas Iqbal, Pak John dan Rimba berjalan dengan santai. Di tempat parkiran, sebelum masuk ke mobil, kami sempat bermain dengan kedua anak Pak John. Sampai jumpa lagi Kelimutu…